Desa Kedurang, Bengkulu, bagaikan lukisan alam yang terlukis dengan warna-warna lembut dan penuh pesona. Udara sejuk menyapa setiap pagi, membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau yang baru saja terguyur hujan. Aroma kopi robusta yang baru diseduh dari kebun milik Pak Jono, tetanggaku, menyeruak dari balik jendela bambu rumahku, mengusir kantuk dan mengundang semangat untuk memulai hari.
Sungai-sungai yang mengalir jernih bagaikan pita perak yang membelah sawah-sawah yang membentang luas, membiru di bawah langit yang cerah. Di pagi hari, anak-anak desa berlarian di pinggir sungai, bermain air dan saling berkejaran, suara tawa mereka bergema di antara pepohonan. Beberapa di antara mereka, termasuk aku, mencoba keahlian memancing di sungai, menunggu ikan mungkus yang lezat untuk menggigit umpan.
Di antara sawah-sawah yang menghijau, berdiri kokoh pohon-pohon durian yang menjulang tinggi, seakan menjaga harta karun mereka yang manis dan harum. Saat musim durian tiba, aroma manis itu memenuhi udara, memanggil-manggil para penikmatnya untuk menikmati kelezatan buah durian yang legendaris dari Kedurang. Di musim durian Bapak akan bermalam di kebun menunggu durian matang berjatuhan dari pohonnya yang tinggi. Bapak akan menjual durian itu di pasar desa, atau menikmatinya bersama keluarga dan tetangga.
Masyarakat Kedurang, dengan keramahan yang khas, menyambut setiap tamu dengan senyum hangat dan sapaan ramah. Mereka hidup sederhana, berdampingan dengan alam, dan saling membantu dalam suka dan duka. Kicauan burung-burung yang merdu bergema di antara pepohonan, menemani aktivitas mereka yang penuh semangat. Di sore hari, para ibu sibuk memasak di dapur, menghidangkan masakan khas Bengkulu yang lezat, seperti lemang, ikan pais, dan gulai ikan mungkus. Aroma masakan itu menyeruak di udara, menarik perhatian para anak yang baru pulang dari sekolah.
Namun, di balik keindahan dan keramahan desa Kedurang, tersimpan sebuah rahasia kecil yang membuatku merasa sedikit berbeda. Aku, Ti, sering dipanggil Belanda sesat oleh penduduk desa karena kulitku yang putih, rambutku yang pirang, dan mataku yang bulat. Awalnya, aku merasa senang dengan panggilan itu, seolah-olah itu adalah sebutan sayang. Aku merasa diperhatikan dan dianggap istimewa.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa tidak nyaman dengan panggilan itu. Aku ingin dianggap sebagai bagian dari desa Kedurang, bukan sebagai “orang asing”. Aku ingin dikenal sebagai Ti, anak desa Kedurang yang mencintai tanah kelahirannya.
Suatu hari, aku beranikan diri mengatakan yang sebenarnya kepada teman-temanku.
“Kalian tahu, aku tidak suka dipanggil Belanda sesat. Aku ingin kalian memanggilku Ti, seperti namaku yang sebenarnya.”
Teman-temanku terkejut mendengar perkataanku. Mereka terbiasa memanggilku Belanda sesat dan mereka tidak menyangka aku tidak suka dengan panggilan itu.
“Tapi, Ti .. ” kata Lina temanku yang paling dekat.
“Kan kamu memang beda. Kulitmu putih, rambutmu pirang, matamu bulat. Kamu memang seperti anak Belanda.”
“Iya, aku tahu,” jawabku sedih. “Tapi, aku ingin kalian memanggilku Ti, bukan ‘Belanda sesat’. Rasanya sakit ketika kalian memanggilku ‘Belanda sesat’. Aku merasa seperti aku bukan bagian dari desa ini.”
“Tapi Ti,” kata Lina lagi, “Kami tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Kami hanya terbiasa memanggilmu ‘Belanda sesat’. Tidak ada maksud lain.”
Aku menunduk, menarik napas dalam-dalam, dan mencoba menahan air mata yang ingin mengalir.
“Aku tahu,” jawabku dengan suara gemetar.
“Tapi aku ingin kalian mencoba untuk memanggilku Ti. Aku ingin merasakan seperti aku bagian dari desa ini. Aku ingin merasakan seperti aku diterima apa adanya.”
Lina terdiam sejenak.
“Baiklah, Ti,” katanya akhirnya.
“Kami akan mencoba untuk memanggilmu Ti.”
Namun, tidak semua orang menganggap perkataanku dengan baik. Beberapa orang tua mengatakan bahwa aku terlalu sensitif dan tidak perlu merasa tersinggung dengan panggilan itu. Mereka berkata, “Itu hanya sebutan sayang, kok. Kami tidak bermaksud menghina kamu.”
Aku merasa sedih dan kecewa. Aku ingin diterima apa adanya, tanpa perlu dibedakan dengan panggilan yang menyinggung perasaanku. Aku mulai merasa terasing di desa Kedurang, tempat yang selama ini kurasakan sebagai rumah.
Suatu sore, aku berjalan-jalan di pinggir sungai. Aku menatap pemandangan yang indah di sekitarku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dan mencari jalan keluar dari perasaanku yang tertekan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, rasa sakit itu masih bersemayam di hatiku. Aku merasa seperti aku bukan bagian dari desa ini. Aku merasa seperti aku tidak pantas berada di sini.
Tiba-tiba, aku mendengar suara Nenek Sumi, tetanggaku yang baik hati. Nenek Sumi selalu menyayangiku dan mengatakan bahwa aku adalah anak yang baik dan cantik. Nenek Sumi mendekatiku dan menanyakan apa yang terjadi.
Aku menceritakan perasaanku kepada Nenek Sumi. Nenek Sumi mendengarkan dengan sabar dan menenangkan aku. Nenek Sumi berkata, “Ti, kamu harus tetap berani menyatakan perasaanku. Kamu berhak untuk dihargai dan diterima apa adanya. Jangan biarkan kata-kata orang lain mengurangi rasa percaya diri kamu.”
Kata-kata Nenek Sumi membuatku bersemangat kembali. Aku menyadari bahwa aku tidak sendiri. Aku memiliki keluarga dan teman-teman yang menyayangiku. Aku harus tetap berani menyatakan perasaanku dan berjuang untuk diterima apa adanya.
Di desa Kedurang, aku menemukan jati diriku. Aku menemukan kekuatan baru dalam diriku yang membantu aku melewati tantangan hidup dan mencapai impianku menjadi seorang guru. Aku bersyukur telah menjalani masa kecil yang indah di desa Kedurang, tempat aku menemukan kebahagiaan dan makna hidup.
Ucipa
Bengkulu, 14 Desember 2024
Kreator : Ucipa
Comment Closed: Belanda sesat
Sorry, comment are closed for this post.