Siapa yang Mendapat Perhatian Bu Guru?
Hari-hari berlalu, dan suasana kelas mulai terbentuk. Bu Inrani, dengan gaya anggunnya yang khas, kini lebih dikenal oleh para siswa. Namun, bukan hanya kepribadiannya yang menjadi bahan pembicaraan, melainkan juga caranya memperlakukan siswa di kelas.
Ananta memperhatikan dengan seksama, meskipun ia bukan tipe yang suka bergosip. Ia mulai menyadari bahwa ada pola tertentu dalam cara Bu Inrani memberikan perhatian. Setiap kali Hazara, siswi yang selalu tampil menonjol dengan gaya modisnya, menjawab pertanyaan—entah benar atau salah—Bu Inrani selalu menanggapinya dengan senyuman lebar atau pujian seperti, “Bagus sekali, Hazara. Kamu selalu punya cara yang elegan dalam menjawab.”
Di sisi lain, Ananta yang sering memberikan jawaban lebih dalam dan analitis hanya mendapat respons singkat.
“Baik, jawaban yang benar,” kata Bu Inrani suatu hari, tanpa mengalihkan pandangannya terlalu lama dari Ananta.
Pada awalnya, Ananta mencoba untuk tidak memikirkannya. Namun, semakin lama, ia merasa ada ketidakadilan yang tak terucapkan di dalam kelas. Ia bukan satu-satunya yang merasa seperti itu. Beberapa siswa lain, terutama mereka yang lebih fokus pada akademik daripada penampilan, mulai menunjukkan ekspresi frustasi yang samar.
Suatu hari, saat pelajaran bahasa Indonesia, Bu Inrani memberikan tugas diskusi kelompok. Para siswa diminta membahas sebuah puisi karya Chairil Anwar dan mencari interpretasi yang paling menarik. Ananta, yang sangat menyukai sastra, merasa ini adalah kesempatan baginya untuk bersinar. Ia bergabung dalam kelompok bersama Hazara, Reza, dan Maya.
“Menurutku, puisi ini tentang pemberontakan,” kata Ananta dengan semangat saat diskusi dimulai.
“Chairil Anwar tidak hanya berbicara tentang kemerdekaan fisik, tetapi juga kebebasan batin. Frasa ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’ bukan hanya tentang usia, tetapi tentang meninggalkan warisan yang abadi.”
Hazara mengangguk sambil memainkan ujung rambutnya. “Itu menarik, Ananta. Tapi, menurutku puisi ini lebih tentang ambisi pribadi. Chairil Anwar ingin menunjukkan bahwa dia berbeda dari orang lain, bahwa dia spesial.”
Reza dan Maya hanya mengangguk tanpa banyak berkomentar. Diskusi berjalan lancar, meskipun Ananta merasa bahwa argumen Hazara kurang mendalam. Namun, ketika kelompok mereka mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas, Bu Inrani justru memberikan perhatian lebih pada Hazara.
“Hazara,” katanya dengan senyum hangat, “Interpretasimu tentang ambisi sangat relevan dengan generasi kita saat ini. Kamu mampu melihat sesuatu yang personal dalam puisi ini, dan itu luar biasa.”
Ananta hanya duduk diam, berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Ia tahu bahwa argumen Hazara tidak sepenuhnya salah, tetapi ia merasa apa yang ia sampaikan tentang pemberontakan batin jauh lebih sesuai dengan konteks puisi itu.
Setelah pelajaran usai, Reza mendekati Ananta di lorong.
“Kamu tadi keren banget, Ta,” katanya. “Aku pikir interpretasimu jauh lebih mendalam daripada Hazara.”
Ananta hanya tersenyum tipis. “Terima kasih, Za. Tapi sepertinya Bu Inrani punya pandangan lain.”
Malam itu, di kamarnya, Ananta duduk di meja belajar sambil memandangi kertas Komitmen Diri yang pernah diberikan Bu Inrani. Ia belum sepenuhnya mengisinya, hanya beberapa poin sederhana tentang meningkatkan nilai dan membaca lebih banyak buku. Namun, sekarang ia merasa ada sesuatu yang hilang.
