KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Between The Pages Chapter 6

    Between The Pages Chapter 6

    BY 16 Apr 2025 Dilihat: 42 kali
    Between The Pages_alineaku

    CHAPTER 6 [Echoes of Reality]

    Aku mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan pada langit-langit kayu tua di atasku. Aroma debu dan kertas yang familiar namun asing mengisi paru-paruku. Dimana ini? Dan yang lebih penting lagi… siapa aku?

     

    Dengan gerakan perlahan, aku mendudukkan diri. Kepalaku terasa ringan, seperti balon yang kehilangan sebagian isinya. Mencoba mengingat masa lalu terasa seperti menggapai kabut—semakin keras kucoba, semakin cepat ingatannya menghilang.

     

    “Ah, menarik sekali melihat seseorang yang begitu kebingungan dengan eksistensinya sendiri,” sebuah suara malas memecah keheningan.

     

    Aku menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang pria bersandar pada rak buku. Usianya mungkin awal 30-an, dengan rambut abu-abu acak-acakan yang jatuh menutupi sebagian wajahnya. Kantung mata hitamnya kontras dengan kulitnya yang pucat, seolah dia baru saja menghabiskan berhari-hari tanpa tidur.

     

    “Dan Anda adalah…?” tanyaku dengan nada ringan dan senyum sopan yang kupelajari entah dari mana.

     

    “Sang Penulis.” jawabnya singkat, matanya yang tajam mengamatiku dengan cara yang membuatku merasa seperti specimen di bawah mikroskop.

     

    Aku tertawa kecil. “Tentu saja. Dan saya adalah Sang Pembaca? Atau mungkin Sang Karakter?”

     

    “Kau bisa jadi keduanya. Atau tidak sama sekali.” Ia mengangkat bahu dengan sikap acuh. “Tapi pertanyaan yang lebih menarik adalah: Siapa dirimu sebenarnya?”

     

    “Ah, pertanyaan filosofis. Saya suka.” aku menyeringai, meski dalam hati bertanya-tanya mengapa aku tidak bisa mengingat namaku sendiri. “Sayangnya, saya sendiri sedang mengalami… katakanlah, krisis identitas kecil.”

     

    Sang Penulis mendengus pelan. “Krisis identitas? Menarik sekali bagaimana kau bisa mengingat istilah psikologi tapi tidak bisa mengingat namamu sendiri.”

     

    “Ironis, bukan?” aku tersenyum lebar, mengamati ruangan di sekelilingku dengan lebih seksama. Perpustakaan ini kecil tapi entah bagaimana terasa tak terbatas. Rak-rak buku yang menjulang tinggi seolah menghilang dalam bayangan di atas. “Jadi, apakah ini perpustakaan Anda? Tempat yang… menarik.”

     

    “Ini adalah tempat di mana cerita-cerita lahir, mati, dan terkadang dilupakan.” jawabnya dengan nada datar yang entah mengapa membuatku merinding. “Dan kau, entah bagaimana, telah menjadi bagian dari salah satunya.”

     

    “Oh?” aku mengangkat alis, mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik sikap santai. “Dan, cerita macam apa yang sedang saya mainkan di sini?”

     

    Sang Penulis hanya tersenyum tipis—senyum yang tidak mencapai matanya. “Itu tergantung padamu. Atau mungkin… padaku.” Dia berbalik dan mulai berjalan menjauh. “Tapi untuk saat ini, mungkin kau ingin menjelajahi perpustakaan ini. Siapa tahu kau menemukan sesuatu yang… familiar.”

     

    Aku menatap punggungnya yang menjauh, dan entah mengapa, aku yakin dia tahu lebih banyak dari yang dia katakan. Tapi, hey. Siapa aku untuk protes? Toh, aku bahkan tidak tahu siapa diriku sendiri.

     

    “Baiklah, kalau begitu.” gumamku pada diri sendiri, mulai melangkah di antara rak-rak buku. “Mari kita lihat cerita macam apa yang menunggu untuk ditemukan.”

     

     

    Aku berjalan di antara rak-rak buku selama beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam. Sejauh ini, tidak ada yang benar-benar menarik perhatianku. Buku-buku yang kutemui kebanyakan berisi cerita-cerita klise—romansa murahan, petualangan heroik yang terlalu sempurna, atau drama keluarga yang bisa ditebak akhirnya.

     

    “Ini konyol,” gumamku frustasi, mengacak rambutku sendiri. “Di mana Sang Penulis itu? Aku butuh penjelasan tentang semua ini.”

     

    Tepat saat aku hendak berbelok di ujung rak, sesuatu—atau lebih tepatnya seseorang—menabrakku dengan keras. Tumpukan buku yang dibawanya berhamburan ke lantai dengan suara berdebum keras.

