Malam adalah kanvas bagi kehampaan. Di gedung perkantoran tua ini, di lantai dua belas yang sepi, aku adalah satu-satunya penunggu. Penjaga malam. Sebuah gelar yang terdengar agung, namun sejatinya hanya berarti aku adalah pengamat sunyi dari kegelapan yang merayap. Lampu-lampu koridor yang berkedip, suara pendingin ruangan yang mendengung monoton, dan sesekali, derit lift yang kosong—itulah teman-temanku.
Namaku, aku yakin pernah punya nama. Tapi di sini, di antara dinding-dinding yang dingin ini, aku hanyalah sebuah bayangan, sebuah gema dari eksistensi yang perlahan memudar. Jam menunjukkan pukul dua pagi. Waktu yang sempurna untuk bisikan-bisikan itu memulai konsernya.
Awalnya, mereka hanya desiran. Angin yang menyelinap melalui celah jendela yang tak tertutup sempurna, atau mungkin, suara pipa-pipa tua yang berkarat. Aku mengabaikannya. Kelelahan adalah selimut terbaik bagi pikiran yang terlalu banyak bertanya. Tapi desiran itu perlahan berubah menjadi gumaman. Gumaman yang samar, seperti percakapan di balik pintu tertutup, terlalu jauh untuk dipahami, namun cukup dekat untuk mengusik.
“Kau mendengarnya?” suara itu berbisik, bukan dari dinding, bukan dari ventilasi, tapi dari dalam kepalaku sendiri. Suara yang kukenal, suara yang telah menjadi penghuni tetap di sana. Suara dari dia.
“Mendengar apa?” jawabku dalam hati, sambil terus memindai monitor keamanan yang menampilkan koridor-koridor kosong.
“Suara-suara itu. Mereka semakin jelas, bukan?”
Aku menghela napas. Ya, mereka semakin jelas. Minggu lalu, mereka hanya gumaman. Sekarang, aku bisa merasakan intonasinya, nuansa kepedihan, atau mungkin, kemarahan. Terkadang, aku bahkan merasa bisa menangkap satu atau dua kata.
“Hanya imajinasiku.” bisikku, berusaha meyakinkan diri sendiri.
“Imajinasi? Atau kebenaran yang terlalu mengerikan untuk kau akui?”
Aku mengabaikannya. Fokus pada pekerjaanku. Memastikan setiap pintu terkunci, setiap jendela tertutup, setiap sudut aman. Sebuah ironi yang kejam, menjaga keamanan sebuah gedung, sementara di dalam diriku sendiri, kekacauan merajalela.
Pukul tiga pagi. Bisikan-bisikan itu kini membentuk melodi. Melodi yang sumbang, namun entah mengapa, terasa akrab. Seperti lagu pengantar tidur yang dilupakan, namun dengan lirik yang penuh kengerian. Aku berdiri dari kursi, melangkah perlahan menyusuri koridor. Setiap langkahku terasa berat, seolah lantai ini menahan, tidak ingin aku pergi.
“Di sini,” bisik suara itu, menunjuk ke sebuah pintu kayu tua, yang dulunya mungkin adalah ruang arsip. “Mereka ada di sini.”
Aku ragu. Pintu itu selalu terkunci. Aku tidak punya kuncinya. Atau setidaknya, aku tidak ingat punya. Tapi rasa penasaran, atau mungkin, kegilaan, mendorongku mendekat. Aku menyentuh permukaan kayu yang dingin, merasakan tekstur kasar cat yang mengelupas. Bisikan-bisikan itu semakin keras, seolah memohon, atau menuntut.
“Apa yang kalian inginkan?” tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar, tenggelam dalam paduan suara bisikan.
Terdengar tawa. Tawa yang dingin, hampa, namun juga penuh kepedihan. Tawa dari dia. “Mereka ingin kau tahu. Mereka ingin kau merasakan.”
Aku memejamkan mata, bersandar pada pintu. Aku bisa merasakan getaran di baliknya, seolah ada sesuatu yang hidup, terperangkap, berjuang untuk keluar. Atau mungkin, berjuang untuk masuk ke dalam diriku.
“Apa yang terjadi di sini?” tanyaku lagi, kali ini lebih keras.
Bisikan-bisikan itu membentuk kata-kata. Tidak jelas, terpotong-potong, namun cukup untuk membentuk gambaran. Darah. Ketakutan. Pengkhianatan.
