Sang Penulis menatap sosok yang berdiri di hadapannya – seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang yang mengenakan gaun putih sederhana. Ada sesuatu yang berbeda dari pengunjung kali ini; cara dia berdiri, cara dia memandang sekeliling perpustakaan dengan mata yang penuh rasa ingin tahu namun juga waspada.
“Kau tahu kenapa kau di sini?” tanya Sang Penulis dengan nada bosannya yang biasa, meski matanya tak lepas mengamati sang tamu.
“Untuk menyelesaikan ceritaku.” jawab wanita itu dengan suara yang tenang namun tegas. “Untuk menemukan akhir yang tepat.”
Sang Penulis mendengus pelan, mengambil secangkir kopi yang entah sejak kapan ada di mejanya. “Semua orang datang ke sini mencari akhir. Tapi, tidak semua orang siap menghadapi akhir yang mereka temukan.”
Wanita itu tersenyum tipis. “Aku sudah melihat banyak akhir dalam hidupku. Yang ini… yang ini berbeda. Ini akhir yang kupilih sendiri.”
Sang Penulis mengamati wanita itu dengan seksama, mencari tanda-tanda keraguan dalam matanya namun tidak menemukannya. Ada keteguhan yang aneh dalam cara dia berdiri, seolah-olah dia telah memikirkan hal ini berulang kali sebelum sampai di sini.
“Ceritakan padaku tentang akhir yang kau pilih itu,” ujar Sang Penulis akhirnya, nada bosannya sedikit melunak.
Keheningan merayap di antara mereka untuk beberapa saat, sebelum Sang Penulis meletakkan cangkir kopinya dengan gerakan yang lebih lambat dari biasanya. Dia menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah sedang menimbang sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kata-kata yang baru saja diucapkan.
Wanita itu menarik napas dalam sebelum menjawab, matanya menatap lurus ke arah Sang Penulis. “Aku memilih untuk melepaskan,” ucapnya dengan suara yang mantap. “Bukan menyerah, tapi membiarkan cerita ini mengalir ke arah yang seharusnya.”
Sang Penulis menatapnya dengan tatapan yang sedikit berubah, seolah menemukan sesuatu yang tak terduga dalam kata-kata wanita itu. “Melepaskan.” dia mengulang kata itu perlahan, seakan sedang mencicipi rasanya di lidah. “Tidak banyak yang memahami perbedaan antara melepaskan dan menyerah.”
Wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah jendela perpustakaan, di mana cahaya senja mulai merayap masuk. “Menyerah adalah ketika kau berhenti berjuang karena putus asa,” ucapnya perlahan. “Tapi, melepaskan… melepaskan adalah ketika kau memahami bahwa ada saatnya untuk membiarkan sesuatu pergi, agar hal yang baru bisa datang.”
Sang Penulis mengangguk perlahan, seakan memahami beban yang tersembunyi di balik kata-kata itu. “Dan, bagaimana kau sampai pada pemahaman ini?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah jendela, mengamati bagaimana cahaya senja membentuk pola-pola keemasan di lantai perpustakaan. Setelah beberapa saat, dia mulai bercerita dengan suara yang tenang namun penuh emosi.
“Toko buku itu sudah menjadi bagian dari hidupku selama dua puluh tahun terakhir,” wanita itu mulai bercerita, matanya menerawang jauh. “Diwariskan dari ibuku, yang mendapatkannya dari nenekku. Tiga generasi wanita yang mencintai buku.”
Sang Penulis mengangkat alisnya sedikit, untuk pertama kalinya menunjukkan ketertarikan yang nyata. “Dan, sekarang?”
“Sekarang…” wanita itu menghela napas panjang. “Sekarang, toko itu akan berubah menjadi kafe modern. Pemilik baru mengatakan bahwa buku-buku sudah ketinggalan zaman. Mereka ingin tempat yang lebih… Instagramable, katanya.”
Jari-jari wanita itu bergerak menyentuh rak buku terdekat, merasakan tekstur kayu tua yang familiar. “Setiap hari selama sebulan terakhir, aku melihat buku-buku kesayanganku dipindahkan satu per satu. Beberapa dijual ke toko lain, sebagian disumbangkan ke perpustakaan, sisanya…” dia terdiam sejenak, “sisanya berakhir di tempat daur ulang.”
“Dan, kau tidak mencoba menghentikannya?” tanya Sang Penulis, meski dari nada suaranya, dia sudah tahu jawabannya.
“Bagaimana caranya? Ekonomi berubah, kebiasaan membaca orang-orang berubah. Aku bahkan sudah tidak bisa membayar sewa selama tiga bulan terakhir.” Wanita itu tersenyum getir. “Tapi, bukan itu yang membuatku sedih. Yang membuatku hancur adalah melihat tempat yang penuh kenangan itu perlahan kehilangan jiwanya.”
