KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 21)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 21)

    BY 14 Feb 2025 Dilihat: 166 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 21)_alineaku

    Konfrontasi di Depan Kelas

    Hari itu, suasana kelas terasa berbeda. Hawa dingin kipas angin di pojok ruangan seakan kalah oleh ketegangan yang menggantung di udara. Pagi itu, Bu Inrani masuk ke kelas dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Matanya menyapu ruangan, memandang setiap siswa seakan mencari jawaban yang tak terucap.

     

    “Selamat pagi,” ucapnya singkat. Nada suaranya tidak seperti biasa, lebih dingin, hampir kaku.

     

    “Selamat pagi, Bu,” jawab siswa-siswa dengan serempak, namun terdengar setengah hati.

     

    Tanpa basa-basi, Bu Inrani menumpuk buku pelajaran di meja dan berdiri tegak di depan kelas. Wajahnya tegas, namun tidak bisa menyembunyikan sedikit ketegangan.

     

    “Sebelum kita mulai pelajaran hari ini, saya ingin menyelesaikan satu hal terlebih dahulu,” katanya, suaranya terdengar menggema di ruang kelas yang tiba-tiba menjadi hening.

     

    Mata seluruh siswa tertuju padanya, termasuk Hazara, yang duduk di barisan depan. Hazara tampak gelisah, memainkan ujung pulpennya tanpa henti. Di barisan tengah, Ananta duduk tegak, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang.

     

    “Ananta,” panggil Bu Inrani akhirnya. “Silahkan maju ke depan.”

     

    Ananta menelan ludah. Ia tahu bahwa momen ini akan datang, tetapi tidak menyangka akan secepat ini. Ia berdiri perlahan, melangkah maju dengan perasaan campur aduk antara gugup dan percaya diri.

     

    Semua mata tertuju padanya. Di belakangnya, ia bisa merasakan tatapan dukungan dari Dira dan Fikri, sementara beberapa siswa lain hanya menonton dengan rasa ingin tahu.

     

    Ketika Ananta sampai di depan kelas, Bu Inrani menatapnya tajam. “Kamu yang menulis surat itu, bukan?” tanyanya, suaranya tenang tetapi mengandung nada tajam yang sulit disembunyikan.

     

    Ananta mengangguk pelan. “Iya, Bu. Saya dan beberapa teman menulisnya bersama.”

     

    “Dan, maksud dari surat itu apa?” lanjut Bu Inrani. “Apakah kamu sedang mencoba merusak hubungan kita di kelas ini? Atau, mungkin, kamu ingin menantang otoritas saya sebagai guru?”

     

    Pertanyaan itu membuat suasana semakin mencekam. Beberapa siswa mulai bergerak gelisah di kursi mereka, sementara yang lain menatap Ananta dengan penuh perhatian, menunggu bagaimana ia akan merespons.

     

    Ananta menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini adalah saat yang penting. Dengan suara yang berusaha stabil, ia berkata, “Tidak, Bu. Kami tidak bermaksud merusak apapun. Kami hanya ingin menyampaikan apa yang kami rasakan.”

     

    Bu Inrani menyipitkan matanya. “Dan, apa yang kalian rasakan itu?”

     

    “Ketidakadilan, Bu,” jawab Ananta, suaranya sedikit gemetar tetapi tetap tegas. 

     

    “Kami merasa bahwa usaha kami, kerja keras kami, sering kali tidak dihargai seperti seharusnya. Kami melihat perhatian lebih yang diberikan kepada beberapa siswa tertentu, sementara yang lain, meskipun berusaha sekuat tenaga, tidak mendapatkan pengakuan yang sama.”

     

    Ruangan itu hening. Semua siswa menahan napas, menunggu reaksi Bu Inrani. Bahkan, Hazara, yang biasanya selalu terlihat tenang, tampak bingung dengan apa yang harus ia pikirkan.