Aku membuka mata. Keringat dingin membasahi pelipis. Ini bukan lagi sekadar imajinasi. Ini adalah sesuatu yang nyata. Atau setidaknya, terasa sangat nyata. Aku adalah saksi dari sesuatu yang telah lama terkubur, sebuah kejahatan yang tak terungkap, penderitaan yang tak terucapkan.
Siang hari, gedung ini dipenuhi tawa, obrolan, dan deru mesin. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka, tidak menyadari bisikan-bisikan yang tersembunyi di balik dinding, di bawah lantai, di antara langit-langit. Mereka hidup dalam gelembung kebahagiaan palsu, sementara aku, aku adalah satu-satunya yang melihat retakan di permukaan.
“Mengapa aku?” tanyaku pada dia, saat aku kembali ke meja kerjaku, mencoba menulis laporan harian. Tanganku gemetar, huruf-huruf di layar menari-nari.
“Karena kau melihat. Karena kau mendengar. Karena kau adalah wadah yang sempurna bagi penderitaan mereka.”
Wadah. Ya, aku adalah wadah. Wadah bagi bisikan-bisikan, bagi kenangan-kenangan yang bukan milikku, bagi kepedihan yang tak pernah kualami secara langsung, namun kini terasa begitu nyata. Aku merasa seolah jiwaku terkoyak, direnggut oleh entitas-entitas tak terlihat yang bersembunyi di setiap sudut gedung ini.
Aku mencoba mencari informasi. Membaca arsip lama gedung, mencari berita-berita kriminal yang mungkin terkait. Tapi tidak ada. Tidak ada jejak. Seolah semua yang terjadi telah dihapus, dilupakan. Kecuali oleh bisikan-bisikan itu. Dan olehku.
Setiap malam, bisikan itu semakin mendominasi. Mereka tidak lagi hanya gumaman. Mereka adalah suara-suara yang jelas, tangisan, jeritan, bisikan putus asa. Aku bisa merasakan kehadiran mereka, bayangan-bayangan tak kasat mata yang menari di sekelilingku, menuntut pengakuan, menuntut keadilan.
“Kau harus melakukan sesuatu,” bisik dia, mendesak.
“Melakukan apa?” Aku sudah tidak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang hanya ilusi.
“Mengungkap kebenaran. Membebaskan mereka.”
Membebaskan mereka? Bagaimana? Aku hanyalah seorang penjaga malam, terperangkap dalam labirin kegilaan yang kubangun sendiri. Aku tidak punya bukti, hanya bisikan-bisikan yang mungkin hanya ada di kepalaku.
Suatu malam, saat bisikan-bisikan mencapai puncaknya, aku melihatnya. Sebuah bayangan, samar, melayang di koridor. Bukan bayanganku sendiri. Bayangan yang lebih gelap, lebih pekat, seolah terbuat dari penderitaan murni. Ia melayang menuju pintu arsip yang terkunci.
Aku mengikutinya, langkahku tanpa suara. Bayangan itu berhenti di depan pintu, menoleh ke arahku. Aku tidak bisa melihat wajahnya, hanya kehampaan yang tak berdasar. Tapi aku merasakan tatapannya, tatapan yang penuh kepedihan dan amarah.
“Ini adalah akhir,” bisik bayangan itu, suaranya berpadu dengan bisikan-bisikan lain yang kini memenuhi seluruh gedung.
Aku tidak tahu apa yang akan berakhir. Hidupku? Kewarasanku? Atau penderitaan mereka? Aku hanya tahu, aku sudah terlalu jauh untuk kembali. Aku adalah bagian dari mereka sekarang. Sebuah bagian dari kekejaman yang tak terlihat, yang kini bersemayam di dalam diriku.
Aku mengulurkan tangan, menyentuh bayangan itu. Rasanya dingin, seperti es, namun juga panas, seperti api. Sebuah rasa sakit yang menusuk, namun entah mengapa, terasa familiar. Seperti aku telah menunggunya sepanjang hidupku.
Ketika pagi tiba, dan rekan-rekan kerja mulai berdatangan, mereka menemukan aku duduk di kursi, di meja kerjaku. Aku tersenyum. Senyum yang sempurna, seperti biasa. Tapi di balik senyum itu, di balik topeng kaca yang tak pernah retak, ada bisikan-bisikan. Bisikan-bisikan yang kini menjadi bagian dari diriku, bersemayam dalam setiap sel, setiap napas. Aku adalah gedung ini. Aku adalah dinding-dinding yang retak. Dan aku adalah bisikan-bisikan itu. Selamanya.
Kreator : Clown Face
Comment Closed: Bisikan di Antara Dinding yang Retak
Sorry, comment are closed for this post.