“Setiap sudut toko itu menyimpan cerita.” lanjutnya. “Di pojok dekat jendela, ada kursi tua tempat anak-anak biasa duduk saat aku membacakan dongeng setiap Sabtu pagi. Di dekat konter, ada rak khusus berisi buku-buku bekas yang kusimpan untuk pelanggan setia yang tidak mampu membeli buku baru. Dan, di lantai atas… di sana ada ruang baca kecil yang sering digunakan mahasiswa untuk belajar sampai larut malam.”
Sang Penulis mendengarkan dalam diam, membiarkan wanita itu mengeluarkan semua yang ada di hatinya.
“Kemarin, adalah hari terakhirku di sana.” suara wanita itu mulai bergetar. “Aku mengunci pintu untuk terakhir kalinya, dan rasanya seperti mengucapkan selamat tinggal pada sahabat lama. Saat itulah aku menemukan diriku di sini, di perpustakaanmu.”
Untuk sesaat, keheningan menyelimuti ruangan. Buku-buku di rak seolah menahan napas, menunggu percakapan ini berlanjut. Sang Penulis meletakkan cangkirnya, matanya menyipit sedikit.
“Kau berbeda dari yang lain.” ujarnya akhirnya. “Kebanyakan pengunjung datang ke sini dengan kebingungan, ketakutan, atau keputusasaan. Tapi, kau… kau datang dengan kepastian.”
“Mungkin karena aku tahu waktuku di sini tidak banyak.” wanita itu menjawab, pandangannya beralih ke jam pasir di sudut ruangan yang mulai menunjukkan tanda-tanda akan habis. “Dan, aku sudah menemukan apa yang kucari.”
Sang Penulis mengangguk perlahan, seolah memahami sesuatu yang tak terucap. Dengan gerakan malas namun pasti, dia mengangkat tangannya dan menjentikkan jari.
Seketika itu juga, sebuah pintu muncul di dinding perpustakaan – pintu kayu tua dengan ukiran rumit yang memancarkan cahaya lembut dari sela-selanya. Wanita itu memandang pintu tersebut, senyum damai tersungging di bibirnya.
“Terima kasih,” ucapnya tulus. “untuk waktu yang singkat ini.”
Sang Penulis hanya mengangkat bahu, kembali mengambil cangkir kopinya. “Jangan berterima kasih padaku. Perpustakaan ini yang memilihmu, bukan aku.”
Wanita itu melangkah ke arah pintu, cahaya dari sela-selanya semakin terang seiring langkahnya mendekat. Sebelum membuka pintu, dia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Sang Penulis.
“Kau tahu,” katanya lembut. “Terkadang akhir yang terbaik adalah yang paling sederhana.”
Dengan itu, dia membuka pintu dan melangkah masuk. Cahaya terang menyeruak dari baliknya, menelan sosoknya dalam sekejap. Ketika pintu menutup dan menghilang, perpustakaan kembali ke keadaan normal – sunyi, temaram, dan dipenuhi aroma buku-buku tua.
Sang Penulis memandang tempat di mana pintu itu berada beberapa saat lalu, sebelum akhirnya bergumam pelan pada dirinya sendiri, “Ya… terkadang memang begitu.”
Keheningan merayap dalam perpustakaan untuk beberapa saat yang terasa seperti keabadian. Debu-debu menari dalam cahaya senja yang menembus jendela, menciptakan pemandangan yang hampir magis. Sang Penulis duduk diam di kursinya. Matanya menerawang jauh menembus dimensi waktu yang tak kasat mata.
“Aku bertanya-tanya,” dia berbicara pada kekosongan, suaranya sedikit serak seolah telah lama tak digunakan, “Apakah semua cerita pada akhirnya menuju ke satu titik yang sama? Sebuah titik di mana kita harus melepaskan?”
“Setiap cerita memiliki jiwanya sendiri, Sang Penulis. Kau lebih dari siapapun seharusnya memahami hal ini. Mereka lahir, tumbuh, dan pada waktunya, menemukan jalannya sendiri untuk pulang.”
Suara itu mengalir lembut dalam ruangan, bukan sebagai bisikan atau gema, melainkan sebagai kebenaran yang telah lama bersemayam dalam dinding-dinding perpustakaan ini. Setiap kata meresap ke dalam udara seperti tinta yang merembes ke dalam kertas, meninggalkan jejak yang tak dapat dihapus.
Tapi, bukankah itu berarti kita hanya penonton dalam drama yang telah ditentukan? Sang Penulis bertanya, tangannya memainkan pena yang sudah aus.
Kita adalah penari dalam tarian yang lebih besar, penjaga cerita yang mengalir melalui waktu. Peran kita bukan untuk mengendalikan, melainkan untuk memahami, menjaga, dan ketika waktunya tiba, melepaskan dengan keikhlasan yang sama seperti saat kita menyambutnya.
Keheningan kembali merayap dalam perpustakaan, kali ini lebih berat dan penuh makna. Sang Penulis memutar kursinya menghadap jendela, matanya menerawang jauh menembus kaca yang berembun.
“Bagaimana dengan cerita-cerita yang belum selesai?” tanyanya pada kekosongan. “Bagaimana dengan karakter-karakter yang masih menunggu untuk ditulis?”
