Bisik-bisik Tentang Ketidakadilan
Hari itu, suasana kelas terasa berbeda. Tak ada tawa dan canda seperti biasanya. Sebaliknya, suara bisik-bisik mengisi udara, menciptakan atmosfer penuh kegelisahan. Ananta duduk di bangkunya, matanya memperhatikan gerak-gerik teman-temannya. Meski tak ada yang berbicara keras, ia tahu apa yang sedang dibicarakan: ketidakadilan.
Dea, yang duduk di sampingnya, membungkuk sedikit lebih dekat. “Nan, aku dengar dari Rani. Katanya, beberapa anak di belakang mau bicara langsung sama Bu Inrani soal ini,” bisiknya.
Ananta mengangkat alis, terkejut. “Serius? Mereka mau bicara langsung?”
Dea mengangguk. “Tapi, katanya, masih ragu. Mereka takut. Kalau sampai salah ngomong, bisa-bisa kita malah dihukum.”
Ananta mendesah. Ia tahu ketakutan itu sangat masuk akal. Berhadapan langsung dengan guru, apalagi soal seperti ini, adalah tindakan yang penuh risiko. Tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa mereka tidak bisa terus-terusan diam.
Faisal, yang duduk di bangku depan, menoleh ke arah mereka. “Aku dengar anak-anak belakang bilang mau kumpul di kantin pas istirahat nanti. Katanya, mau bahas ini lebih serius,” katanya pelan, suaranya hampir berbisik.
Dea menatap Ananta. “Kamu ikut, kan, Nan?”
Ananta terdiam sejenak. Ia tahu, jika ia ikut, itu berarti ia harus bersiap untuk berbicara lebih jauh. Tetapi, jika ia tidak ikut, rasanya ia akan kehilangan kesempatan untuk mencoba mengubah sesuatu.
“Aku ikut,” jawabnya akhirnya.
—
Istirahat siang tiba, dan seperti yang sudah direncanakan, beberapa siswa berkumpul di sudut kantin. Mereka duduk di meja panjang, sebagian besar dengan wajah tegang dan gelisah. Ananta, Dea, dan Faisal bergabung, mendapati bahwa hampir separuh kelas mereka hadir di sana.
“Jadi, gimana? Apa kita beneran mau ngomong sama Bu Inrani?” tanya Rani, memulai pembicaraan. Suaranya pelan, tetapi terdengar jelas di tengah keheningan.
Salah satu siswa di ujung meja, Sandi, mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Di satu sisi, aku pengen banget ngomong. Tapi di sisi lain, aku takut kalau nanti malah makin dimusuhi. Bu Inrani itu tipe guru yang bisa aja bikin kita susah kalau dia nggak suka sama kita.”
Dea mengangguk setuju. “Iya. Itu juga yang aku pikirin. Tapi, kalau kita terus-terusan diam, kapan ini bakal selesai?”
Diskusi itu terus berlanjut, dengan suara-suara yang bergantian menyampaikan pendapat mereka. Beberapa mendukung ide untuk berbicara langsung dengan Bu Inrani, sementara yang lain merasa itu terlalu berisiko.
“Aku ngerti kalau kalian takut,” kata Ananta akhirnya, suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya. Semua mata beralih ke arahnya.
“Aku juga takut. Tapi aku nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kita belajar keras, tapi nggak pernah dihargai. Aku yakin, kalau kita ngomong dengan cara yang baik, mungkin kita bisa bikin Bu Inrani sadar.”
“Tapi gimana kalau dia nggak peduli?” tanya Faisal.
Ananta terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. “Kalau dia nggak peduli, setidaknya kita udah coba. Setidaknya, kita nggak diam aja. Dan kalau kita semua ngomong bareng-bareng, dia nggak akan bisa anggap remeh kita.”
Ucapan itu sejenak membuat semua orang hening. Ada sesuatu dalam nada suara Ananta yang membuat mereka berpikir ulang.
—
Diskusi di kantin itu berakhir tanpa keputusan pasti, tetapi bisik-bisik tentang ketidakadilan terus berlanjut. Di dalam kelas, suasana semakin tegang. Setiap kali Bu Inrani masuk, siswa-siswa itu merasa seperti ada tembok tak terlihat di antara mereka.
Hazara, meskipun sering menjadi pusat perhatian, mulai merasa tidak nyaman dengan atmosfer kelas. Ia mendekati Ananta suatu siang, saat kelas sedang kosong.
“Nan, aku mau ngomong sebentar,” katanya, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Ananta menoleh, sedikit terkejut. “Kenapa?”
Hazara menghela napas. “Aku tahu anak-anak ngomongin soal Bu Inrani. Dan, aku tahu aku jadi salah satu alasan kenapa kalian merasa nggak adil.”
Ananta tidak segera menjawab. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Aku nggak pernah minta diperlakukan istimewa,” lanjut Hazara. “Dan, aku juga nggak pernah maksud buat bikin kalian ngerasa kayak gitu.”
“Aku tahu.” kata Ananta akhirnya.
“Tapi ini bukan cuma soal kamu, Ra. Ini soal bagaimana kita semua diperlakukan. Kita belajar keras, tapi nggak pernah dihargai. Sementara kamu, meskipun mungkin nggak minta, selalu jadi favorit.”
Hazara menunduk, tampak bingung. “Aku nggak tahu harus gimana. Aku nggak mau kalian ngerasa kayak gitu karena aku.”
Ananta menatap Hazara sejenak, lalu berkata, “Kamu nggak salah, Ra. Ini bukan salah kamu. Tapi aku harap, kamu juga bisa lihat dari sisi kami. Kamu ngerti, kan, kenapa kami merasa seperti ini?”
Hazara mengangguk pelan. “Aku ngerti, Nan. Dan, aku… aku minta maaf.”
—
Hari-hari berikutnya, suasana kelas tetap tegang, tetapi Ananta merasa sedikit lebih lega setelah berbicara dengan Hazara. Meski begitu, ia tahu bahwa masalah ini belum selesai.
Di malam hari, Ananta duduk di meja belajarnya, mencoba menyusun kata-kata. Jika ia benar-benar ingin berbicara dengan Bu Inrani, ia harus melakukannya dengan cara yang tepat. Ia menulis beberapa poin di buku catatannya, mencoba merangkai alasan-alasan yang masuk akal tanpa terdengar seperti mengeluh.
Ketika akhirnya ia selesai, ia membaca kembali catatannya dengan hati yang berdebar. Ia tahu, keberanian ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua teman-temannya yang merasa tidak dihargai.
“Besok,” gumamnya pelan. “Aku harus bicara.”
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 16)
Sorry, comment are closed for this post.