Setelah Alfian pergi meninggalkan apartemen Nana, pikiran Nana penuh dengan perasaan bersalah dan kebingungan. Ia tahu kehadiran Daniel di apartemennya memang terlihat salah, meskipun sebenarnya tidak ada hal yang melanggar batas. Daniel hanya datang untuk membahas proyek tim mereka yang akan dipresentasikan minggu depan. Tapi, apakah itu penting sekarang? Yang Alfian lihat jelas berbeda dari kenyataan, dan Nana tidak bisa menyalahkannya sepenuhnya.
Daniel, yang menyaksikan situasi itu, merasa tidak enak.
“Nana, aku minta maaf kalau kehadiranku bikin masalah. Aku nggak tahu pacarmu akan datang,” ujarnya sambil meletakkan cangkir kopi di meja.
Nana menggeleng pelan, menahan air matanya.
“Ini bukan salah kamu, Daniel. Ini memang masalah yang udah lama aku dan dia coba selesaikan.”
Daniel mendekat, tapi tetap menjaga jarak yang sopan.
“Kalau kamu butuh waktu sendiri, aku bisa pergi dulu.”
Nana mengangguk.
“Iya, mungkin itu yang terbaik. Terima kasih, El.”
Setelah Daniel pergi, Nana menutup pintu dan terduduk di sofa, merasa kosong. Ia ingin menghubungi Alfian, tapi ia tahu suasana hati Alfian sedang tidak baik. Ia memutuskan untuk menunggu dan memberinya waktu.
…
Sementara itu, Alfian kembali ke Hotel dengan perasaan campur aduk. Amarah, cemburu, dan kekecewaan bercampur menjadi satu. Ia mencoba menenangkan dirinya, tapi bayangan Nana dan Daniel terus mengganggu pikirannya. Dalam hati, ia bertanya-tanya: apakah Nana benar-benar sudah menemukan pengganti?
Malam itu, Alfian memutuskan untuk menulis pesan kepada Nana. Pesan yang penuh emosi, tapi jujur. Ia tahu, pesan tersebut bisa menjadi titik balik bagi hubungan mereka—entah ke arah yang lebih baik, atau malah berakhir.
Ketika Nana menerima pesan itu, ia membacanya berkali-kali. Setiap kata terasa menusuk hatinya. Ia menyadari bahwa ini adalah momen yang akan menentukan hubungan mereka. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia memutuskan untuk menulis balasan.
Setelah mengirim pesan itu, Nana merasa lega sekaligus takut. Ia tidak tahu bagaimana Alfian akan menanggapinya.
Keesokan harinya …
Alfian membaca pesan Nana pagi-pagi, setelah semalaman tidak bisa tidur. Jawaban Nana memberinya kelegaan, tapi juga meninggalkan bekas luka. Ia tahu Nana tidak berkhianat, tapi pengakuan tentang rasa kesepian, dan kedekatannya dengan Daniel adalah kenyataan pahit yang sulit diterima.
Alfian akhirnya mengajak Nana bertemu langsung di sebuah kafe kecil dekat apartemen Nana. Mereka sepakat untuk berbicara secara terbuka dan jujur.
…
Ketika mereka bertemu, suasana terasa canggung. Alfian memulai dengan nada tenang, meskipun hatinya masih terasa berat.
“Na, aku cuma mau tahu satu hal: apa kamu masih mau kita lanjutkan hubungan ini?” tanyanya tanpa basa-basi.
Nana menatapnya, matanya terlihat lelah tapi penuh kejujuran.
“Aku masih cinta sama kamu, Mas. Tapi aku nggak tahu apakah cinta aja cukup untuk melewati semua ini.”
Kalimat itu membuat hati Alfian mencelos. Ia ingin menjawab, ingin meyakinkan Nana bahwa mereka bisa melewati semua ini. Tapi ia juga tahu, hubungan mereka tidak lagi sama seperti dulu.
