KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Banting Setir

    Banting Setir

    BY 10 Des 2024 Dilihat: 135 kali
    Banting Setir_alineaku

    Geliat pagi otomatis membangunkanku untuk segera memulai aktifitas. Tinggal di kota besar seperti Jakarta tak bisa membuatku terlalu lama berleha-leha di pembaringan. Dulu ketika masih SMA, Ibu suka membangunkan anak-anaknya dengan kalimat yang sama di waktu subuh. “Ayo bangun shalat subuh! Jangan bangun siang, nanti rezekinya dipatok ayam.”

    Adzan subuh telah berlalu 15 menit yang lalu. Iqamah telah pula terdengar. Aku bergegas mengibaskan selimut, merapikan bekas tempat tidurku seadanya, mencari sandal rumah yang tersembunyi di kolong dan segera beranjak ke sudut kecil di luar kamar, yang aku jadikan pantry tempat menyediakan kebutuhan asupan sederhana. 

    Aku menanak nasi merah di rice cooker sambil mengukus dendeng balado sisa hari sebelumnya. Di air-fryer aku masukkan beberapa potong ayam goreng untuk bekal sekolah anak-anak. Selesai shalat dan mematut diri dengan seragam hari ini, anak-anakku pun siap sudah menyiapkan sarapan sederhana mereka sendiri. Kakak biasanya makan oatmeal bertabur buah-buahan beku, sementara Adik selalu doyan roti dan pepaya untuk sarapan.

    Sambil ngobrol ringan dengan mereka berdua, tanganku cekatan mempersiapkan bekal kami hari ini. Nasi dan lauk pauk aku susun di wadah tahan panas beserta potongan mentimun. Buah pir aku potong dan letakan dalam wadah berbeda, sementara bonggolnya aku seduh di dalam termos beserta kayu manis untuk minuman booster-ku hari ini. 

    Sekitar pukul enam, kami pun berpamitan pada Ibu yang sedang jalan santai di pekarangan rumah.

    “Hati-hati ya, pulang jam berapa?”

    Pesan dan pertanyaannya selalu sama setiap pagi. 

    Sudah setengah tahun kami hanya tinggal berempat di rumah sederhana yang berlokasi di pinggiran Jakarta. Suamiku sedang mengambil gelar doktornya di Australia atas bantuan biaya pemerintah sana. 

    Langkah segera kami percepat ketika dari kejauhan terlihat metromini merayap berselisihan dengan kendaraan lainnya. Kami harus lebih dulu tiba di halte agar bisa segera menaiki bus itu. Jika tidak, terpaksa harus menunggu beberapa menit lagi untuk menaiki bus berikutnya.

    Kedua anakku tak protes, mereka sudah paham perjuangan jika ingin tiba di sekolah tepat waktu. Bangun lebih pagi dan berlarian mengejar bus sudah menjadi rutinitas setiap hari. Untuk 30 menit kedepan kami akan melalui rute yang sama. Anak-anakku turun lebih dulu ketika sampai di depan sekolah mereka dan aku melanjutkan perjalanan untuk menuju tempat yang sama dan melakukan aktifitas serupa pula selama 7 tahun ini. Aku bosan.

    Tanganku menyentuh amplop coklat tipis, di dalamnya memuat surat pengunduran diri. Pekan depan usiaku 35 tahun. Menjadi seorang staff pada Bank Perkreditan Rakyat sudah cukup aku jalani. Aku tak bisa bertahan lagi di sini. Ingin mencari peluang rezeki Allah yang bertaburan di luar meja kerjaku. 

    “Yakin sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu?”

    Aku teringat perkataan Ibu dua bulan lalu. 

    “Iya Bu, Ayu sudah tidak punya passion lagi bekerja di sini,” kataku mantap.

    “Ibu hanya bisa mendukung apapun keputusanmu. Kau yang punya perhitungan sendiri,” kata Ibu.

    “Ayu hanya perlu doa Ibu, kalau Ibu ikhlas rasanya langkah Ayu jadi lebih mantap,” aku mengakhiri percakapan dengan Ibu.

    “Jika sudah mengambil keputusan, bertawakal lah pada Allah. Bismillah, Yu.” pesan suamiku dalam video call kami terakhir. 

    “Iya. Aku tidak menyia-nyiakan rezeki Allah di sini. Tapi Dia sudah mempersiapkan rezeki yang halal untuk kita. Tugasku hanya berikhtiar mencari rezeki itu,” jawabku.

