KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Between The Pages Chapter 9

    Between The Pages Chapter 9

    BY 16 Apr 2025 Dilihat: 47 kali
    Between The Pages_alineaku

    CHAPTER 9 [Memories of War]

    Aku meletakkan cangkir kopi yang sudah dingin di meja teras belakang. Tanganku yang keriput bergetar sedikit, membuat cairan hitam itu beriak pelan. Usia tujuh puluh lima tahun memang bukan waktu yang singkat, dan tubuhku telah menyimpan begitu banyak kenangan – termasuk luka-luka perang yang kadang masih terasa nyeri di pagi yang dingin.

     

    Setiap pagi, rutinitas yang sama. Bangun pukul lima, menyeduh kopi, membaca koran yang diantar Pak Karyo – pengantar koran yang sudah kukenal selama dua puluh tahun terakhir. Kemudian membereskan rumah kecilku yang sepi sejak kepergian istriku lima tahun lalu. Terkadang aku masih mencari-cari sosoknya di sudut-sudut rumah, atau berharap mendengar suara lembutnya dari dapur.

     

    Setelah sarapan sederhana – biasanya roti panggang dan telur – aku akan menyiram tanaman. Ada beberapa pot bunga mawar yang ditinggalkan istriku, dan aku berusaha merawatnya sebaik mungkin meski tidak pernah sehebat dia dalam berkebun. Setidaknya mereka masih bertahan hidup, seperti diriku.

     

    Siang hari biasanya kuhabiskan dengan menonton televisi atau membaca buku-buku lama. Terkadang cucuku, Rina, datang berkunjung membawa makanan atau sekadar mengobrol. Dia selalu mendesakku untuk tinggal bersamanya, tapi aku lebih suka di sini, di rumah yang penuh kenangan ini.

     

    Tapi sore hari adalah waktu favoritku. Ketika matahari mulai condong ke barat dan angin bertiup lebih sejuk, aku akan duduk di kursi taman belakang rumah. Sebuah kursi kayu tua yang sudah ada sejak kami pertama kali membeli rumah ini. Catnya sudah mengelupas di sana-sini, tapi aku tidak pernah berniat menggantinya.

     

    Dari sini, aku bisa melihat taman kecil yang kami rawat bersama dulu. Ada pohon mangga yang kutanam saat anak pertama kami lahir, sekarang sudah begitu besar dan rindang. Di bawahnya, ada bangku kecil tempat kami dulu sering duduk berdua, menikmati senja sambil bercerita tentang hari kami masing-masing.

     

    Saat duduk di sini, kenangan-kenangan itu kembali mengalir. Tentang masa mudaku sebagai tentara, tentang pertempuran-pertempuran yang masih bisa kuingat dengan jelas seolah baru kemarin terjadi. Suara tembakan, teriakan komando, aroma mesiu, dan ketakutan yang selalu mengintai. Tapi juga ada kenangan tentang persahabatan yang terjalin di tengah kesulitan, tentang pengorbanan dan kesetiakawanan yang mungkin hanya bisa ditemui di medan perang.

     

    Angin sore bertiup lembut, menggerakkan daun-daun mangga yang menari di atasku. Aku menyandarkan tubuh tuaku di kursi kayu ini, membiarkan pikiran melayang ke masa-masa yang telah berlalu. Di kejauhan, suara tawa anak-anak yang bermain di jalan depan rumah terdengar samar, mengingatkanku pada kehidupan yang terus bergulir, pada generasi-generasi yang akan datang setelah kami para veteran tua ini pergi.

     

    Mungkin ini yang membuat aku tetap bertahan di sini. Kursi tua ini, taman kecil ini, rumah ini – mereka adalah saksi bisu perjalanan hidupku. Dari seorang pemuda yang berangkat ke medan perang, menjadi suami, ayah, hingga kakek. Setiap sudutnya menyimpan cerita, setiap retakan kayunya menyimpan kenangan.

     

    Suara ranting patah membuatku tersentak dari lamunan. “Masih suka melamun di sini, Kek?” sapa suara yang sudah kukenal dengan baik. Ketika aku menoleh, sosok pemuda itu sedang setengah bergantung di tembok taman belakangku, dengan posisi santainya yang biasa.

     

    Dia mengenakan hoodie hitam favoritnya. Tudungnya setengah menutupi rambutnya yang acak-acakan. Dia tersenyum lebar dan melambaikan tangan, gestur yang sudah sangat familiar setelah hampir dua tahun dia rutin “mampir” dengan cara uniknya sendiri.