     

    Bu Inrani tersenyum tipis, tetapi senyuman itu tidak menunjukkan kehangatan. “Kamu tahu, Ananta, tidak mudah menjadi guru. Saya harus menangani banyak siswa dengan karakter yang berbeda-beda. Saya harus memastikan semua orang mendapatkan perhatian, tetapi terkadang, itu tidak selalu terlihat.”

     

    Ananta mengangguk, mencoba menunjukkan bahwa ia mengerti. “Kami tahu, Bu. Kami tidak bermaksud mengatakan bahwa Ibu tidak peduli pada kami. Kami hanya ingin Ibu melihat bahwa ada siswa-siswa lain yang juga berjuang keras, yang mungkin tidak selalu tampak di depan mata.”

     

    Kata-kata Ananta membuat Bu Inrani terdiam sejenak. Ia memandang Ananta dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam nada suara Ananta yang membuatnya berpikir lebih dalam, tetapi ia juga tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan kelas.

     

    “Saya menghargai keberanianmu untuk berbicara, Ananta,” kata Bu Inrani akhirnya. “Tetapi kamu juga harus tahu bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan dengan cara seperti ini. Ada cara-cara lain untuk menyampaikan pendapat tanpa membuat situasi menjadi tegang seperti sekarang.”

     

    Ananta mengangguk lagi. “Kami mencoba, Bu. Tetapi setelah beberapa kali, kami merasa bahwa surat adalah cara terbaik untuk menyampaikan perasaan kami secara jujur.”

     

    Di belakang kelas, Dira tiba-tiba berdiri. “Bu, maaf, saya ingin menambahkan sesuatu,” katanya.

     

    Bu Inrani mengalihkan pandangannya ke Dira. “Silahkan.”

     

    “Kami tidak bermaksud membuat Ibu marah atau merasa disalahkan. Kami hanya ingin didengar, Bu. Itu saja,” kata Dira dengan suara yang penuh emosi.

     

    Perlahan, beberapa siswa lain ikut mengangguk, menunjukkan dukungan mereka terhadap apa yang dikatakan Dira. Suasana kelas mulai berubah. Ada rasa solidaritas yang muncul di antara siswa-siswa, sesuatu yang tidak pernah terlihat sebelumnya.

     

    Bu Inrani menarik napas panjang. Ia memandang seluruh kelas, lalu kembali ke Ananta.

     

    “Baiklah,” katanya akhirnya.

    “Saya akan mencoba melihat situasi ini dari sudut pandang kalian. Tetapi saya juga berharap kalian bisa memahami posisi saya sebagai guru. Saya tidak pernah berniat untuk bersikap tidak adil.”

     

    Ananta mengangguk, merasa lega bahwa setidaknya Bu Inrani bersedia mendengarkan. “Terima kasih, Bu.” katanya pelan.

     

    “Sekarang, kembali ke tempat dudukmu,” kata Bu Inrani.

     

    Ananta kembali ke kursinya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa bahwa mereka telah membuat kemajuan. Tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai.

     

     

    Setelah pelajaran selesai, Bu Inrani memanggil Ananta dan beberapa temannya ke ruang guru. Di sana, ia berbicara dengan nada yang lebih tenang dan terbuka.

     

    “Saya ingin mendengar lebih banyak tentang apa yang kalian rasakan,” katanya.

     

    Percakapan itu berlangsung selama hampir satu jam. Mereka berbicara dengan jujur, dan untuk pertama kalinya, Bu Inrani benar-benar mendengarkan tanpa menghakimi.

     

    Ketika mereka keluar dari ruang guru, Ananta merasa ada secercah harapan. Ia tahu bahwa perubahan tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi setidaknya, mereka telah memulai sesuatu.

     

    Di koridor, Hazara menghampiri mereka. 

     

    “Kalian hebat,” katanya pelan. “Aku benar-benar menghargai apa yang kalian lakukan.”

     

    Ananta tersenyum. “Kami hanya ingin semuanya menjadi lebih baik,” katanya.

     

    Dan dengan itu, mereka berjalan keluar dari sekolah, merasa sedikit lebih ringan. Perjuangan mereka mungkin belum berakhir, tetapi mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 21)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021