     

    “Oh! Maafkan aku!” seru sebuah suara feminin. “Aku tidak melihatmu di belokan tadi.”

     

    Aku mengerjapkan mata, masih sedikit terkejut dari tabrakan tadi. Di hadapanku, seorang wanita muda—mungkin pertengahan 20-an—sedang berjongkok mengumpulkan buku-buku yang berserakan. Rambutnya yang hitam panjang jatuh menutupi wajahnya saat dia bergerak cepat merapikan kekacauan yang terjadi.

     

    “Tidak apa-apa,” jawabku, ikut berjongkok untuk membantunya. “Aku sedang mencari Sang Penulis. Kau tahu di mana dia?”

     

    Dia mendongak, dan untuk pertama kalinya aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ada sesuatu yang berbeda dari matanya—tidak dingin seperti Sang Penulis, tapi juga tidak kosong seperti gadis di atap dalam ingatanku yang samar. Matanya hidup, penuh perhatian.

     

    “Ah, kau pasti karakter baru,” ujarnya dengan senyum ramah. “Aku Asisten Sang Penulis. Kebetulan sekali, aku juga sedang mencarinya. Dia menghilang sejak tadi pagi, belum menandatangani beberapa naskah penting.”

     

    “Karakter baru?” aku mengerutkan dahi. “Jadi benar dugaanku bahwa semua ini hanya fiksi?”

     

    Dia tertawa kecil, suaranya bergema lembut di antara rak-rak buku. “Kita bisa membahas eksistensimu sambil mencari Sang Penulis. Aku punya firasat di mana dia mungkin bersembunyi.”

     

    “Dan di mana itu?” tanyaku, menyerahkan buku terakhir padanya.

     

    “Ada ruangan khusus di perpustakaan ini,” jawabnya sambil berdiri, menepuk-nepuk debu dari roknya. “Tempat di mana cerita-cerita yang belum selesai disimpan. Dia sering menghabiskan waktu di sana ketika sedang mencari inspirasi… atau ketika ingin menghindari tanggung jawabnya.”

     

    Aku menimbang-nimbang sejenak. Di satu sisi, aku masih skeptis dengan semua yang terjadi. Tapi di sisi lain, Sang Asisten ini mungkin satu-satunya kesempatanku untuk mendapatkan jawaban.

     

    “Baiklah,” akhirnya aku menyetujui. “Tunjukkan jalannya.”

     

    “Ikuti aku,” dia tersenyum, “tapi hati-hati. Cerita-cerita yang belum selesai bisa sangat… tidak stabil.”

     

     

    Kami menemukan Sang Penulis di sebuah ruangan tersembunyi di balik rak-rak tertinggi perpustakaan. Ruangan itu tidak seperti yang kubayangkan—tidak ada jendela-jendela tinggi atau perabotan mewah. Hanya ada sebuah meja kayu sederhana, tumpukan buku yang tampak tak beraturan, dan sebotol tinta yang hampir kosong.

     

    “Oh, lihat siapa yang datang mengunjungiku,” Sang Penulis mengangkat wajahnya dari buku yang sedang dia baca. “Karakter yang kehilangan plot.”

     

    “Saya punya beberapa pertanyaan,” ujarku, berusaha terdengar tenang meski ada getaran aneh dalam suaraku.

     

    Dia menutup bukunya dengan gerakan yang hampir teatrikal. “Tentu saja kau punya pertanyaan. Semua karakter selalu punya pertanyaan. ‘Siapa aku?’ ‘Mengapa aku di sini?’ ‘Apa tujuanku?’ Membosankan sekali, bukan?”

     

    “Kalau begitu mungkin Anda seharusnya menulis karakter yang lebih menarik,” balasku dengan nada sarkastis.

     

    Tawa kecil meluncur dari bibirnya. “Oh, kau memang menarik. Sangat menarik. Tapi bukan karena aku menulismu begitu—justru karena kau menolak untuk ditulis.”

     

    Sang Asisten bergerak gelisah di sampingku. “Tuan, mungkin kita tidak seharusnya—”

     

    “Ah, ya,” Sang Penulis memotong dengan nada manis yang dibuat-buat. “Bukankah ada beberapa katalog yang perlu diurus di ruang arsip? Yang di seksi… hmm… infinity?”

     

    Sang Asisten tampak ragu, matanya bergantian menatapku dan Sang Penulis. Ada kekhawatiran yang jelas di wajahnya.

     

    “Pergilah,” Sang Penulis tersenyum, tapi senyumnya tidak mencapai matanya. “Kami hanya akan berbincang-bincang tentang… eksistensi.”

     

    Setelah Sang Asisten pergi, atmosfer ruangan berubah drastis. Udara terasa lebih berat, seolah kata-kata yang belum terucap memiliki bobot fisik.