     

    “Kau, ini!” gerutuku dengan nada yang lebih geli daripada kesal. “Sudah kubilang berapa kali untuk masuk lewat pintu depan seperti orang normal?” Tapi, kami berdua tahu aku tidak benar-benar keberatan dengan kebiasaannya ini.

     

    “Ah, Kakek tahu sendiri kan? Tradisi tidak boleh diubah.” jawabnya ringan sambil mengayunkan kakinya. “Lagipula, pertama kali kita bertemu juga begini. Kakek ingat tidak? Waktu itu aku tidak sengaja menjatuhkan bola ke halaman belakang Kakek.”

     

    Tentu saja aku ingat. Hari itu, alih-alih marah melihat seorang remaja memanjat tembok rumahku, entah mengapa aku malah mengajaknya minum teh dan bercerita. Mungkin karena dia mengingatkanku pada diriku di masa muda – penuh semangat dan sedikit pembangkang. Sejak saat itu, dia mulai rutin “mampir”, kadang membawa makanan, kadang hanya untuk mendengarkan cerita-cerita perangku, atau sekadar menemani duduk dalam diam.

     

    “Kali ini kau tidak sedang mengejar bola yang nyasar, kan?” tanyaku, meski sudah tahu jawabannya. Pemuda itu memang sering datang di sore hari seperti ini, setelah selesai dengan kuliahnya.

     

    “Tidak, Kek. Sebenarnya… ada yang ingin aku titipkan.” katanya sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat tebal dari dalam ranselnya.

     

    “Titipkan?” tanyaku, mengamati amplop yang kini dia pegang dengan kedua tangannya.

     

    “Ya.” dia mengangguk, tatapannya menerawang ke arah matahari senja yang mulai tenggelam. “Ini… sebuah cerita yang kutulis.”

     

    “Oh?” Aku hendak mengulurkan tangan untuk mengambil amplop itu, tapi dia menahannya sejenak.

     

    “Tapi aku punya satu permintaan, Kek.” ujarnya dengan nada serius yang jarang aku dengar. “Tolong simpan ini. Jangan dibuka dulu. Nanti… nanti akan ada saatnya Kakek tahu kapan harus membukanya.”

     

    Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku tidak bertanya lebih jauh. Aku mengangguk dan menerima amplop itu. Terasa berat di tanganku yang keriput, mungkin berisi puluhan lembar kertas.

     

    “Kau ini penuh misteri ya sekarang.” candaku, mencoba mencairkan suasana yang entah mengapa terasa lebih serius dari biasanya.

     

    Dia hanya tersenyum, senyum yang terasa berbeda dari biasanya. “Aku harus pergi sekarang, Kek. Sudah hampir gelap.” Dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah tembok.

     

    “Hei, besok datang lagi kan?” tanyaku, entah mengapa merasa perlu memastikan.

     

    Dia berhenti sejenak, memunggungiku. “Kakek… jaga diri baik-baik ya.” 

     

    Kemudian dengan satu gerakan cepat, dia memanjat tembok dan menghilang di baliknya, meninggalkanku dengan amplop misterius di tangan dan sejuta pertanyaan yang tak terucap.

     

    Tiga hari berlalu tanpa kabar darinya. Awalnya aku tidak terlalu khawatir – dia memang kadang menghilang beberapa hari ketika sibuk dengan kuliahnya. Tapi pagi ini, saat membaca koran, duniaku seolah berhenti berputar.

     

    Di halaman ketiga, ada berita tentang seorang mahasiswa yang tewas bunuh diri dengan melompat dari lantai 20 sebuah gedung apartemen. Namanya tercetak jelas di sana, disertai foto yang kukenal dengan baik – hoodie hitam itu, senyum yang selalu terlihat sedikit miring ke kiri.

     

    Tanganku gemetar hebat saat membaca artikel itu. Tidak ada tanda-tanda, tidak ada petunjuk. Semua orang yang diwawancarai mengatakan hal yang sama – dia selalu terlihat ceria, selalu tersenyum. Tapi bukankah itu yang selalu dikatakan orang-orang setelah kejadian seperti ini?

     

    Amplop coklat itu masih tergeletak di laci meja samping tempat tidurku. Kini aku mengerti maksud kata-katanya waktu itu – “nanti akan ada saatnya”. Dengan tangan bergetar, aku membuka amplop itu.

