Guru yang Tidak Pernah Berubah
Kelas itu masih sama seperti dulu. Dindingnya dihiasi dengan peta dunia yang warnanya mulai memudar dan jadwal pelajaran yang sudah dilaminasi bertahun-tahun lalu. Kursi dan meja kayu yang sering berderit ketika diduduki tetap menjadi teman belajar para siswa. Di depan kelas, Bu Inrani berdiri dengan wibawa yang tak tergoyahkan, seolah waktu tidak pernah menyentuhnya.
Ia mengenakan blus putih yang disetrika rapi dan rok hitam panjang. Rambutnya yang selalu disanggul rapi menjadi ciri khas yang membuat para siswa mengenalnya bahkan dari jauh. Ia memulai pelajaran dengan suara tegas, sama seperti yang ia lakukan selama bertahun-tahun.
“Baik, anak-anak,” katanya sambil mengetuk papan tulis dengan ujung spidol.
“Hari ini kita akan melanjutkan materi yang kemarin. Ada yang ingin bertanya tentang tugas yang saya berikan?”
Satu per satu, para siswa saling menoleh, berharap ada yang cukup berani untuk berbicara. Namun, kelas itu sunyi. Mereka tahu bahwa pertanyaan, meskipun diajukan dengan niat baik, sering kali dianggap sebagai bentuk ketidaktahuan oleh Bu Inrani.
Seorang siswa perempuan di barisan tengah mengangkat tangannya ragu-ragu.
“Bu, saya ingin bertanya tentang soal nomor lima. Saya sudah mencoba mengerjakannya, tapi saya masih bingung dengan langkah terakhirnya.”
Bu Inrani menatap siswa itu dengan alis terangkat. “Sudah saya jelaskan kemarin, bukan? Kalau kamu tidak bisa memahami, berarti kamu kurang fokus saat saya menjelaskan.”
Suasana kelas menjadi dingin. Siswa-siswa lain saling melirik, tapi tidak ada yang berani berkata apa-apa. Siswa perempuan itu menunduk, wajahnya memerah.
—
Setelah pelajaran selesai, siswa-siswa keluar dari kelas dengan langkah berat. Beberapa dari mereka membicarakan Bu Inrani dengan bisik-bisik.
“Dia selalu seperti itu,” bisik seorang siswa laki-laki kepada temannya. “Nggak pernah mendengar kita. Kalau nggak paham, kita yang disalahkan.”
“Ya, aku juga merasa begitu,” balas temannya. “Kalau saja dia mau lebih mendengarkan. Aku dengar dari kakak kelas, dia juga seperti itu waktu mereka diajar dulu.”
Mereka terus berjalan menyusuri koridor sekolah, meninggalkan kelas yang kini sepi. Hanya ada Bu Inrani yang masih berdiri di depan meja guru, membereskan catatannya. Ia tidak menyadari, atau mungkin memilih untuk tidak peduli, bahwa kata-katanya telah meninggalkan bekas di hati banyak siswa.
—
Di ruang guru, Bu Inrani duduk di mejanya yang penuh dengan tumpukan kertas ulangan. Ia memandang nilai-nilai siswa dengan wajah tanpa ekspresi. Baginya, angka-angka itu adalah satu-satunya tolak ukur keberhasilan. Tidak peduli seberapa keras usaha siswa, yang terpenting adalah hasil akhir.
“Bagaimana kelasmu tadi, Inrani?” tanya Pak Sujono, salah satu guru matematika, yang duduk di meja sebelah.
“Seperti biasa,” jawab Bu Inrani singkat. “Beberapa anak masih kesulitan, tapi saya sudah menjelaskan. Kalau mereka masih tidak paham, itu urusan mereka.”
Pak Sujono mengangguk perlahan, meskipun ia tidak sepenuhnya setuju. Ia tahu bahwa cara Bu Inrani mengajar sering kali membuat siswa merasa tertekan. Namun, ia juga tahu bahwa Bu Inrani adalah tipe orang yang sulit diajak berdiskusi.
—
Di tempat lain, Hazara duduk di taman sekolah, menikmati angin sore sambil membuka bukunya. Ia masih teringat percakapannya dengan Ananta beberapa bulan yang lalu. Kata-kata temannya itu terus terngiang di pikirannya, membuatnya bertanya-tanya apakah ada yang bisa ia lakukan untuk membantu.