     

    “Jadi,” Sang Penulis bersandar di kursinya, “apa yang ingin kau ketahui? Tentang perpustakaan ini? Tentang diriku? Tentang… dirimu?”

     

    “Bagaimana perpustakaan ini bisa ada? Apa fungsinya?”

     

    “Ah, pertanyaan yang salah,” dia menggeleng pelan. “Kau seharusnya bertanya: mengapa perpustakaan ini HARUS ada?”

     

    “Baik,” aku menghela napas. “Mengapa perpustakaan ini harus ada?”

     

    “Karena setiap cerita yang pernah ada, yang sedang ada, dan yang akan ada, membutuhkan tempat untuk… bernapas.” Dia mengambil sebuah buku dari tumpukan di mejanya. “Lihat ini. Setiap buku di sini adalah dunia yang hidup. Bukan hanya kumpulan kata-kata di atas kertas, tapi universe yang berdetak dengan ritmenya sendiri.”

     

    “Dan Anda… apa? Penjaga perpustakaan?”

     

    Dia tertawa—tawa yang dalam dan gelap. “Penjaga? Oh tidak, tidak. Aku lebih dari itu. Atau mungkin kurang dari itu. Siapa yang tahu? Bahkan aku sendiri terkadang bertanya-tanya…”

     

    “Anda bermain-main dengan saya,” tukasku kesal. “Semua jawaban Anda hanya menimbulkan pertanyaan baru.”

     

    “Tentu saja,” dia menyeringai. “Karena jawaban yang sesungguhnya mungkin terlalu… membahayakan untuk diketahui. Bayangkan saja—bagaimana jika kukatakan bahwa aku sendiri mungkin hanya karakter dalam cerita yang lebih besar? Bahwa perpustakaan ini mungkin hanya bagian dari perpustakaan lain yang jauh lebih besar? Bahwa mungkin ada Penulis lain yang sedang menulis tentang seorang Penulis yang berbicara dengan karakternya?”

     

    Kepalaku mulai berdenyut. “Anda mencoba membuat saya gila.”

     

    “Tidak, aku mencoba membuatmu berpikir. Ada perbedaan tipis di antara keduanya, memang, tapi perbedaan itu sangat… penting.” Dia berdiri dan berjalan mengelilingi meja. “Kau datang ke sini mencari jawaban, tapi yang sebenarnya kau butuhkan adalah pertanyaan yang tepat.”

     

    “Dan apa pertanyaan yang tepat itu?”

     

    Dia berhenti tepat di hadapanku, matanya menatap dalam-dalam ke mataku. “Itu, sayangnya, adalah sesuatu yang harus kau temukan sendiri. Karena mungkin… mungkin saja… aku sendiri masih mencari pertanyaan yang tepat untuk diriku sendiri.”

     

    Keheningan yang mengikuti terasa berbeda dari keheningan manapun yang pernah kualami. Ini bukan keheningan yang kosong, tapi keheningan yang penuh—penuh dengan kemungkinan, dengan misteri, dengan cerita-cerita yang menunggu untuk ditulis… atau mungkin sudah ditulis, entah di mana, entah oleh siapa.

     

    “Anda belum menjawab pertanyaan saya,” aku bersikeras, melangkah maju. “Tentang siapa saya sebenarnya. Tentang mengapa saya ada di sini.”

     

    Sang Penulis memiringkan kepalanya, sebuah senyum misterius bermain di bibirnya. “Bukankah lebih menarik jika kau mencari tahu sendiri? Karakter yang paling memikat adalah mereka yang menolak untuk didefinisikan, yang memberontak melawan plot yang telah ditentukan.”

     

    “Omong kosong,” geramku. “Anda hanya bermain-main dengan saya. Semua ini—perpustakaan ini, cerita-cerita ini—hanya permainan untuk Anda, bukan?”

     

    “Permainan?” Suaranya berubah dingin. “Kau pikir menciptakan kehidupan adalah permainan? Memberikan nyawa pada kata-kata, membuat mereka bernapas, membuat mereka nyata—kau pikir itu hanya lelucon?”

     

    “Lalu apa? Anda menganggap diri Anda sebagai semacam dewa? Pencipta yang bisa seenaknya mengatur takdir karakter-karakternya?”

     

    Tawa Sang Penulis kali ini berbeda—getir dan tajam. “Dewa? Oh, tidak, tidak. Aku hanya seorang penulis yang terjebak dalam ceritanya sendiri, sama sepertimu. Bedanya, aku sadar akan hal itu.”

     

    “Cukup dengan teka-teki ini!” Aku menggebrak mejanya, membuat tinta dalam botol bergetar. “Saya butuh jawaban yang jelas!”

