Geliat pagi otomatis membangunkanku untuk segera memulai aktifitas. Tinggal di kota besar seperti Jakarta tak bisa membuatku terlalu lama berleha-leha di pembaringan. Dulu ketika masih SMA, Ibu suka membangunkan anak-anaknya dengan kalimat yang sama di waktu subuh. “Ayo bangun shalat subuh! Jangan bangun siang, nanti rezekinya dipatok ayam.”
Adzan subuh telah berlalu 15 menit yang lalu. Iqamah telah pula terdengar. Aku bergegas mengibaskan selimut, merapikan bekas tempat tidurku seadanya, mencari sandal rumah yang tersembunyi di kolong dan segera beranjak ke sudut kecil di luar kamar, yang aku jadikan pantry tempat menyediakan kebutuhan asupan sederhana.
Aku menanak nasi merah di rice cooker sambil mengukus dendeng balado sisa hari sebelumnya. Di air-fryer aku masukkan beberapa potong ayam goreng untuk bekal sekolah anak-anak. Selesai shalat dan mematut diri dengan seragam hari ini, anak-anakku pun siap sudah menyiapkan sarapan sederhana mereka sendiri. Kakak biasanya makan oatmeal bertabur buah-buahan beku, sementara Adik selalu doyan roti dan pepaya untuk sarapan.
Sambil ngobrol ringan dengan mereka berdua, tanganku cekatan mempersiapkan bekal kami hari ini. Nasi dan lauk pauk aku susun di wadah tahan panas beserta potongan mentimun. Buah pir aku potong dan letakan dalam wadah berbeda, sementara bonggolnya aku seduh di dalam termos beserta kayu manis untuk minuman booster-ku hari ini.
Sekitar pukul enam, kami pun berpamitan pada Ibu yang sedang jalan santai di pekarangan rumah.
“Hati-hati ya, pulang jam berapa?”
Pesan dan pertanyaannya selalu sama setiap pagi.
Sudah setengah tahun kami hanya tinggal berempat di rumah sederhana yang berlokasi di pinggiran Jakarta. Suamiku sedang mengambil gelar doktornya di Australia atas bantuan biaya pemerintah sana.
Langkah segera kami percepat ketika dari kejauhan terlihat metromini merayap berselisihan dengan kendaraan lainnya. Kami harus lebih dulu tiba di halte agar bisa segera menaiki bus itu. Jika tidak, terpaksa harus menunggu beberapa menit lagi untuk menaiki bus berikutnya.
Kedua anakku tak protes, mereka sudah paham perjuangan jika ingin tiba di sekolah tepat waktu. Bangun lebih pagi dan berlarian mengejar bus sudah menjadi rutinitas setiap hari. Untuk 30 menit kedepan kami akan melalui rute yang sama. Anak-anakku turun lebih dulu ketika sampai di depan sekolah mereka dan aku melanjutkan perjalanan untuk menuju tempat yang sama dan melakukan aktifitas serupa pula selama 7 tahun ini. Aku bosan.
Tanganku menyentuh amplop coklat tipis, di dalamnya memuat surat pengunduran diri. Pekan depan usiaku 35 tahun. Menjadi seorang staff pada Bank Perkreditan Rakyat sudah cukup aku jalani. Aku tak bisa bertahan lagi di sini. Ingin mencari peluang rezeki Allah yang bertaburan di luar meja kerjaku.
“Yakin sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu?”
Aku teringat perkataan Ibu dua bulan lalu.
“Iya Bu, Ayu sudah tidak punya passion lagi bekerja di sini,” kataku mantap.
“Ibu hanya bisa mendukung apapun keputusanmu. Kau yang punya perhitungan sendiri,” kata Ibu.
“Ayu hanya perlu doa Ibu, kalau Ibu ikhlas rasanya langkah Ayu jadi lebih mantap,” aku mengakhiri percakapan dengan Ibu.
“Jika sudah mengambil keputusan, bertawakal lah pada Allah. Bismillah, Yu.” pesan suamiku dalam video call kami terakhir.
“Iya. Aku tidak menyia-nyiakan rezeki Allah di sini. Tapi Dia sudah mempersiapkan rezeki yang halal untuk kita. Tugasku hanya berikhtiar mencari rezeki itu,” jawabku.
“Bagaimana memulai bisnis tanpa meminjam uang, Yu?” sebait kalimat Ibu kembali melalui beranda memoriku.