     

    Di dalamnya ada sebuah naskah, ditulis rapi dengan tinta hitam. Judulnya sederhana: “Perpustakaan Kecil di Ujung Jalan”. Aku mulai membaca, dan seketika terseret ke dalam dunia yang dia ciptakan.

     

    Cerita itu tentang seorang penulis tua yang memiliki perpustakaan kecil. Setiap hari dia duduk di sana, menulis dan membaca, sesekali melayani pengunjung yang datang meminjam buku. Tapi ada yang aneh dengan perpustakaan itu – setiap pengunjung yang datang selalu menemukan buku yang tepat untuk masalah mereka, seolah perpustakaan itu memiliki jiwa sendiri.

     

    Semakin aku membaca, semakin aku menyadari bahwa cerita ini lebih dari sekadar fiksi. Ada kebenaran yang tersembunyi di balik kata-katanya, ada pesan yang ingin dia sampaikan. Di halaman-halaman terakhir, sang penulis dalam cerita mulai berbicara langsung kepada pembaca.

     

    “Kau yang membaca ini,” tulis sang penulis. “Mungkin bertanya-tanya mengapa aku menceritakan semua ini. Jawabannya sederhana: karena setiap cerita yang kita tulis adalah bagian dari diri kita yang ingin dikenang. Setiap kata adalah jejak yang kita tinggalkan, bukti bahwa kita pernah ada, pernah merasa, pernah hidup.”

     

    Air mataku menetes ke halaman terakhir saat membaca paragraf penutupnya: “Dan, untuk Kakek veteran yang selalu mendengarkan cerita-ceritaku di sore hari – terima kasih. Terima kasih telah menjadi pendengar yang baik, telah berbagi kisah-kisah perangmu, telah mengajarkanku arti keberanian. Maaf aku tidak sekuat dirimu. Tapi setidaknya, melalui cerita ini, aku ingin kau tahu bahwa kau telah membuat hidupku lebih bermakna.”

     

    Aku menutup naskah itu perlahan, membiarkan air mata mengalir di pipiku yang keriput. Di luar, matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga yang sama seperti sore-sore ketika dia datang berkunjung. Kursi kayu tua di taman belakang kini terasa lebih sepi, dan aku tahu, mulai sekarang, senja tidak akan pernah terasa sama lagi.

     

    “Benarkah?”

     

    Suara itu datang begitu tiba-tiba, membuatku tersentak dari lamunan. Aku menoleh ke berbagai arah, mencari sumbernya. Senja sudah mulai memudar, menyisakan cahaya temaram yang membuat bayangan-bayangan tampak mengambang.

     

    Di sana, di sudut taman, aku melihat sosok yang berdiri setengah transparan. Untuk sesaat, wajahnya adalah wajah pemuda dengan hoodie hitam itu, tapi kemudian berubah menjadi wajah seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat – Sang Penulis dari cerita yang baru kubaca.

     

    “Kau ingin tahu di mana dia sekarang?” tanya sosok itu, suaranya seolah bergema dari kejauhan sekaligus terdengar sangat dekat.

     

    “Kau… siapa sebenarnya?” tanyaku, mencengkeram erat sandaran kursi kayu.

     

    Sosok itu tersenyum, senyum yang familiar sekaligus asing. “Aku adalah penjaga cerita-cerita yang belum selesai, pengumpul kata-kata yang tertinggal. Aku adalah yang membuat perpustakaan kecil itu hidup dalam ceritanya.”

     

    “Jadi cerita itu… bukan hanya fiksi?”

     

    “Tidak ada yang benar-benar fiksi, Kakek Veteran. Setiap cerita adalah pintu ke dunia lain, dan setiap penulis adalah kunci untuk membukanya.”

     

    Aku menelan ludah, mengumpulkan keberanian. “Bisakah… bisakah aku bertemu dengannya lagi?”

     

    Sosok itu kini sepenuhnya berubah menjadi Sang Penulis, matanya berkilat di balik kacamata bulatnya. “Itu mungkin,” katanya perlahan. “tapi, harganya… harganya sangat mahal.”

     

    “Berapapun akan kubayar.” kataku mantap.