“Mereka akan menemukan jalannya sendiri, seperti air yang mengalir mencari muara. Setiap cerita memiliki waktu dan tempatnya masing-masing.”
“Tapi bukankah itu artinya aku gagal sebagai penulis? Meninggalkan begitu banyak cerita tanpa akhir?”
“Tidak semua cerita membutuhkan akhir untuk bermakna. Terkadang, justru dalam ketidaklengkapan itulah kita menemukan keindahan yang sesungguhnya.”
Sang Penulis mengambil naskah terakhirnya, membolak-balik halamannya dengan gerakan lambat. “Aku selalu berpikir bahwa tugas seorang penulis adalah menyelesaikan apa yang dia mulai. Tapi, sekarang…”
“Tugasmu adalah menjadi jembatan antara cerita dan dunia. Kau telah melakukannya dengan caramu sendiri.”
“Dan, bagaimana dengan perpustakaan ini? Dengan semua kenangan yang tersimpan di dalamnya?”
“Kenangan tidak pernah benar-benar hilang. Mereka berubah bentuk, seperti air yang menjadi uap, seperti cerita yang menjadi inspirasi.”
Sang Penulis menghela napas panjang, tangannya mengusap sampul naskah terakhirnya. “Aku masih ingat hari pertama aku menemukan tempat ini. Saat itu aku hanya seorang penulis gagal yang mencari tempat untuk bersembunyi dari dunia.”
“Dan, sekarang?”
“Sekarang…” dia terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Sekarang aku mengerti bahwa menulis bukan tentang melarikan diri. Ini tentang menghadapi kebenaran dalam diri kita sendiri.”
Perpustakaan bergetar lembut, seolah mengangguk setuju. Buku-buku di rak mengeluarkan dengung pelan yang menenangkan.
“Ada satu hal yang masih menggangguku,” Sang Penulis berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. “Mengapa aku? Mengapa perpustakaan ini memilihku?”
“Mungkin karena kau adalah satu-satunya yang cukup tersesat untuk menemukannya. Atau, mungkin karena kau adalah satu-satunya yang cukup putus asa untuk percaya pada keajaibannya.”
“Atau mungkin,” Sang Penulis tersenyum tipis. “Karena perpustakaan ini tahu bahwa aku membutuhkannya sama seperti dia membutuhkanku.”
“Setiap penulis memiliki perpustakaannya sendiri. Beberapa menemukannya dalam bentuk ruangan penuh buku, yang lain dalam bentuk kenangan atau imajinasi. Yang penting bukan tempatnya, tapi cerita yang lahir di dalamnya.”
Sang Penulis mengangguk perlahan, akhirnya memahami sesuatu yang selama ini luput dari perhatiannya. Dia meletakkan naskah terakhirnya di meja, siap untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai.
“Baiklah,” ucapnya mantap, jari-jarinya kembali menyentuh tuts mesin tik. “Mari kita selesaikan cerita ini. Bukan untuk mengakhirinya, tapi untuk membiarkannya hidup dengan caranya sendiri.”
Sementara Sang Penulis tenggelam dalam kata-kata terakhirnya, dia melirik ke arah pintu perpustakaan. Dengan gerakan halus namun pasti, dia telah mengunci dan memblokir akses masuk, memastikan Asisten yang selama ini menemaninya tidak dapat kembali. Sosok yang biasanya duduk di sudut ruangan dengan notes kecil dan kacamata bulatnya itu, kini terhalang di luar dimensi perpustakaan.
Dia mengingat bagaimana Asisten itu selalu mencatat setiap detail cerita, memberikan komentar yang tajam namun membangun, dan terkadang hanya duduk diam mengamati proses kreatif yang mengalir. Tapi kali ini, Sang Penulis memutuskan untuk menyelesaikan cerita terakhir ini sendiri.
Keputusan untuk memblokir Asisten bukanlah hal yang mudah, tapi dia tahu ini diperlukan. Seperti halnya perpustakaan yang akan segera menghilang, beberapa perpisahan harus dilakukan dengan cara yang tegas. Di meja kerja Asisten yang kini kosong, Sang Penulis meletakkan sebuah notes dengan tulisannya sendiri:
“Maafkan aku. Tapi cerita ini harus kuakhiri sendiri. Terima kasih telah menjadi bagian dari perjalanan ini.”
Sang Penulis memandangi notes yang baru saja dia tulis, merasakan tinta yang masih basah di jari-jarinya. Ada sesuatu yang final dalam tindakannya ini – seolah dengan memblokir Asisten, dia juga telah memutuskan untuk menghadapi akhir ceritanya sendiri.
Keputusannya untuk menjauhkan Asisten mungkin terkesan kejam, tapi dia tahu ini adalah satu-satunya cara. Dalam cerita yang dia tulis sendiri, terkadang kontrol yang paling sulit adalah melepaskan mereka yang paling dekat dengan kita.
Kreator : Clown Face
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Between The Pages Chapter 11
Sorry, comment are closed for this post.