Mereka berbicara selama hampir dua jam, membahas semua perasaan mereka, harapan, dan ketakutan masing-masing. Nana mengakui bahwa jarak dan kesibukan telah membuatnya merasa terasing, sementara Alfian mengungkapkan bagaimana cemburu dan rasa diabaikan telah melukai kepercayaannya.
Di akhir percakapan, Alfian menggenggam tangan Nana.
“Aku cinta kamu, Na. Tapi kalau hubungan ini hanya akan membuat kita saling menyakiti, mungkin kita harus mempertimbangkan pilihan yang lebih baik.”
Nana terdiam, air mata mulai mengalir di pipinya.
“Aku nggak mau kehilangan kamu, Mas. Tapi aku juga nggak mau terus merasa seperti ini.”
Mereka memutuskan untuk memberi waktu pada diri masing-masing, tanpa ada tekanan untuk membuat keputusan besar saat itu juga. Namun, mereka tahu, keputusan itu pada akhirnya tidak bisa dihindari.
Setelah pertemuan itu, Alfian kembali ke Indonesia dengan perasaan campur aduk. Nana, di sisi lain, mencoba fokus pada pekerjaannya sambil merenungkan apa yang sebenarnya ia inginkan. Hubungan mereka memasuki fase yang paling rapuh—dimana keputusan terakhir akan menentukan apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan, atau apakah ini adalah akhir dari perjalanan mereka bersama.
Setelah pertemuan terakhir itu, Daniel mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Selama ini, ia hanya berusaha menjadi teman baik bagi Nana, memberikan dukungan tanpa harapan lebih. Namun, semakin banyak waktu yang mereka habiskan bersama, semakin jelas baginya bahwa ia menyimpan rasa lebih dari sekadar teman.
Satu sore, saat Nana terlihat sedang termenung di ruang istirahat, Daniel mendekatinya dengan secangkir kopi.
“Na, kamu masih mikirin dia, ya?” tanyanya lembut.
Nana tersenyum tipis.
“Iya, El. Aku bingung harus gimana. Rasanya seperti… aku nggak tahu apakah hubungan ini masih bisa dipertahankan.”
Daniel mengangguk pelan, mencoba memahami. Namun di dalam hatinya, ada dorongan untuk mengatakan perasaannya. Namun, ia menahannya.
“Kalau kamu merasa dia masih penting, mungkin kamu harus coba berbicara lagi dengannya. Jangan biarkan semuanya berakhir hanya karena keraguan.”
Kata-kata itu terdengar tulus, tapi di dalam hati Daniel merasa perih. Ia ingin menyemangati Nana, tapi ia juga tahu, jika hubungan Nana dan Alfian kembali membaik, ia akan kehilangan kesempatan untuk mendekatinya.
Seiring waktu, Nana mulai memperhatikan sikap Daniel yang berbeda. Ia menjadi lebih perhatian dari biasanya, bahkan kadang memberikan dukungan yang terasa lebih dari sekadar rekan kerja. Suatu hari, saat mereka bekerja lembur, Daniel tiba-tiba berbicara dengan nada serius.
“Nana, aku tahu ini mungkin bukan saat yang tepat, tapi aku nggak bisa terus memendam ini. Aku… aku suka sama kamu.”
Nana tertegun, tidak tahu harus berkata apa.
“El… aku nggak tahu harus jawab apa. Kamu tahu aku masih punya hubungan dengan Alfian.”
Daniel menghela napas, tapi tatapannya tetap penuh ketulusan.
“Aku tahu. Aku nggak berniat merusak hubungan kalian. Aku cuma ingin kamu tahu apa yang aku rasakan. Kalau kamu memang masih ingin mempertahankan hubungan itu, aku akan tetap ada di sini sebagai teman.”
Nana merasa terjebak. Di satu sisi, ia menghargai Daniel sebagai rekan yang selalu mendukungnya. Tapi di sisi lain, pernyataan itu membuat pikirannya semakin kacau. Apakah ia terlalu bergantung pada Daniel karena jarak dengan Alfian? Ataukah ada bagian kecil dari dirinya yang merasa nyaman dengan perhatian Daniel?