“Ini bukan salahmu, Hazara. Kau hanya di posisi yang lebih diuntungkan.”
Ia memikirkan bagaimana Bu Inrani sering memberinya perhatian lebih hanya karena ia dianggap siswa teladan. Hazara mulai merasa bahwa perhatian itu, yang dulu ia anggap sebagai bentuk penghargaan, sebenarnya membuatnya terpisah dari teman-temannya yang lain.
Salah seorang teman sekelasnya menghampiri. “Hazara, kamu tahu nggak? Nilai tugas kemarin sudah dibagikan, tapi seperti biasa, anak-anak yang nilainya rendah nggak dapat kesempatan untuk diperbaiki.”
Hazara menghela napas. Ia tahu betul pola ini. “Aku juga bingung kenapa Bu Inrani seperti itu,” katanya.
“Padahal, kalau mereka diberi kesempatan, mungkin hasilnya bisa lebih baik.”
Temannya mengangguk setuju. “Tapi bagaimana caranya mengubah sikap seorang guru? Dia sepertinya tidak peduli.”
Hazara hanya bisa diam. Ia tahu bahwa mengubah seseorang seperti Bu Inrani bukanlah hal yang mudah, terutama karena guru itu selalu merasa metodenya sudah benar.
—
Beberapa minggu kemudian, sekolah mengadakan rapat guru. Kepala sekolah, Pak Hidayat, membuka rapat dengan membahas hasil evaluasi kinerja guru. Ia menyebutkan bahwa ada keluhan dari beberapa siswa tentang metode pengajaran yang tidak inklusif.
“Sebagai pendidik, kita harus selalu membuka diri terhadap kritik,” kata Pak Hidayat. “Tugas kita bukan hanya menyampaikan materi, tetapi juga memastikan bahwa setiap siswa merasa didengar dan dihargai.”
Bu Inrani tetap duduk dengan tenang di kursinya. Ia tidak merasa bahwa kata-kata itu ditujukan kepadanya. Baginya, semua yang ia lakukan sudah cukup. Bukankah ia telah mengajar selama puluhan tahun? Bukankah banyak siswa yang berhasil lulus dan mendapatkan nilai bagus karena bimbingannya?
Ketika rapat selesai, Pak Sujono mencoba menghampiri Bu Inrani. “Inrani, apa kamu tidak merasa bahwa kita bisa sedikit menyesuaikan cara mengajar kita? Anak-anak zaman sekarang berbeda dengan zaman kita dulu.”
Bu Inrani hanya tersenyum tipis. “Sujono, saya sudah mengajar lebih lama dari siapa pun di sekolah ini. Saya tahu apa yang saya lakukan. Kalau mereka merasa tidak cocok, mungkin mereka yang perlu menyesuaikan diri.”
Pak Sujono menghela napas panjang. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa meyakinkan Bu Inrani untuk berubah, setidaknya untuk saat ini.
—
Di sisi lain, para siswa yang masih berada di bawah bimbingan Bu Inrani hanya bisa berharap bahwa mereka tidak mengalami apa yang Ananta alami. Mereka belajar untuk bertahan, mencari cara mereka sendiri untuk tetap termotivasi meskipun merasa diabaikan.
Dan sementara itu, Bu Inrani tetap menjadi guru yang sama, berdiri di depan kelas dengan keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa ia selalu benar. Dunia terus berubah di sekelilingnya, tetapi ia memilih untuk tetap tinggal dalam kenyamanannya, tanpa menyadari bahwa perubahan mungkin adalah hal yang paling dibutuhkan oleh dirinya dan siswa-siswanya.
Namun, di luar sana, di dunia yang lebih luas, seorang mantan murid bernama Ananta sedang berjuang keras untuk mewujudkan mimpinya. Dan meskipun ia tidak lagi berada di bawah bimbingan Bu Inrani, bayangan gurunya itu tetap menjadi pengingat tentang apa yang tidak boleh ia lakukan ketika ia akhirnya berhasil mencapai puncak impiannya.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 28)
Sorry, comment are closed for this post.