    “Bagaimana memulai bisnis tanpa meminjam uang, Yu?” sebait kalimat Ibu kembali melalui beranda memoriku.

    Jangankan meminjam uang ke bank untuk modal usaha, credit card saja sudah ku putus. Mobil kreditan pun sudah kujual.

    “Lebih tenang berkendaraan umum tanpa beban utang,” pikirku sambil bergegas berdiri karena pada pemberhentian berikutnya harus turun dari bus. 

    Selain telah mengalokasikan dana untuk hidup bersama dua anak dan Ibu selama enam bulan ke depan, sedikit modal usaha sudah pula dikantongi. Tidak banyak, tapi cukup untuk memulai berdagang apa saja untuk menyambung hidup.

    Mungkin kehidupan beberapa bulan ke depan akan sulit. Tapi aku tak peduli lagi, tekad sudah bulat untuk meninggalkan pekerjaan ribawi yang telah digeluti sejak lulus sarjana.

    Pukul 08.00 pagi, seluruh rekan kerja termasuk atasan sudah berdatangan dan melakukan kesibukan masing-masing di meja kerja mereka. 

    Tak menunggu waktu siang, aku mengetuk pintu kaca yang memisahkan ruangan staff dan kepala seksi. Aku menarik nafas panjang, lisan mengucap basmalah.

    ***

    Bab pelajaran tentang riba telah terlewat beberapa lama dari hidupku. Aku mengaji sejak kecil. Mendengar kajian, menghafal beberapa surah dalam Al Quran, tapi tiap kali laman youtube menampilkan penceramah dengan thumbnail riba, selalu aku lewati.

    Bertahun-tahun aku tidak siap, karena takut tak memiliki penghasilan. Kehidupan ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Ada penolakan dari dalam diri. Pikiran kolotku berkata, rentenir adalah riba, bukan perbankan. 

    Ada upaya pengalihan di sudut hati, seperti aku rutin membayar zakat, membiayai hidup ibuku, berderet amal shaleh yang kulakukan muncul di kepala untuk melegalkan pekerjaanku di sini.

    Tapi ternyata naluri tidak bisa berbohong. Fitrah diri terus memberontak ingin segera menghentikan keterlibatan dengan dunia ribawi.

    Tentunya segudang keraguan menjelma, baik dari dalam diri sendiri maupun dari teman-teman dekat yang mengetahui rencana pengunduran diri ini. 

    “Gila kau Yu, mau bisnis apa?”

    “Sudahlah tidak usah terlalu idealis. Kalau tidak ada perbankan, mati-lah ekonomi negara ini!”

    Yah, dulu aku mempan mendengar semua perkataan itu. Tapi tidak lagi setelah menyaksikan banyak nasabah yang berguguran di saat pandemi. Hampir setiap hari aku menyaksikan beberapa orang—tentunya mereka adalah tulang punggung keluarga—duduk di ruang tunggu untuk melakukan relaksasi utang, sementara wajah mereka sama sekali tidak relaks. 

    Rata-rata pakaian mereka lusuh. Tatapan mata memandang kosong. Gerak-gerik tubuhnya menunjukan kegelisahan. Aku tahu mereka adalah para nasabah Kredit Usaha Kecil yang tak mampu membayar cicilan sebagai imbas pandemi.

    Secara kasat mata mereka merasa terbantu dengan adanya pinjaman untuk usaha, tapi sebenarnya mereka tengah sangat membebani diri. 

    Aku tak mau berada pada lingkaran itu. Bagaimana aku bisa bertahan di dalam sebuah pekerjaan yang menjerumuskan orang lain ke dalam riba.

    Ketika pikiran mulai berperang dengan batin sendiri, aku mulai memberanikan diri membuka kajian ringan tentang riba. Reels satu-dua menit hingga kajian satu jam lebih mulai berani aku cermati. 

    Akhirnya tekadku bulat dalam hati, “Aku tak ingin mengibarkan bendera perang dengan Allah.”

    “Bagaimana jika bisnismu gagal?”

    Pertanyaan klise yang selalu ditanyakan orang aku jawab lugas saja. 

    “Aku akan coba bisnis lain sampai aku berhasil,” pungkasku.

    Aku yakin rezeki halalku telah tertakar, tinggal mengupayakannya saja untuk mengambil dengan cara yang halal. Bismillah! Langkah kakiku pun pasti memasuki ruang atasan untuk mengajukan pengunduran diri.

     

     

    Kreator : Dini Masitah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Banting Setir

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021