Tata Tertib yang Tak Tertulis
Setelah suasana kelas kembali tenang, Bu Inrani berdiri di depan papan tulis dengan posisi yang tegap namun anggun. Kedua tangannya bertumpu di meja guru, seolah memberikan kesan bahwa kendali sepenuhnya ada padanya. Dengan suara lembut namun tegas, ia memulai pembicaraan yang lebih serius.
“Anak-anak,” katanya. “Sekarang, saya ingin kita bicara sedikit tentang aturan.”
Beberapa siswa langsung memasang wajah bosan, mengira ini akan menjadi pengulangan biasa tentang tata tertib sekolah yang tertulis di buku panduan. Tapi nada suara Bu Inrani membuat mereka tetap memperhatikan. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang tidak memberikan ruang untuk mengabaikan.
“Saya yakin kalian sudah tahu aturan-aturan dasar di sekolah ini,” lanjutnya.
“Masuk tepat waktu, memakai seragam yang rapi, mengumpulkan tugas tepat waktu. Semua itu penting, tentu saja. Tapi ada hal lain yang ingin saya tekankan di kelas ini.”
Ia melangkah perlahan ke samping, matanya menyapu ruangan.
“Ada aturan yang tidak tertulis, tetapi memiliki dampak besar pada bagaimana kalian dipandang oleh orang lain—dan, lebih penting lagi, bagaimana kalian memandang diri kalian sendiri.”
Para siswa mulai memasang perhatian yang lebih serius. Beberapa di antaranya mencondongkan tubuh ke depan, mencoba menangkap setiap kata.
“Kebersihan dan kerapian kalian mencerminkan siapa kalian,” kata Bu Inrani dengan nada yang lebih tajam.
“Saya tidak hanya berbicara tentang seragam atau cara kalian menyusun buku di meja. Saya berbicara tentang bagaimana kalian menjaga diri, bagaimana kalian membawa diri, dan bagaimana kalian menunjukkan kepada dunia siapa kalian sebenarnya.”
Ananta, yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan pasif, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang menohok di dalam kata-kata itu. Kebersihan dan kerapian mencerminkan siapa diri seseorang? Apakah itu benar? Selama ini ia tidak pernah terlalu memikirkan penampilan. Ia lebih fokus pada hal-hal lain—membaca buku, menulis puisi, dan mencoba memahami dunia di luar dirinya.
Namun, kata-kata Bu Inrani menggema di pikirannya. Ia melirik bajunya yang sedikit kusut, lalu merapikan posisi dasinya dengan gerakan gugup.
“Saya percaya bahwa orang yang cerdas adalah orang yang menghargai dirinya sendiri,” lanjut Bu Inrani. “Dan, salah satu cara kalian menghargai diri sendiri adalah dengan menjaga penampilan. Bukan untuk orang lain, tapi untuk menunjukkan bahwa kalian peduli terhadap diri kalian sendiri.”
Kalimat itu diikuti oleh keheningan. Beberapa siswa tampak setuju, mengangguk pelan. Sebagian lainnya—termasuk Ananta—hanya duduk diam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan.
Bu Inrani melanjutkan, “Kalian mungkin berpikir, Kenapa penampilan harus menjadi ukuran kecerdasan? Saya tidak bilang bahwa kecerdasan hanya tentang penampilan. Tapi, saya ingin kalian ingat satu hal: dunia ini sering menilai kita dari apa yang mereka lihat pertama kali. Itu mungkin tidak adil, tetapi itulah kenyataannya. Jadi, kenapa tidak memberikan kesan pertama yang terbaik?”
Ananta merasa pernyataan itu, meskipun masuk akal, masih terasa asing baginya. Ia selalu percaya bahwa kecerdasan seseorang dilihat dari cara berpikirnya, bukan dari apa yang ia kenakan atau bagaimana ia terlihat. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan logika yang disampaikan Bu Inrani.
Di sudut ruangan, beberapa siswa perempuan diam-diam mengeluarkan cermin kecil dari tas mereka. Mereka memeriksa rambut, menyeka noda di wajah, atau memperbaiki lipatan di kerah seragam mereka. Ananta memperhatikan hal itu dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apakah tindakan itu menunjukkan bahwa mereka mulai menerima kata-kata Bu Inrani, atau justru merasa tertekan olehnya.
“Kalian tidak harus sempurna,” lanjut Bu Inrani, seolah menyadari keraguan di wajah beberapa siswa.
“Tapi kalian harus menunjukkan usaha. Usaha untuk menjadi versi terbaik dari diri kalian. Itulah yang akan saya perhatikan di kelas ini.”
Ia kembali ke meja guru dan membuka map yang tadi dibawanya. Dari dalam map itu, ia mengeluarkan beberapa kertas dan mulai membagikannya ke setiap meja. Ketika kertas itu sampai di meja Ananta, ia membaca judulnya: Komitmen Diri.
“Kalian akan mengisi ini di rumah,” kata Bu Inrani. “Tulis apa yang ingin kalian capai di semester ini. Tapi jangan hanya fokus pada nilai. Saya ingin kalian menuliskan hal-hal yang lebih besar—tentang bagaimana kalian ingin tumbuh sebagai individu. Ini adalah kontrak kalian dengan diri kalian sendiri, bukan dengan saya.”
Ananta membaca instruksi di kertas itu dengan cermat. Ia merasa ini adalah tugas yang lebih sulit daripada apa pun yang pernah diberikan guru sebelumnya. Ini bukan hanya tentang angka-angka atau hafalan. Ini tentang melihat ke dalam diri dan memahami apa yang sebenarnya ia inginkan.
Ketika bel akhirnya berbunyi, Bu Inrani menutup pelajaran dengan satu pesan lagi. “Ingat, anak-anak,” katanya sambil tersenyum tipis, “kelas ini bukan hanya tentang belajar akademis. Ini tentang mempersiapkan kalian untuk dunia yang lebih besar. Dunia yang akan menilai kalian, mengkritik kalian, tetapi juga memberi kalian kesempatan untuk bersinar. Dan semuanya dimulai dari bagaimana kalian membawa diri di ruangan ini.”
Ananta berjalan keluar kelas dengan kepala penuh pikiran. Kata-kata Bu Inrani terus berputar di benaknya. Ia tidak pernah menyangka bahwa pertemuan pertama dengan guru ini akan memberinya begitu banyak hal untuk direnungkan.
Saat ia melewati lorong sekolah, ia melirik bayangannya di kaca jendela. Untuk pertama kalinya, ia melihat refleksi dirinya dengan mata yang berbeda. Apakah benar penampilannya mencerminkan kecerdasannya? Atau mungkin, lebih dari itu, penampilannya adalah cerminan dari bagaimana ia melihat dan menghargai dirinya sendiri?
Di tengah kebingungan itu, Ananta sadar bahwa semester ini akan menjadi lebih dari sekadar rutinitas belajar. Akan ada tantangan-tantangan yang tidak tertulis, aturan-aturan yang tidak terucapkan, dan pelajaran-pelajaran yang hanya bisa dipahami melalui pengalaman. Dan di pusat dari semuanya adalah Bu Inrani—sosok yang baru saja mengubah cara Ananta melihat dunia.
Ia tidak tahu apakah ia siap menghadapi semua itu. Tapi, satu hal yang pasti, ia ingin mencobanya. Dan mungkin, hanya mungkin, ia akan menemukan sesuatu yang baru tentang dirinya di sepanjang perjalanan ini.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 4)
Sorry, comment are closed for this post.