Ketidakadilan yang Tertanam
Langit pagi itu cerah. Ananta berdiri di depan gerbang sekolah, memandang ke arah bangunan yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun. Angin lembut berhembus, mengibarkan ujung tali toga hitam yang ia kenakan. Hari ini adalah hari kelulusannya, hari yang seharusnya menjadi penutup dari semua perjuangan yang ia lalui. Namun, di dalam dadanya, perasaan campur aduk menguasai dirinya.
Ia melihat ke sekeliling. Siswa-siswa lain, termasuk Hazara, berdiri bersama keluarga mereka, tersenyum lebar dan penuh haru. Beberapa di antara mereka menunjukkan sertifikat penghargaan yang baru saja diterima. Ananta memalingkan wajah, mencoba mengabaikan rasa perih yang kembali menghantamnya.
Upacara kelulusan tadi pagi masih terngiang-ngiang dalam pikirannya. Ketika nama-nama siswa dengan nilai tertinggi dipanggil satu per satu, ia berdiri di antara kerumunan, bertepuk tangan untuk mereka. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ia juga layak berada di sana. Nilainya mungkin tidak sempurna, tetapi ia telah bekerja keras, lebih keras daripada yang mungkin disadari orang lain.
Namun, seperti biasa, Bu Inrani tidak memberinya pengakuan.
—
Langkah Ananta melambat saat ia menyusuri koridor sekolah yang sudah mulai sepi. Langkah-langkah kecilnya bergema di dinding yang dihiasi dengan poster-poster pendidikan dan slogan motivasi seperti, “Pendidikan adalah Kunci Kesuksesan.” Kata-kata itu terasa hampa baginya.
Ia berhenti sejenak di depan kelasnya, ruangan yang selama ini menjadi saksi bisu perjuangan, tawa, dan tangisnya. Ia memandang ke dalam, mengingat kembali diskusi kelas yang membuatnya kecewa, saat ia mencoba menyuarakan ketidakadilan tetapi tidak didengar.
Bu Inrani, dengan sikapnya yang keras kepala, adalah simbol dari sistem yang lebih besar—sistem yang menilai seseorang hanya dari hasil akhir, tanpa mempertimbangkan perjalanan mereka. Ia menyadari bahwa apa yang ia alami bukan hanya masalah pribadi, tetapi cerminan dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang sudah tertanam dalam sistem pendidikan itu sendiri.
—
Di luar gerbang sekolah, Hazara berdiri menunggu Ananta. Ia melambai ketika melihat temannya itu keluar dari bangunan sekolah.
“Ananta!” panggil Hazara. “Tunggu sebentar!”
Ananta berhenti dan menoleh, menunggu Hazara menghampirinya.
“Kau akan pulang sekarang?” tanya Hazara dengan senyuman kecil.
“Ya,” jawab Ananta singkat. “Kurasa tidak ada lagi yang perlu kulakukan di sini.”
Hazara terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku tahu apa yang kau rasakan, Ananta. Aku tahu kau kecewa. Aku juga merasa Bu Inrani… kadang tidak adil.”
Ananta tersenyum tipis. “Kau tahu, Hazara, ini bukan hanya tentang Bu Inrani. Ini tentang semuanya. Tentang bagaimana sistem ini bekerja. Tentang bagaimana kita hanya dinilai dari angka-angka, tanpa ada yang peduli bagaimana kita mencapainya.”
Hazara mengangguk pelan. Ia tahu Ananta benar. “Tapi kau tidak akan menyerah, kan?”
Ananta menggeleng. “Tidak. Justru ini menjadi motivasiku. Aku ingin membuktikan bahwa keberhasilanku tidak tergantung pada pengakuan dari satu orang guru. Aku ingin membuat perubahan, sekecil apa pun itu.”
Hazara tersenyum, merasa bangga dengan temannya itu. “Aku percaya kau bisa, Ananta. Kau lebih kuat dari yang kau kira.”
—
Di perjalanan pulang, Ananta terus memikirkan percakapannya dengan Hazara. Kata-kata temannya itu memberinya dorongan baru. Ia mulai merancang rencana di pikirannya, membayangkan bagaimana ia bisa membuat perbedaan di masa depan.
Namun, bayangan Bu Inrani tetap menghantui pikirannya. Ia tidak bisa melupakan wajah guru itu, dengan tatapan dingin dan sikap keras kepala yang tidak pernah berubah. Ia berpikir, jika suatu hari ia diberi kesempatan untuk memimpin, ia tidak akan menjadi seperti itu.
Ananta ingin menjadi pemimpin yang mendengarkan, yang memberikan kesempatan kepada semua orang untuk bersinar. Ia ingin memastikan bahwa tidak ada siswa lain yang merasa seperti dirinya—diabaikan, tidak dihargai, meskipun telah berusaha sebaik mungkin.
—
Waktu berlalu, dan Ananta mulai menapaki jalan baru dalam hidupnya. Ia melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi, mengambil jurusan yang sesuai dengan mimpinya. Di kampus, ia aktif dalam berbagai kegiatan, berusaha mengembangkan dirinya dan membangun jaringan yang kuat.
Namun, meskipun ia telah meninggalkan sekolahnya, luka dari masa lalunya tetap menjadi bagian dari dirinya. Ia memutuskan untuk tidak melupakan pengalaman itu, tetapi menggunakannya sebagai pengingat dan pelajaran.
Suatu hari, saat sedang duduk di perpustakaan kampus, ia menulis sebuah catatan di buku jurnalnya:
“Ketidakadilan bukan hanya soal individu, tetapi juga sistem yang mengabaikan usaha dan mengutamakan penampilan luar. Jika aku diberi kesempatan, aku akan memastikan bahwa tidak ada yang merasa diabaikan. Aku akan mendengar, aku akan memahami, dan aku akan memberikan penghargaan pada mereka yang berusaha keras, tidak peduli seberapa kecil pencapaian mereka.”
Kata-kata itu menjadi sumpah bagi dirinya sendiri, sebuah janji yang ia pegang erat di sepanjang perjalanan hidupnya.
—
Sementara itu, di sekolah lamanya, Bu Inrani masih mengajar dengan cara yang sama. Ia tidak menyadari bahwa salah satu mantan muridnya, Ananta, sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seseorang yang berbeda darinya.
Ananta tidak lagi menyimpan dendam terhadap Bu Inrani. Sebaliknya, ia merasa bersyukur karena pengalaman itu telah memberinya pandangan baru tentang bagaimana ia ingin menjalani hidupnya.
Dan meskipun perjalanan itu masih panjang, Ananta yakin bahwa ia bisa membuat perbedaan—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.
Di bawah langit yang sama, Ananta berjalan dengan tekad yang semakin kuat, meninggalkan jejak langkahnya di dunia yang lebih luas, siap untuk mengejar mimpi-mimpinya dan membawa perubahan yang ia yakini.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 29)
Sorry, comment are closed for this post.