     

    “Oh, bukan uang yang kumaksud, Kakek Veteran. Yang kubutuhkan adalah sesuatu yang jauh lebih berharga – kenangan. Kenangan perangmu, kisah-kisah yang kau bagikan dengannya. Karena hanya dengan menukar satu cerita dengan cerita lain, pintu itu bisa terbuka.”

     

    Aku menatap sosok itu lekat-lekat, menimbang tawarannya. Kenangan perang yang kumiliki adalah harta paling berharga yang kupunya, tapi… bukankah pemuda itu juga sama berharganya?

     

    “Aku setuju,” kataku mantap.

     

    Seketika, dunia di sekitarku berputar. Warna-warna bercampur seperti cat yang diaduk, dan ketika semuanya berhenti bergerak, aku sudah berada di sebuah ruangan yang berbeda. Aroma buku tua dan kayu cedar memenuhi udara. Rak-rak tinggi berjajar rapi, dipenuhi buku-buku dengan sampul kulit yang sudah menguning dimakan usia.

     

    Di tengah ruangan, duduk di belakang meja kayu mahogani yang besar, adalah dia – pemuda yang kukenal, tapi berbeda. Dia mengenakan setelan formal dengan dasi kupu-kupu dan mantel coklat panjang yang tampak klasik. Kacamata bulat bertengger di hidungnya, dan ada aura berbeda yang terpancar darinya – sesuatu yang tua dan bijaksana.

     

    “Selamat datang di perpustakaanku, Kakek.” sapanya dengan senyum yang familiar.

     

    “Kau… Sang Penulis?” tanyaku ragu.

     

    Dia tertawa kecil. “Ya, dan tidak. Aku adalah dia yang kau kenal, tapi juga dia yang menulis cerita itu. Waktu di sini… berjalan berbeda.”

     

    “Aku tidak mengerti,” kataku jujur.

     

    “Tidak perlu mengerti semuanya,” jawabnya sambil bangkit dan berjalan mengelilingi meja. “Terkadang misteri adalah bagian terpenting dari sebuah cerita. Yang perlu kau tahu adalah – setiap buku di sini adalah sebuah kehidupan, sebuah kemungkinan. Dan kita, para penulis dan pembaca, adalah penjaga dari kemungkinan-kemungkinan itu.”

     

    “Lalu… kenangan perangku?”

     

    “Ah,” dia tersenyum misterius. “Kenangan itu sekarang sudah menjadi bagian dari koleksi perpustakaan ini. Lihat?” Dia menunjuk ke sebuah buku tebal dengan sampul kulit yang tampak baru di rak terdekat.

     

    “Tapi aku masih mengingatnya.” kataku bingung.

     

    “Tentu saja. Yang kita ambil hanya esensinya, bukan kenangannya. Seperti… membuat salinan dari sebuah buku tanpa menghapus yang asli.”

     

    Percakapan kami berlanjut dalam teka-teki dan metafora yang setengah kupahami. Dia berbicara tentang garis-garis waktu yang bersilangan, tentang kata-kata yang memiliki kekuatan untuk mengubah realitas, tentang perpustakaan yang menyimpan semua cerita yang pernah ada dan yang belum ada.

     

    Tiba-tiba, mataku tertuju pada sebuah jam pasir besar di sudut meja. Pasir di bagian atasnya hampir habis.

     

    “Ah,” dia menghela napas, mengikuti arah pandangku. “Waktu kita sudah hampir habis.”

     

    “Tidak bisakah aku tinggal lebih lama?” tanyaku, mendadak merasa seperti anak kecil yang tidak ingin pulang dari taman bermain.

     

    “Setiap pertemuan harus punya akhir, Kakek. Itulah yang membuatnya berarti.” Dia menatapku dengan mata yang kini tampak jauh lebih tua dari usianya. “Tapi, ingatlah – setiap kali kau membuka sebuah buku, kau membuka pintu ke tempat ini.”

     

    Butir pasir terakhir jatuh tepat ketika dia menyelesaikan kalimatnya.

     

    Ketika aku membuka mata, aku kembali duduk di kursi kayu tua di taman belakang. Senja telah berganti malam, dan naskah itu masih terbuka di pangkuanku. Entah berapa lama aku tertidur – atau apakah itu memang benar-benar tidur?

     

    Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Aku masih duduk di kursi taman ini setiap sore, tapi kini tanpa pengunjung muda yang biasa menemaniku. Kadang aku membuka buku-buku dari perpustakaan kota, berharap menemukan jejak keberadaannya di antara lembar-lembar yang menguning.

