Siapa yang Layak Menjadi Guru?
Ruang rapat kecil di ujung lorong lantai dua sekolah itu terasa lebih sesak dari biasanya, meskipun hanya dihuni oleh segelintir orang. Di tengah ruangan, sebuah meja panjang dengan taplak biru muda menjadi pusat perhatian. Di sisi meja, duduklah Ananta, Hazara, dan dua siswa lain yang dipilih sebagai perwakilan kelas. Di ujung yang lain, Bu Inrani tampak duduk dengan postur tegap, sementara kepala sekolah, Pak Satria, berada di tengah dengan ekspresi tenang tapi penuh wibawa.
Jam dinding berdetak pelan, menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan itu. Pak Satria membuka pertemuan dengan suara yang rendah tapi tegas.
“Baik, mari kita langsung ke inti pertemuan ini. Saya mendengar bahwa ada permasalahan terkait keadilan dalam proses pembelajaran di kelas. Saya ingin mendengarkan langsung dari kalian semua.”
Pak Satria mengarahkan pandangannya kepada Ananta, seolah memberi isyarat untuk mulai bicara. Ananta menelan ludah, mencoba menenangkan kegugupan yang membuncah di dadanya. Ia tahu ini adalah kesempatan besar untuk menyuarakan apa yang selama ini ia dan teman-temannya rasakan.
“Pak,” Ananta memulai dengan nada hati-hati.
“kami tidak bermaksud membuat keributan atau merusak suasana di kelas. Tapi selama ini, kami merasa ada ketidakadilan dalam cara Bu Inrani memperlakukan siswa.”
Mata Bu Inrani sedikit menyipit. Tapi ia tetap diam, membiarkan Ananta melanjutkan.
“Kami merasa, usaha kami tidak dihargai seperti yang seharusnya. Beberapa siswa, termasuk saya, telah mencoba memberikan yang terbaik, tapi perhatian dan pengakuan lebih sering diberikan kepada siswa tertentu,” lanjut Ananta sambil melirik Hazara sekilas. “Kami tidak menyalahkan Hazara atau siapa pun, tapi kami ingin semua siswa diberi kesempatan yang sama untuk dihargai.”
Hazara yang duduk di sebelah Ananta tampak menunduk, merasa sedikit canggung mendengar namanya disebut. Namun, ia tahu Ananta tidak bermaksud menyerangnya.
Pak Satria mengangguk pelan. “Hazara, apakah ada yang ingin kamu tambahkan?”
Hazara mendongak, lalu menatap Pak Satria dengan ragu. “Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya setuju dengan Ananta, Pak. Saya tidak pernah meminta untuk diperlakukan istimewa. Bahkan, saya sering merasa tidak nyaman karena teman-teman saya jadi merasa diabaikan. Mereka semua bekerja keras, dan saya rasa mereka pantas mendapatkan penghargaan yang sama.”
Ucapan Hazara membuat suasana di ruangan menjadi lebih hening. Mata Pak Satria kini tertuju pada Bu Inrani, yang sejak tadi hanya diam dengan raut wajah tak terbaca.
“Bu Inrani,” Pak Satria akhirnya bersuara, “apa tanggapan Anda terhadap apa yang disampaikan oleh siswa-siswa ini?”
Bu Inrani menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia menyadari bahwa posisinya sedang dipertanyakan, sesuatu yang jarang sekali terjadi dalam karier mengajarnya. Dengan suara yang tenang, ia mulai berbicara.
“Saya tidak pernah berniat untuk bersikap tidak adil,” katanya. “Namun, saya akui bahwa mungkin ada tindakan saya yang tanpa sengaja membuat beberapa siswa merasa diabaikan. Sebagai guru, saya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk siswa saya, tapi saya juga manusia, dan mungkin saya telah membuat kesalahan.”
Pak Satria mengangguk, tapi ia belum selesai. “Bu Inrani, seorang guru adalah panutan bagi siswanya. Tugas kita bukan hanya mengajar, tapi juga memberikan teladan dan memastikan semua siswa merasa dihargai. Bagaimana Anda menjelaskan keluhan mereka ini?”
Pertanyaan itu membuat Bu Inrani terdiam. Ia tahu, ini bukan hanya soal mempertahankan reputasinya, tapi juga soal tanggung jawabnya sebagai seorang pendidik.
“Pak,” Ananta tiba-tiba berbicara lagi, suaranya lebih kuat dari sebelumnya, “kami tidak ingin menyalahkan Bu Inrani. Kami hanya ingin menyampaikan bahwa seorang guru adalah teladan bagi kami. Jika kami tidak merasa dihargai, apa gunanya belajar keras? Kami semua ingin merasa bahwa usaha kami berarti.”
Perkataan Ananta membuat suasana di ruangan itu semakin berat. Bu Inrani menatap Ananta dengan sorot mata yang sulit diartikan—campuran antara rasa bersalah dan kebingungan.
Pak Satria akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Saya mengerti perasaan kalian, Ananta, Hazara, dan semua siswa di kelas. Dan saya juga mengerti posisi Bu Inrani. Menjadi guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, saya ingin mengingatkan kita semua bahwa keadilan adalah nilai yang harus dijunjung tinggi di sekolah ini.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. “Kita tidak sempurna, tapi kita harus terus berusaha untuk menjadi lebih baik. Bu Inrani, saya harap Anda bisa melihat ini sebagai peluang untuk memperbaiki hubungan dengan siswa Anda. Dan kalian, siswa-siswa saya, saya harap kalian juga bisa belajar dari pengalaman ini bahwa menyampaikan pendapat dengan cara yang baik dan konstruktif adalah langkah penting menuju perubahan.”
Semua orang di ruangan itu mengangguk, merasa bahwa pesan Pak Satria telah menyentuh inti dari permasalahan ini.
Bu Inrani akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya. “Saya berjanji akan berusaha lebih baik. Saya akan memastikan bahwa semua siswa di kelas saya merasa dihargai, tidak peduli bagaimana hasil akademik mereka. Terima kasih sudah berani menyampaikan ini kepada saya.”
Ananta dan Hazara saling bertukar pandang, merasa bahwa perjuangan mereka selama ini tidak sia-sia. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan untuk memperbaiki hubungan antara guru dan siswa, dan semua orang meninggalkan ruangan dengan perasaan yang lebih ringan.
Namun, bagi Ananta, ini bukan akhir. Ia tahu bahwa perjuangan untuk keadilan di kelasnya adalah langkah awal untuk perubahan yang lebih besar. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa suara siswa benar-benar memiliki kekuatan.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 23)
Sorry, comment are closed for this post.