KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 29)

    Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 29)

    BY 17 Feb 2025 Dilihat: 157 kali
    Bu, Apakah Cantik yang Utama (Chapter 29)_alineaku

    Ketidakadilan yang Tertanam

    Langit pagi itu cerah. Ananta berdiri di depan gerbang sekolah, memandang ke arah bangunan yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun. Angin lembut berhembus, mengibarkan ujung tali toga hitam yang ia kenakan. Hari ini adalah hari kelulusannya, hari yang seharusnya menjadi penutup dari semua perjuangan yang ia lalui. Namun, di dalam dadanya, perasaan campur aduk menguasai dirinya.

     

    Ia melihat ke sekeliling. Siswa-siswa lain, termasuk Hazara, berdiri bersama keluarga mereka, tersenyum lebar dan penuh haru. Beberapa di antara mereka menunjukkan sertifikat penghargaan yang baru saja diterima. Ananta memalingkan wajah, mencoba mengabaikan rasa perih yang kembali menghantamnya.

     

    Upacara kelulusan tadi pagi masih terngiang-ngiang dalam pikirannya. Ketika nama-nama siswa dengan nilai tertinggi dipanggil satu per satu, ia berdiri di antara kerumunan, bertepuk tangan untuk mereka. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ia juga layak berada di sana. Nilainya mungkin tidak sempurna, tetapi ia telah bekerja keras, lebih keras daripada yang mungkin disadari orang lain.

     

    Namun, seperti biasa, Bu Inrani tidak memberinya pengakuan.

     

     

    Langkah Ananta melambat saat ia menyusuri koridor sekolah yang sudah mulai sepi. Langkah-langkah kecilnya bergema di dinding yang dihiasi dengan poster-poster pendidikan dan slogan motivasi seperti, “Pendidikan adalah Kunci Kesuksesan.” Kata-kata itu terasa hampa baginya.

     

    Ia berhenti sejenak di depan kelasnya, ruangan yang selama ini menjadi saksi bisu perjuangan, tawa, dan tangisnya. Ia memandang ke dalam, mengingat kembali diskusi kelas yang membuatnya kecewa, saat ia mencoba menyuarakan ketidakadilan tetapi tidak didengar.

     

    Bu Inrani, dengan sikapnya yang keras kepala, adalah simbol dari sistem yang lebih besar—sistem yang menilai seseorang hanya dari hasil akhir, tanpa mempertimbangkan perjalanan mereka. Ia menyadari bahwa apa yang ia alami bukan hanya masalah pribadi, tetapi cerminan dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang sudah tertanam dalam sistem pendidikan itu sendiri.

     

     

    Di luar gerbang sekolah, Hazara berdiri menunggu Ananta. Ia melambai ketika melihat temannya itu keluar dari bangunan sekolah.

     

    “Ananta!” panggil Hazara. “Tunggu sebentar!”

     

    Ananta berhenti dan menoleh, menunggu Hazara menghampirinya.

     

    “Kau akan pulang sekarang?” tanya Hazara dengan senyuman kecil.

     

    “Ya,” jawab Ananta singkat. “Kurasa tidak ada lagi yang perlu kulakukan di sini.”

     

    Hazara terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku tahu apa yang kau rasakan, Ananta. Aku tahu kau kecewa. Aku juga merasa Bu Inrani… kadang tidak adil.”

     

    Ananta tersenyum tipis. “Kau tahu, Hazara, ini bukan hanya tentang Bu Inrani. Ini tentang semuanya. Tentang bagaimana sistem ini bekerja. Tentang bagaimana kita hanya dinilai dari angka-angka, tanpa ada yang peduli bagaimana kita mencapainya.”

     

    Hazara mengangguk pelan. Ia tahu Ananta benar. “Tapi kau tidak akan menyerah, kan?”

     

    Ananta menggeleng. “Tidak. Justru ini menjadi motivasiku. Aku ingin membuktikan bahwa keberhasilanku tidak tergantung pada pengakuan dari satu orang guru. Aku ingin membuat perubahan, sekecil apa pun itu.”

     

    Hazara tersenyum, merasa bangga dengan temannya itu. “Aku percaya kau bisa, Ananta. Kau lebih kuat dari yang kau kira.”

     

     

    Di perjalanan pulang, Ananta terus memikirkan percakapannya dengan Hazara. Kata-kata temannya itu memberinya dorongan baru. Ia mulai merancang rencana di pikirannya, membayangkan bagaimana ia bisa membuat perbedaan di masa depan.

     

    Namun, bayangan Bu Inrani tetap menghantui pikirannya. Ia tidak bisa melupakan wajah guru itu, dengan tatapan dingin dan sikap keras kepala yang tidak pernah berubah. Ia berpikir, jika suatu hari ia diberi kesempatan untuk memimpin, ia tidak akan menjadi seperti itu.

     

    Ananta ingin menjadi pemimpin yang mendengarkan, yang memberikan kesempatan kepada semua orang untuk bersinar. Ia ingin memastikan bahwa tidak ada siswa lain yang merasa seperti dirinya—diabaikan, tidak dihargai, meskipun telah berusaha sebaik mungkin.

     

     

    Waktu berlalu, dan Ananta mulai menapaki jalan baru dalam hidupnya. Ia melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi, mengambil jurusan yang sesuai dengan mimpinya. Di kampus, ia aktif dalam berbagai kegiatan, berusaha mengembangkan dirinya dan membangun jaringan yang kuat.

     

    Namun, meskipun ia telah meninggalkan sekolahnya, luka dari masa lalunya tetap menjadi bagian dari dirinya. Ia memutuskan untuk tidak melupakan pengalaman itu, tetapi menggunakannya sebagai pengingat dan pelajaran.

     

    Suatu hari, saat sedang duduk di perpustakaan kampus, ia menulis sebuah catatan di buku jurnalnya:

     

    “Ketidakadilan bukan hanya soal individu, tetapi juga sistem yang mengabaikan usaha dan mengutamakan penampilan luar. Jika aku diberi kesempatan, aku akan memastikan bahwa tidak ada yang merasa diabaikan. Aku akan mendengar, aku akan memahami, dan aku akan memberikan penghargaan pada mereka yang berusaha keras, tidak peduli seberapa kecil pencapaian mereka.”

     

    Kata-kata itu menjadi sumpah bagi dirinya sendiri, sebuah janji yang ia pegang erat di sepanjang perjalanan hidupnya.

     

     

    Sementara itu, di sekolah lamanya, Bu Inrani masih mengajar dengan cara yang sama. Ia tidak menyadari bahwa salah satu mantan muridnya, Ananta, sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seseorang yang berbeda darinya.

     

    Ananta tidak lagi menyimpan dendam terhadap Bu Inrani. Sebaliknya, ia merasa bersyukur karena pengalaman itu telah memberinya pandangan baru tentang bagaimana ia ingin menjalani hidupnya.

     

    Dan meskipun perjalanan itu masih panjang, Ananta yakin bahwa ia bisa membuat perbedaan—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.

     

    Di bawah langit yang sama, Ananta berjalan dengan tekad yang semakin kuat, meninggalkan jejak langkahnya di dunia yang lebih luas, siap untuk mengejar mimpi-mimpinya dan membawa perubahan yang ia yakini.

     

     

    Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI

    Bagikan ke

    Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 29)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021