KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 23)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 23)

    BY 17 Feb 2025 Dilihat: 55 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 23)_alineaku

    Siapa yang Layak Menjadi Guru?

    Ruang rapat kecil di ujung lorong lantai dua sekolah itu terasa lebih sesak dari biasanya, meskipun hanya dihuni oleh segelintir orang. Di tengah ruangan, sebuah meja panjang dengan taplak biru muda menjadi pusat perhatian. Di sisi meja, duduklah Ananta, Hazara, dan dua siswa lain yang dipilih sebagai perwakilan kelas. Di ujung yang lain, Bu Inrani tampak duduk dengan postur tegap, sementara kepala sekolah, Pak Satria, berada di tengah dengan ekspresi tenang tapi penuh wibawa.

     

    Jam dinding berdetak pelan, menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan itu. Pak Satria membuka pertemuan dengan suara yang rendah tapi tegas. 

     

    “Baik, mari kita langsung ke inti pertemuan ini. Saya mendengar bahwa ada permasalahan terkait keadilan dalam proses pembelajaran di kelas. Saya ingin mendengarkan langsung dari kalian semua.”

     

    Pak Satria mengarahkan pandangannya kepada Ananta, seolah memberi isyarat untuk mulai bicara. Ananta menelan ludah, mencoba menenangkan kegugupan yang membuncah di dadanya. Ia tahu ini adalah kesempatan besar untuk menyuarakan apa yang selama ini ia dan teman-temannya rasakan.

     

    “Pak,” Ananta memulai dengan nada hati-hati. 

     

    “kami tidak bermaksud membuat keributan atau merusak suasana di kelas. Tapi selama ini, kami merasa ada ketidakadilan dalam cara Bu Inrani memperlakukan siswa.”

     

    Mata Bu Inrani sedikit menyipit. Tapi ia tetap diam, membiarkan Ananta melanjutkan.

     

    “Kami merasa, usaha kami tidak dihargai seperti yang seharusnya. Beberapa siswa, termasuk saya, telah mencoba memberikan yang terbaik, tapi perhatian dan pengakuan lebih sering diberikan kepada siswa tertentu,” lanjut Ananta sambil melirik Hazara sekilas. “Kami tidak menyalahkan Hazara atau siapa pun, tapi kami ingin semua siswa diberi kesempatan yang sama untuk dihargai.”

     

    Hazara yang duduk di sebelah Ananta tampak menunduk, merasa sedikit canggung mendengar namanya disebut. Namun, ia tahu Ananta tidak bermaksud menyerangnya.

     

    Pak Satria mengangguk pelan. “Hazara, apakah ada yang ingin kamu tambahkan?”

     

    Hazara mendongak, lalu menatap Pak Satria dengan ragu. “Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya setuju dengan Ananta, Pak. Saya tidak pernah meminta untuk diperlakukan istimewa. Bahkan, saya sering merasa tidak nyaman karena teman-teman saya jadi merasa diabaikan. Mereka semua bekerja keras, dan saya rasa mereka pantas mendapatkan penghargaan yang sama.”

     

    Ucapan Hazara membuat suasana di ruangan menjadi lebih hening. Mata Pak Satria kini tertuju pada Bu Inrani, yang sejak tadi hanya diam dengan raut wajah tak terbaca.

     

    “Bu Inrani,” Pak Satria akhirnya bersuara, “apa tanggapan Anda terhadap apa yang disampaikan oleh siswa-siswa ini?”

     

    Bu Inrani menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia menyadari bahwa posisinya sedang dipertanyakan, sesuatu yang jarang sekali terjadi dalam karier mengajarnya. Dengan suara yang tenang, ia mulai berbicara.

     

    “Saya tidak pernah berniat untuk bersikap tidak adil,” katanya. “Namun, saya akui bahwa mungkin ada tindakan saya yang tanpa sengaja membuat beberapa siswa merasa diabaikan. Sebagai guru, saya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk siswa saya, tapi saya juga manusia, dan mungkin saya telah membuat kesalahan.”

     

    Pak Satria mengangguk, tapi ia belum selesai. “Bu Inrani, seorang guru adalah panutan bagi siswanya. Tugas kita bukan hanya mengajar, tapi juga memberikan teladan dan memastikan semua siswa merasa dihargai. Bagaimana Anda menjelaskan keluhan mereka ini?”

     

    Pertanyaan itu membuat Bu Inrani terdiam. Ia tahu, ini bukan hanya soal mempertahankan reputasinya, tapi juga soal tanggung jawabnya sebagai seorang pendidik.

     

    “Pak,” Ananta tiba-tiba berbicara lagi, suaranya lebih kuat dari sebelumnya, “kami tidak ingin menyalahkan Bu Inrani. Kami hanya ingin menyampaikan bahwa seorang guru adalah teladan bagi kami. Jika kami tidak merasa dihargai, apa gunanya belajar keras? Kami semua ingin merasa bahwa usaha kami berarti.”

     

    Perkataan Ananta membuat suasana di ruangan itu semakin berat. Bu Inrani menatap Ananta dengan sorot mata yang sulit diartikan—campuran antara rasa bersalah dan kebingungan.

     

    Pak Satria akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Saya mengerti perasaan kalian, Ananta, Hazara, dan semua siswa di kelas. Dan saya juga mengerti posisi Bu Inrani. Menjadi guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, saya ingin mengingatkan kita semua bahwa keadilan adalah nilai yang harus dijunjung tinggi di sekolah ini.”

     

    Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. “Kita tidak sempurna, tapi kita harus terus berusaha untuk menjadi lebih baik. Bu Inrani, saya harap Anda bisa melihat ini sebagai peluang untuk memperbaiki hubungan dengan siswa Anda. Dan kalian, siswa-siswa saya, saya harap kalian juga bisa belajar dari pengalaman ini bahwa menyampaikan pendapat dengan cara yang baik dan konstruktif adalah langkah penting menuju perubahan.”

     

    Semua orang di ruangan itu mengangguk, merasa bahwa pesan Pak Satria telah menyentuh inti dari permasalahan ini.

     

    Bu Inrani akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya. “Saya berjanji akan berusaha lebih baik. Saya akan memastikan bahwa semua siswa di kelas saya merasa dihargai, tidak peduli bagaimana hasil akademik mereka. Terima kasih sudah berani menyampaikan ini kepada saya.”

     

    Ananta dan Hazara saling bertukar pandang, merasa bahwa perjuangan mereka selama ini tidak sia-sia. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan untuk memperbaiki hubungan antara guru dan siswa, dan semua orang meninggalkan ruangan dengan perasaan yang lebih ringan.

     

    Namun, bagi Ananta, ini bukan akhir. Ia tahu bahwa perjuangan untuk keadilan di kelasnya adalah langkah awal untuk perubahan yang lebih besar. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa suara siswa benar-benar memiliki kekuatan.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 23)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021