KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Belanda sesat

    Belanda sesat

    BY 29 Jan 2025 Dilihat: 119 kali
    Belanda sesat_alineaku

    Desa Kedurang, Bengkulu, bagaikan lukisan alam yang terlukis dengan warna-warna lembut dan penuh pesona. Udara sejuk menyapa setiap pagi, membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau yang baru saja terguyur hujan. Aroma kopi robusta yang baru diseduh dari kebun milik Pak Jono, tetanggaku, menyeruak dari balik jendela bambu rumahku, mengusir kantuk dan mengundang semangat untuk memulai hari.

     

    Sungai-sungai yang mengalir jernih bagaikan pita perak yang membelah sawah-sawah yang membentang luas, membiru di bawah langit yang cerah. Di pagi hari, anak-anak desa berlarian di pinggir sungai, bermain air dan saling berkejaran, suara tawa mereka bergema di antara pepohonan. Beberapa di antara mereka, termasuk aku, mencoba keahlian memancing di sungai, menunggu ikan mungkus yang lezat untuk menggigit umpan.

     

    Di antara sawah-sawah yang menghijau, berdiri kokoh pohon-pohon durian yang menjulang tinggi, seakan menjaga harta karun mereka yang manis dan harum. Saat musim durian tiba, aroma manis itu memenuhi udara, memanggil-manggil para penikmatnya untuk menikmati kelezatan buah durian yang legendaris dari Kedurang. Di musim durian Bapak akan bermalam di kebun menunggu durian matang berjatuhan dari pohonnya yang tinggi. Bapak akan menjual durian itu di pasar desa, atau menikmatinya bersama keluarga dan tetangga.

     

    Masyarakat Kedurang, dengan keramahan yang khas, menyambut setiap tamu dengan senyum hangat dan sapaan ramah. Mereka hidup sederhana, berdampingan dengan alam, dan saling membantu dalam suka dan duka. Kicauan burung-burung yang merdu bergema di antara pepohonan, menemani aktivitas mereka yang penuh semangat. Di sore hari, para ibu sibuk memasak di dapur, menghidangkan masakan khas Bengkulu yang lezat, seperti  lemang, ikan pais, dan gulai ikan mungkus. Aroma masakan itu menyeruak di udara, menarik perhatian para anak yang baru pulang dari sekolah.

     

    Namun, di balik keindahan dan keramahan desa Kedurang, tersimpan sebuah rahasia kecil yang membuatku merasa sedikit berbeda.  Aku, Ti,  sering dipanggil Belanda sesat oleh penduduk desa karena kulitku yang putih, rambutku yang pirang, dan mataku yang bulat.  Awalnya, aku merasa senang dengan panggilan itu,  seolah-olah itu adalah sebutan sayang.  Aku  merasa  diperhatikan  dan  dianggap  istimewa.

     

    Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa  tidak  nyaman  dengan  panggilan  itu.  Aku  ingin  dianggap  sebagai  bagian  dari  desa  Kedurang,  bukan  sebagai  “orang  asing”.  Aku  ingin  dikenal  sebagai  Ti,  anak  desa  Kedurang  yang  mencintai  tanah  kelahirannya.

     

    Suatu hari, aku beranikan diri  mengatakan yang sebenarnya kepada teman-temanku.

     

    “Kalian tahu, aku tidak suka dipanggil Belanda  sesat. Aku ingin kalian memanggilku  Ti,  seperti  namaku  yang  sebenarnya.”

     

    Teman-temanku  terkejut  mendengar  perkataanku. Mereka terbiasa memanggilku  Belanda  sesat  dan  mereka  tidak  menyangka  aku  tidak  suka  dengan  panggilan  itu. 

     

    “Tapi, Ti .. ” kata  Lina temanku  yang  paling  dekat.

     

    “Kan  kamu  memang  beda.  Kulitmu  putih,  rambutmu  pirang,  matamu  bulat.  Kamu  memang  seperti  anak  Belanda.”

     

    “Iya,  aku  tahu,”  jawabku  sedih.  “Tapi,  aku  ingin  kalian  memanggilku  Ti,  bukan  ‘Belanda  sesat’.  Rasanya  sakit  ketika  kalian  memanggilku  ‘Belanda  sesat’.  Aku  merasa  seperti  aku  bukan  bagian  dari  desa  ini.”