     

    Para perawat mulai terbiasa melihatku membaca. Mereka bilang itu bagus untuk menjaga pikiran tetap tajam di usia senjaku. Tapi, mereka tidak tahu – setiap kali aku membuka sebuah buku, aku tidak hanya membaca. Aku mencari pintu itu, pintu ke perpustakaan ajaib di mana waktu mengalir berbeda dan cerita-cerita menjadi hidup.

     

    Mungkin, dia benar. Mungkin, setiap buku adalah pintu ke dunia lain. Dan, mungkin suatu hari, di antara ribuan halaman yang kubaca, aku akan menemukannya lagi – Sang Penulis muda dengan kacamata bulat dan senyum yang familiar itu. Sampai saat itu tiba, aku akan terus membaca dan menunggu, karena terkadang, menunggu adalah bagian terpenting dari sebuah cerita.

     

     

    Perpustakaan kecil itu terasa pengap setelah kepergian Kakek Veteran. Tumpukan buku yang memenuhi setiap sudut ruangan seolah bergerak mendekat, membuat ruangan terasa semakin sempit. Di tengah ruangan, dua sosok saling berhadapan – seorang pemuda dengan hoodie hitam yang baru saja berperan sebagai “Sang Penulis”, dan pemilik asli gelar itu.

     

    Sang Penulis asli, seorang pria berusia akhir 20-an dengan rambut berantakan dan kemeja kusut, menguap lebar sambil memainkan pulpen di tangannya. “Jadi,” katanya dengan nada malas. “Kau sudah selesai main-main dengan gelarku?”

     

    “Aku… aku hanya meminjamnya sebentar.” kata pemuda ber-hoodie itu, suaranya kehilangan wibawa yang tadi dipakainya di hadapan Kakek Veteran. “Seperti yang kita sepakati.”

     

    “Hmm,” Sang Penulis asli mengangkat bahu tak acuh. “Terserah. Yang penting kau tidak merusak reputasiku dengan omong kosong soal perpustakaan ajaib dan pintu-pintu dimensi itu.” Dia melemparkan pulpennya ke meja, mendarat di antara tumpukan kertas yang belum disentuhnya selama berminggu-minggu.

     

    “Tapi, bukankah itu membuat ceritanya lebih… bermakna?” pemuda itu mencoba membela diri.

     

    “Bermakna?” Sang Penulis mendengus. “Kau memberinya harapan palsu. Dia akan menghabiskan sisa hidupnya mencari sesuatu yang tidak ada. Well, bukan urusanku sih.” Dia mengambil kaleng kopi dingin dan meminumnya dengan santai.

     

    “Setidaknya aku membuat akhir yang bagus untuk ceritanya.” kata pemuda itu, mulai terlihat transparan di beberapa bagian.

     

    “Ya, ya, terserah.” Sang Penulis memutar matanya. “Omong-omong, kau mulai menghilang tuh. Efek dari perjanjian kita, ingat? Setelah memberikan satu cerita terakhir…”

     

    “Aku tahu,” pemuda itu tersenyum sedih, tubuhnya semakin transparan. “Hanya saja… aku berharap bisa memberikan sesuatu yang lebih baik untuk Kakek itu.”

     

    “Ck,” Sang Penulis berdecak. “Kau terlalu melankolis. Dia hanya karakter dalam cerita. Semua orang pada akhirnya akan menghilang, baik dalam cerita maupun kehidupan nyata.”

     

    Pemuda itu hampir sepenuhnya transparan sekarang. “Mungkin, kau benar. Tapi setidaknya… setidaknya aku membuat keberadaanku berarti bagi seseorang, meski hanya dalam cerita.”

     

    Sang Penulis hanya mengangkat bahu, tidak repot-repot menjawab. Dia menyaksikan dengan ekspresi datar saat pemuda itu akhirnya menghilang sepenuhnya, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.

     

    “Merepotkan.” gumamnya, sambil meraih mesin tik tuanya. “Sekarang aku harus menulis cerita baru lagi.” Dia melirik ke arah kursi kosong tempat Kakek Veteran tadi duduk, sebelum menggelengkan kepala dan mulai mengetik dengan malas. Baginya, semua ini hanyalah pekerjaan – tidak lebih, tidak kurang.

     

     

    Kreator : Clown Face

    Bagikan ke

    Comment Closed: Between The Pages Chapter 9

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021