Jangankan meminjam uang ke bank untuk modal usaha, credit card saja sudah ku putus. Mobil kreditan pun sudah kujual.
“Lebih tenang berkendaraan umum tanpa beban utang,” pikirku sambil bergegas berdiri karena pada pemberhentian berikutnya harus turun dari bus.
Selain telah mengalokasikan dana untuk hidup bersama dua anak dan Ibu selama enam bulan ke depan, sedikit modal usaha sudah pula dikantongi. Tidak banyak, tapi cukup untuk memulai berdagang apa saja untuk menyambung hidup.
Mungkin kehidupan beberapa bulan ke depan akan sulit. Tapi aku tak peduli lagi, tekad sudah bulat untuk meninggalkan pekerjaan ribawi yang telah digeluti sejak lulus sarjana.
Pukul 08.00 pagi, seluruh rekan kerja termasuk atasan sudah berdatangan dan melakukan kesibukan masing-masing di meja kerja mereka.
Tak menunggu waktu siang, aku mengetuk pintu kaca yang memisahkan ruangan staff dan kepala seksi. Aku menarik nafas panjang, lisan mengucap basmalah.
***
Bab pelajaran tentang riba telah terlewat beberapa lama dari hidupku. Aku mengaji sejak kecil. Mendengar kajian, menghafal beberapa surah dalam Al Quran, tapi tiap kali laman youtube menampilkan penceramah dengan thumbnail riba, selalu aku lewati.
Bertahun-tahun aku tidak siap, karena takut tak memiliki penghasilan. Kehidupan ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Ada penolakan dari dalam diri. Pikiran kolotku berkata, rentenir adalah riba, bukan perbankan.
Ada upaya pengalihan di sudut hati, seperti aku rutin membayar zakat, membiayai hidup ibuku, berderet amal shaleh yang kulakukan muncul di kepala untuk melegalkan pekerjaanku di sini.
Tapi ternyata naluri tidak bisa berbohong. Fitrah diri terus memberontak ingin segera menghentikan keterlibatan dengan dunia ribawi.
Tentunya segudang keraguan menjelma, baik dari dalam diri sendiri maupun dari teman-teman dekat yang mengetahui rencana pengunduran diri ini.
“Gila kau Yu, mau bisnis apa?”
“Sudahlah tidak usah terlalu idealis. Kalau tidak ada perbankan, mati-lah ekonomi negara ini!”
Yah, dulu aku mempan mendengar semua perkataan itu. Tapi tidak lagi setelah menyaksikan banyak nasabah yang berguguran di saat pandemi. Hampir setiap hari aku menyaksikan beberapa orang—tentunya mereka adalah tulang punggung keluarga—duduk di ruang tunggu untuk melakukan relaksasi utang, sementara wajah mereka sama sekali tidak relaks.
Rata-rata pakaian mereka lusuh. Tatapan mata memandang kosong. Gerak-gerik tubuhnya menunjukan kegelisahan. Aku tahu mereka adalah para nasabah Kredit Usaha Kecil yang tak mampu membayar cicilan sebagai imbas pandemi.
Secara kasat mata mereka merasa terbantu dengan adanya pinjaman untuk usaha, tapi sebenarnya mereka tengah sangat membebani diri.
Aku tak mau berada pada lingkaran itu. Bagaimana aku bisa bertahan di dalam sebuah pekerjaan yang menjerumuskan orang lain ke dalam riba.
Ketika pikiran mulai berperang dengan batin sendiri, aku mulai memberanikan diri membuka kajian ringan tentang riba. Reels satu-dua menit hingga kajian satu jam lebih mulai berani aku cermati.
Akhirnya tekadku bulat dalam hati, “Aku tak ingin mengibarkan bendera perang dengan Allah.”
“Bagaimana jika bisnismu gagal?”
Pertanyaan klise yang selalu ditanyakan orang aku jawab lugas saja.
“Aku akan coba bisnis lain sampai aku berhasil,” pungkasku.
Aku yakin rezeki halalku telah tertakar, tinggal mengupayakannya saja untuk mengambil dengan cara yang halal. Bismillah! Langkah kakiku pun pasti memasuki ruang atasan untuk mengajukan pengunduran diri.
Kreator : Dini Masitah
Comment Closed: Banting Setir
Sorry, comment are closed for this post.