     

    “Tapi  Ti,”  kata  Lina  lagi,  “Kami  tidak  bermaksud  menyinggung  perasaanmu.  Kami  hanya  terbiasa  memanggilmu  ‘Belanda  sesat’.  Tidak  ada  maksud  lain.”

     

    Aku  menunduk,  menarik  napas  dalam-dalam,  dan  mencoba  menahan  air  mata  yang  ingin  mengalir.  

     

    “Aku  tahu,”  jawabku  dengan  suara  gemetar.  

     

    “Tapi  aku  ingin  kalian  mencoba  untuk  memanggilku  Ti.  Aku  ingin  merasakan  seperti  aku  bagian  dari  desa  ini.  Aku  ingin  merasakan  seperti  aku  diterima  apa  adanya.”

     

    Lina  terdiam  sejenak.  

     

    “Baiklah,  Ti,”  katanya  akhirnya.  

     

    “Kami  akan  mencoba  untuk  memanggilmu  Ti.”

    Namun,  tidak  semua  orang  menganggap  perkataanku  dengan  baik.  Beberapa  orang  tua  mengatakan  bahwa  aku  terlalu  sensitif  dan  tidak  perlu  merasa  tersinggung  dengan  panggilan  itu.  Mereka  berkata,  “Itu  hanya  sebutan  sayang,  kok.  Kami  tidak  bermaksud  menghina  kamu.”

     

    Aku  merasa  sedih  dan  kecewa.  Aku  ingin  diterima  apa  adanya,  tanpa  perlu  dibedakan  dengan  panggilan  yang  menyinggung  perasaanku.  Aku  mulai  merasa  terasing  di  desa  Kedurang,  tempat  yang  selama  ini  kurasakan  sebagai  rumah.

     

    Suatu  sore,  aku  berjalan-jalan  di  pinggir  sungai.  Aku  menatap  pemandangan  yang  indah  di  sekitarku.  Aku  mencoba  untuk  menenangkan  diri  dan  mencari  jalan  keluar  dari  perasaanku  yang  tertekan.  Aku  menarik  napas  dalam-dalam,  mencoba  menenangkan  diri.  Namun,  rasa  sakit  itu  masih  bersemayam  di  hatiku.  Aku  merasa  seperti  aku  bukan  bagian  dari  desa  ini.  Aku  merasa  seperti  aku  tidak  pantas  berada  di  sini.

     

    Tiba-tiba,  aku  mendengar  suara  Nenek  Sumi,  tetanggaku  yang  baik  hati.  Nenek  Sumi  selalu  menyayangiku  dan  mengatakan  bahwa  aku  adalah  anak  yang  baik  dan  cantik.  Nenek  Sumi  mendekatiku  dan  menanyakan  apa  yang  terjadi.

     

    Aku  menceritakan  perasaanku  kepada  Nenek  Sumi.  Nenek  Sumi  mendengarkan  dengan  sabar  dan  menenangkan  aku.  Nenek  Sumi  berkata,  “Ti,  kamu  harus  tetap  berani  menyatakan  perasaanku.  Kamu  berhak  untuk  dihargai  dan  diterima  apa  adanya.  Jangan  biarkan  kata-kata  orang  lain  mengurangi  rasa  percaya  diri  kamu.”

     

    Kata-kata  Nenek  Sumi  membuatku  bersemangat  kembali.  Aku  menyadari  bahwa  aku  tidak  sendiri.  Aku  memiliki  keluarga  dan  teman-teman  yang  menyayangiku.  Aku  harus  tetap  berani  menyatakan  perasaanku  dan  berjuang  untuk  diterima  apa  adanya.

     

    Di  desa  Kedurang,  aku  menemukan  jati  diriku.  Aku  menemukan  kekuatan  baru  dalam  diriku  yang  membantu  aku  melewati  tantangan  hidup  dan  mencapai  impianku  menjadi  seorang  guru.  Aku  bersyukur  telah  menjalani  masa  kecil  yang  indah  di  desa  Kedurang,  tempat  aku  menemukan  kebahagiaan  dan  makna  hidup.

     

    Ucipa

    Bengkulu, 14 Desember 2024

     

    Kreator : Ucipa

    Bagikan ke

    Comment Closed: Belanda sesat

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021