Ia mengambil pena dan menambahkan satu kalimat di bagian bawah kertas itu:
“Saya ingin dihargai bukan hanya dari apa yang terlihat, tetapi dari apa yang saya pikirkan dan kerjakan.”
—
Keesokan harinya, suasana kelas tidak banyak berubah. Hazara masih menjadi pusat perhatian, baik di kalangan teman-temannya maupun di mata Bu Inrani. Namun, Ananta bertekad untuk tetap fokus pada dirinya sendiri.
Ketika pelajaran dimulai, Bu Inrani mengumumkan bahwa akan ada sesi khusus minggu depan di mana setiap siswa diminta membuat presentasi individu tentang sebuah topik bebas yang mereka sukai.
“Saya ingin kalian memilih sesuatu yang benar-benar kalian pedulikan,” katanya. “Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan siapa kalian sebenarnya.”
Ananta melihat ini sebagai peluang emas. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya memiliki sesuatu yang berharga untuk disampaikan, sesuatu yang lebih dari sekadar penampilan.
Selama beberapa hari berikutnya, ia mempersiapkan presentasinya dengan sungguh-sungguh. Ia memilih topik tentang sastra dan bagaimana puisi dapat menjadi refleksi dari perasaan terdalam seseorang. Ia menyusun argumen, mencari referensi, dan bahkan berlatih berbicara di depan cermin.
Hari presentasi tiba. Hazara menjadi salah satu siswa pertama yang tampil. Ia berbicara tentang mode dan bagaimana gaya berpakaian dapat mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Presentasinya disampaikan dengan percaya diri dan dihiasi dengan gambar-gambar menarik. Bu Inrani, tentu saja, memberikan pujian.
“Luar biasa, Hazara,” katanya. “Kamu benar-benar menunjukkan bahwa mode adalah ekspresi seni.”
Ketika giliran Ananta tiba, ia merasa gugup, tetapi juga bersemangat. Ia berdiri di depan kelas dengan membawa beberapa buku puisi yang ia jadikan referensi.
“Sastra adalah cara kita berbicara kepada dunia tanpa harus berteriak,” ia memulai.
“Melalui puisi, kita bisa menyampaikan perasaan yang bahkan sulit kita ungkapkan dengan kata-kata biasa. Puisi adalah jendela ke dalam jiwa.”
Ia melanjutkan presentasinya dengan penuh semangat, menjelaskan bagaimana karya-karya penyair besar seperti Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan W.S. Rendra mencerminkan berbagai aspek kehidupan manusia—mulai dari cinta hingga kematian, dari pemberontakan hingga keheningan.
Ketika ia selesai, kelas terdiam sejenak sebelum akhirnya memberikan tepuk tangan. Ananta merasa lega, meskipun ia tidak yakin bagaimana Bu Inrani akan menanggapinya.
“Ananta,” kata Bu Inrani, “Presentasimu sangat menginspirasi. Kamu memiliki cara berbicara yang mendalam dan penuh makna.”
Namun, meskipun kata-katanya positif, Ananta merasa ada sesuatu yang kurang dalam nada suaranya. Itu bukanlah pujian yang sama hangatnya dengan yang diterima Hazara.
Di luar kelas, Reza menepuk bahu Ananta.
“Kamu tadi keren banget, Ta,” katanya. “Aku yakin semua orang di kelas terkesan.”
“Terima kasih, Za,” jawab Ananta dengan senyum kecil.
Meskipun ia tidak mendapatkan perhatian yang sama seperti Hazara, Ananta merasa bahwa ia telah berhasil menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Dan, bagi dirinya, itu sudah cukup untuk saat ini.
Kreator : JESINTA DEWI SRIKANDI
Comment Closed: Bu, Apakah Cantik yang Utama? (Chapter 5)
Sorry, comment are closed for this post.