Konfrontasi di Depan Kelas
Hari itu, suasana kelas terasa berbeda. Hawa dingin kipas angin di pojok ruangan seakan kalah oleh ketegangan yang menggantung di udara. Pagi itu, Bu Inrani masuk ke kelas dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Matanya menyapu ruangan, memandang setiap siswa seakan mencari jawaban yang tak terucap.
“Selamat pagi,” ucapnya singkat. Nada suaranya tidak seperti biasa, lebih dingin, hampir kaku.
“Selamat pagi, Bu,” jawab siswa-siswa dengan serempak, namun terdengar setengah hati.
Tanpa basa-basi, Bu Inrani menumpuk buku pelajaran di meja dan berdiri tegak di depan kelas. Wajahnya tegas, namun tidak bisa menyembunyikan sedikit ketegangan.
“Sebelum kita mulai pelajaran hari ini, saya ingin menyelesaikan satu hal terlebih dahulu,” katanya, suaranya terdengar menggema di ruang kelas yang tiba-tiba menjadi hening.
Mata seluruh siswa tertuju padanya, termasuk Hazara, yang duduk di barisan depan. Hazara tampak gelisah, memainkan ujung pulpennya tanpa henti. Di barisan tengah, Ananta duduk tegak, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang.
“Ananta,” panggil Bu Inrani akhirnya. “Silahkan maju ke depan.”
Ananta menelan ludah. Ia tahu bahwa momen ini akan datang, tetapi tidak menyangka akan secepat ini. Ia berdiri perlahan, melangkah maju dengan perasaan campur aduk antara gugup dan percaya diri.
Semua mata tertuju padanya. Di belakangnya, ia bisa merasakan tatapan dukungan dari Dira dan Fikri, sementara beberapa siswa lain hanya menonton dengan rasa ingin tahu.
Ketika Ananta sampai di depan kelas, Bu Inrani menatapnya tajam. “Kamu yang menulis surat itu, bukan?” tanyanya, suaranya tenang tetapi mengandung nada tajam yang sulit disembunyikan.
Ananta mengangguk pelan. “Iya, Bu. Saya dan beberapa teman menulisnya bersama.”
“Dan, maksud dari surat itu apa?” lanjut Bu Inrani. “Apakah kamu sedang mencoba merusak hubungan kita di kelas ini? Atau, mungkin, kamu ingin menantang otoritas saya sebagai guru?”
Pertanyaan itu membuat suasana semakin mencekam. Beberapa siswa mulai bergerak gelisah di kursi mereka, sementara yang lain menatap Ananta dengan penuh perhatian, menunggu bagaimana ia akan merespons.
Ananta menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini adalah saat yang penting. Dengan suara yang berusaha stabil, ia berkata, “Tidak, Bu. Kami tidak bermaksud merusak apapun. Kami hanya ingin menyampaikan apa yang kami rasakan.”
Bu Inrani menyipitkan matanya. “Dan, apa yang kalian rasakan itu?”
“Ketidakadilan, Bu,” jawab Ananta, suaranya sedikit gemetar tetapi tetap tegas.
“Kami merasa bahwa usaha kami, kerja keras kami, sering kali tidak dihargai seperti seharusnya. Kami melihat perhatian lebih yang diberikan kepada beberapa siswa tertentu, sementara yang lain, meskipun berusaha sekuat tenaga, tidak mendapatkan pengakuan yang sama.”
Ruangan itu hening. Semua siswa menahan napas, menunggu reaksi Bu Inrani. Bahkan, Hazara, yang biasanya selalu terlihat tenang, tampak bingung dengan apa yang harus ia pikirkan.
Bu Inrani tersenyum tipis, tetapi senyuman itu tidak menunjukkan kehangatan. “Kamu tahu, Ananta, tidak mudah menjadi guru. Saya harus menangani banyak siswa dengan karakter yang berbeda-beda. Saya harus memastikan semua orang mendapatkan perhatian, tetapi terkadang, itu tidak selalu terlihat.”
Ananta mengangguk, mencoba menunjukkan bahwa ia mengerti. “Kami tahu, Bu. Kami tidak bermaksud mengatakan bahwa Ibu tidak peduli pada kami. Kami hanya ingin Ibu melihat bahwa ada siswa-siswa lain yang juga berjuang keras, yang mungkin tidak selalu tampak di depan mata.”
Kata-kata Ananta membuat Bu Inrani terdiam sejenak. Ia memandang Ananta dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam nada suara Ananta yang membuatnya berpikir lebih dalam, tetapi ia juga tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan kelas.
“Saya menghargai keberanianmu untuk berbicara, Ananta,” kata Bu Inrani akhirnya. “Tetapi kamu juga harus tahu bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan dengan cara seperti ini. Ada cara-cara lain untuk menyampaikan pendapat tanpa membuat situasi menjadi tegang seperti sekarang.”
Ananta mengangguk lagi. “Kami mencoba, Bu. Tetapi setelah beberapa kali, kami merasa bahwa surat adalah cara terbaik untuk menyampaikan perasaan kami secara jujur.”
Di belakang kelas, Dira tiba-tiba berdiri. “Bu, maaf, saya ingin menambahkan sesuatu,” katanya.
Bu Inrani mengalihkan pandangannya ke Dira. “Silahkan.”
“Kami tidak bermaksud membuat Ibu marah atau merasa disalahkan. Kami hanya ingin didengar, Bu. Itu saja,” kata Dira dengan suara yang penuh emosi.
Perlahan, beberapa siswa lain ikut mengangguk, menunjukkan dukungan mereka terhadap apa yang dikatakan Dira. Suasana kelas mulai berubah. Ada rasa solidaritas yang muncul di antara siswa-siswa, sesuatu yang tidak pernah terlihat sebelumnya.
Bu Inrani menarik napas panjang. Ia memandang seluruh kelas, lalu kembali ke Ananta.
“Baiklah,” katanya akhirnya.
“Saya akan mencoba melihat situasi ini dari sudut pandang kalian. Tetapi saya juga berharap kalian bisa memahami posisi saya sebagai guru. Saya tidak pernah berniat untuk bersikap tidak adil.”
Ananta mengangguk, merasa lega bahwa setidaknya Bu Inrani bersedia mendengarkan. “Terima kasih, Bu.” katanya pelan.
“Sekarang, kembali ke tempat dudukmu,” kata Bu Inrani.
Ananta kembali ke kursinya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa bahwa mereka telah membuat kemajuan. Tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai.
—
Setelah pelajaran selesai, Bu Inrani memanggil Ananta dan beberapa temannya ke ruang guru. Di sana, ia berbicara dengan nada yang lebih tenang dan terbuka.
“Saya ingin mendengar lebih banyak tentang apa yang kalian rasakan,” katanya.
Percakapan itu berlangsung selama hampir satu jam. Mereka berbicara dengan jujur, dan untuk pertama kalinya, Bu Inrani benar-benar mendengarkan tanpa menghakimi.
Ketika mereka keluar dari ruang guru, Ananta merasa ada secercah harapan. Ia tahu bahwa perubahan tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi setidaknya, mereka telah memulai sesuatu.
Di koridor, Hazara menghampiri mereka.
“Kalian hebat,” katanya pelan. “Aku benar-benar menghargai apa yang kalian lakukan.”
Ananta tersenyum. “Kami hanya ingin semuanya menjadi lebih baik,” katanya.
Dan dengan itu, mereka berjalan keluar dari sekolah, merasa sedikit lebih ringan. Perjuangan mereka mungkin belum berakhir, tetapi mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 21)
Sorry, comment are closed for this post.