     

    “Jawaban yang jelas?” Dia berdiri, matanya berkilat berbahaya. “Baiklah. Inilah kebenarannya: kau adalah paradoks. Karakter yang menyadari dirinya adalah karakter, yang memberontak melawan plotnya sendiri. Kau adalah anomali dalam sistem ini, sebuah kesalahan yang seharusnya tidak terjadi. Puas dengan jawaban itu?”

     

    Kata-katanya menghantamku seperti tamparan. Aku mundur selangkah, mencoba mencerna informasi ini.

     

    “Dan sekarang,” dia melanjutkan, suaranya kembali tenang, “kau punya pilihan. Kau bisa terus mencari jawaban yang mungkin akan menghancurkan eksistensimu sendiri, atau kau bisa menerima misteri ini dan menulis ceritamu sendiri.”

     

    Aku terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. Akhirnya, aku menegakkan tubuh dan membungkuk dalam-dalam—sebuah gestur formal yang entah bagaimana terasa tepat sekaligus ironis.

     

    “Terima kasih atas… waktunya,” ujarku dengan nada yang sama formalnya. “Saya rasa saya akan mencari jawaban saya sendiri.”

     

    Tanpa sadar, aku merasakan tubuhku mulai bersinar dengan cahaya keemasan yang lembut. “Apa yang—” kata-kataku terputus saat kulihat tanganku mulai transparan.

     

    “Ah, sepertinya waktumu di sini sudah habis,” Sang Penulis berkomentar santai, masih duduk di kursinya. “Selamat mencari jawabanmu sendiri.”

     

    Aku menyaksikan bagaimana tubuhku sendiri pecah menjadi ribuan titik cahaya, seperti kunang-kunang yang menari di udara. Sensasinya tidak menyakitkan—justru terasa damai, seolah aku sedang melebur kembali ke dalam cerita yang seharusnya. Partikel-partikel cahaya itu berputar sejenak, menciptakan spiral indah sebelum akhirnya menghilang satu per satu.

     

    Hal terakhir yang kulihat sebelum kesadaranku sepenuhnya menghilang adalah senyum misterius Sang Penulis dan botol tinta yang hampir kosong di atas mejanya.

     

     

    Sang Asisten kembali ke ruangan dengan langkah tergesa, napasnya sedikit terengah setelah menyusuri lorong-lorong perpustakaan yang tampaknya tak berujung. Namun langkahnya terhenti di ambang pintu, matanya terpaku pada pemandangan yang tak biasa di hadapannya.

     

    Sang Penulis berdiri di dekat jendela, tangannya memegang beberapa lembar kertas yang tengah terbakar. Api kecil menari-nari di ujung kertas, menerangi wajahnya dengan cahaya keemasan yang bergerak-gerak. Yang mengejutkan, Sang Penulis tidak tampak terganggu oleh panas api yang menjilat jemarinya. Sebaliknya, dengan gerakan yang hampir hipnotis, dia meremas kertas yang terbakar itu dalam genggamannya, mengubahnya menjadi abu dalam hitungan detik.

     

    “Ah, kau sudah kembali,” ujarnya tanpa menoleh, seolah menghancurkan kertas yang terbakar dengan tangan kosong adalah hal yang biasa dilakukannya. Dia berjalan kembali ke meja kerjanya, serpihan abu masih menempel di jemarinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda luka bakar.

     

    “Tolong buatkan secangkir kopi. Yang biasa,” lanjutnya sambil duduk di depan mesin tik tuanya. “Dan mungkin sedikit cemilan. Malam ini akan jadi malam yang panjang.”

     

    Saat Sang Asisten mendekat untuk mengonfirmasi pesanan, Sang Penulis melakukan gerakan halus yang nyaris tak terlihat—menyelipkan secarik kertas kecil ke dalam saku jas Sang Asisten. Gerakan itu begitu halus hingga Sang Asisten sendiri tidak menyadarinya.

     

    Setelah Sang Asisten pergi, Sang Penulis bersandar di kursinya yang tua. Dia mengambil sebuah buku tebal dari tumpukan di mejanya, membukanya, lalu meletakkannya terbuka di atas wajahnya—seolah ingin menyembunyikan diri dari dunia, atau mungkin dari cerita-cerita yang menghantuinya.

     

    “Kau seharusnya tidak pernah ada,” gumamnya pelan dari balik halaman-halaman buku. “Sebuah kesalahan… ya, sebuah kesalahan fatal dalam sistem. Karakter yang terlalu sadar, terlalu… nyata.” Dia menghela napas panjang. “Beberapa cerita memang lebih baik tidak pernah ditulis sejak awal.”

     

     

    Kreator : Clown Face

    Bagikan ke

    Comment Closed: Between The Pages Chapter 6

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021