Pada zaman dahulu kala, di sebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan Barat tepatnya hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya. Janda itu bernama Mak Dasah dan anak gadis nya bernama Jelita. Mereka tinggal di rumah kecil yang sederhana dan jauh dari kata mewah. Rumah itu adalah peninggalan suami Mak Dasah yang meninggal dunia sejak Jelita berumur satu tahun.
Anak gadis Mak Dasah disebut jelita karena memang wajahnya cantik sekali. Jelita menjadi anak kesayangan ibunya, demi cinta kasihnya pada anak semata wayangnya itu Mak Dasah walaupun sudah agak tua tapi rela bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan Mak Dasah mencari kayu bakar di hutan kemudian dijual ke perkampungan. Ia juga merawat belasan pohon pisang peninggalan suaminya dulu. Namun pohon pisang itu tidak berbuah setiap saat. Jika pohon pohon pisang berbuah ia akan menjualnya ke perkampungan penduduk yang jaraknya puluhan kilometer dari tempat tinggalnya.
Semakin hari Si Jelita semakin bertambah dewasa. Sementara Mak Dasah semakin bertambah usia. Tapi sayang sekali….. Si Jelita yang sangat dikasihi dan di manja oleh Mak Dasah mempunyai perilaku buruk. Pohon pisang yang jumlahnya enam belas batang itu tak pernah di tengoknya.
Angin yang membawa debu dan daun-daun kering yang masuk kedalam rumahnya dibiarkan saja. Jangankan halaman rumah, dinding dan lantai kamarnya sendiri ia tidak mau membersihkannya. Ia selalu menunggu ibunya turun tangan, gadis itu sangat malas, ia tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin dan sudah lanjut usia, setiap hari harus membanting tulang untuk mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari, Jelita berkata kepada ibunya.
“Mak hari ini engkau harus belikan aku baju yang baru dan indah.
” Lho? Bajumu kan sudah banyak nak, masih banyak yang baru juga.?”
“Alaaaah, jangan banyak cakap, bajuku itu memang banyak tapi sudah ketinggalan zaman, aku ingin model baru.!”
“Tapi nak, ibu sudah tidak punya uang yang cukup untuk membelikanmu baju baru lagi. Bukankah sebulan yang lalu sudah kubelikan baju yang cukup mahal.?”
“Kalau Mak saya Jelita Mak harus menuruti kemauan Jelita….!” Tegas Jelita dengan nada tinggi.
Tak bisa menolak kemauannya anak semata wayangnya itu. Akhirnya, Mak Dasah mengambil semua simpanan uangnya dan esok harinya mereka berangkat ke pasar yang jaraknya sangat jauh dari rumah mereka. Sebenarnya uang simpanan itu digunakan untuk keperluan-keperluan mendesak, seperti ketika Jelita sakit dan keperluan lainnya.
Letak pasar sangat amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang cukup bagus, dan bersolek agar orang di jalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian yang dekil.
Karena mereka hidup di tempat yang terpencil, tidak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak. Ketika mereka memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun, ketika melihat wanita tua yang berjalan di belakang anak gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
“Aneh sekali…. si gadis wajahnya sangat cantik, dan pakaiannya luar biasa indahnya, tapi wanita di belakangnya berpakaian Kumal dan penuh dengan tambalan.”
“Kawan….. jangan berburuk sangka, siapa tahu wanita itu memang pembantu yang mengawal si gadis.”
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu. “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan di belakang itu adalah ibumu.?”
“Namun, apa jawaban anak gadis itu.?
“Bukan,” ucapnya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku.!”
Kedua ibu Dan anak itu kemudian kembali meneruskan perjalannya. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya lagi kepada anak gadis itu.
“Hai, gadis manis, siapakah namamu?”
“Namaku adalah Jelita, bang!”
“Oh, namamu jelita, cocok sekali dengan orangnya yang cantik dan jelita!”
“Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu.?”
“Bukan, bukan, “jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. “Dia adalah budakku.!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang di sepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya itu, selalu jawabannya sama yaitu, bahwa ibunya itu adalah budaknya. Ia malu untuk mengakui Mak Dasah sebagai ibunya. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya. Pada mulanya, mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Ketika mereka berjalan di tempat sepi Mak Dasah pun bertanya kepada anak gadisnya itu.
“Anakku, mengapa kau menyebutku sebagai pembantumu?”
“Ibu…! Tenang saja, ini hanya sekedar berpura-pura, aku tidak bersungguh-sungguh menganggap ibu sebagai pembantu.!”
“Tapi sudah tiga kali ini kau menyebutku sebagai budak, aku tak ingin kau melakukannya lagi.”
“Ah, Emak….. ini kan hanya pura-pura!”
Mereka meneruskan perjalannya. Hingga suatu ketika ada seorang pemuda yang sangat tampan datang mendekati si Jelita.
“Hai, cantik, siapakah namamu?”
“Namaku Jelita….!”
“Serasi benar nama dan wajahmu, cantik jelita….!”
“Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan, “jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. “Ia adalah budakku!”
Mak Dasah masih bisa menahan diri. Ia mencoba memperingatkan anaknya lagi. Namun, tak berapa lama kemudian mereka bertemu lagi dengan seorang pemuda yang sangat tampan. Jelita kembali menyebut ibunya sebagai pembantunya. Sesungguhnya ia sangat malu mengakui Mak Dasah sebagai ibunya. Kini sang ibu tak bisa lagi menahan diri dan kesabaran sudah habis.
“Jelita anakku, kau sungguh kelewat batas, kau durhaka, berkali-kali menyebutku sebagai pembantumu. Padahal aku yang merawat dan membesarkanmu sejak kecil. Teganya kau berbuat seperti itu!”
“Emak…kenapa Emak marah…. percayalah ini hanyalah sekedar sandiwara. Nanti setelah pulang dari pasar Emak beli baju yang baru dan indah. Jika kita bertemu dengan pemuda tampan maka aku akan mengakui Emak sebagai ibuku.”
“Tidaklah kau telah menyakitkan hatiku, bagaimanapun keadaan Emak seharusnya kau mau mengakuiku sebagai ibumu.”
Sang ibu sudah tak bisa lagi menahan hinaan ini. Ia tidak mau berdebat lagi dengan anaknya, ia berdo’a kepada Tuhan.
“Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba yang telah hamba besarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa dan begitu menyakitkan hamba. Ya Tuhan, hukumlah anak durhaka ini! Hukumlah dia…..!”
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki, ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis dan memohon ampun kepada ibunya.
“Oh, ibu….ibu….. ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. “Ibu….ibu…. ampunilah anakmu ini….” Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti orang yang sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapatkan kutukan dari ibunya itu dikenal dengan sebutan “Batu Menangis”
Demikianlah cerita yang berbentuk legenda ini diyakini oleh masyarakat setempat dan dipercaya bahwa kisah ini benar-benar terjadi. Barangsiapa durhaka kepada orang tua yang telah merawat dan membesarkan kita dengan penuh cinta dan kasih maka Tuhan Yang Maha Esa akan melaknatnya dan menghukumnya, semoga tidak ada lagi anak durhaka seperti Jelita. Sekian terimakasih dan semoga kita semua bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah ini.
Kreator : Nadya Putri
Comment Closed: Batu Menangis
Sorry, comment are closed for this post.