Sementara itu, di Indonesia, Alfian merasakan perubahan yang tidak bisa ia jelaskan. Komunikasi dengan Nana semakin jarang, dan setiap kali mereka berbicara, rasanya ada jarak yang tidak bisa dijembatani.
Suatu malam, Alfian akhirnya bertanya langsung.
“Na, aku cuma mau tahu. Apa kamu masih ingin hubungan ini berjalan?”
Nana terdiam lama sebelum menjawab.
“Mas, aku nggak tahu. Aku merasa semuanya semakin sulit, dan aku nggak mau terus-terusan menyakiti kita berdua.”
Jawaban itu menghancurkan hati Alfian. Ia tahu, cinta mereka belum benar-benar hilang, tapi ia juga tidak bisa memaksa Nana untuk bertahan jika hatinya sudah berubah.
Dengan hubungan yang semakin renggang, Nana tanpa sadar mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Daniel. Meski ia berusaha menjaga batas, perhatian Daniel membuatnya merasa dihargai di tengah kekacauan emosional yang ia alami.
Namun, di dalam hatinya, Nana tahu bahwa ia harus membuat keputusan besar. Ia tidak bisa terus menggantungkan Alfian dan Daniel dalam ketidakpastian.
Pada suatu malam, Nana akhirnya memutuskan untuk berbicara jujur dengan Alfian. Ia meneleponnya dan mengungkapkan semua perasaannya.
“Mas, aku nggak tahu apakah aku masih bisa menjalani hubungan ini. Aku merasa ada orang lain yang memberiku perhatian lebih, dan itu membuatku bingung.”
Alfian terdiam di seberang telepon, suaranya terdengar tenang namun penuh luka.
“Jadi, kamu udah jatuh hati sama dia?”
Nana tidak bisa langsung menjawab.
“Aku nggak tahu. Tapi aku merasa hubunganku denganmu sudah tidak seperti dulu lagi.”
Setelah percakapan itu, Alfian memutuskan untuk melepaskan Nana, meski hatinya hancur. Ia tahu, cinta tidak bisa dipaksakan, dan mungkin ini adalah saatnya mereka berjalan di jalan yang berbeda.
Namun, di sisi lain, Nana juga merasa kehilangan. Meski ia berusaha mendekatkan diri dengan Daniel, rasa bersalah dan keraguan terus menghantuinya. Apakah ia benar-benar memilih apa yang terbaik? Atau apakah ia hanya mencari pelarian dari rasa sakit yang ia ciptakan sendiri?
Keputusan yang diambil Alfian, meski terasa sangat berat, akhirnya memberi Nana ruang untuk berpikir lebih jernih. Namun, setelah percakapan itu, hati Nana justru semakin terbelah. Ia merasa telah kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya, dan meskipun ia mencoba mencari kenyamanan di dekat Daniel, rasa bersalah itu tidak bisa begitu saja hilang.
…
Seiring berjalannya waktu, perhatian Daniel semakin intens. Ia terus berusaha menunjukkan bahwa ia ada untuk Nana, mendengarkan keluh kesahnya, dan memberinya dukungan tanpa syarat. Namun, setiap kali Nana merasa terhibur oleh Daniel, bayangan Alfian selalu muncul di pikirannya. Nana tahu, meskipun ia merasa nyaman dengan Daniel, itu bukanlah jalan keluar dari masalahnya.
Satu malam, setelah berjam-jam bekerja lembur bersama Daniel, mereka duduk bersama di ruang makan kantor yang sepi. Daniel menatapnya dengan penuh perhatian, namun kali ini ada sedikit ketegangan di udara.
“Na, aku tahu ini mungkin belum saat yang tepat, tapi aku nggak bisa terus diam,” ujar Daniel, suaranya bergetar.
“Aku nggak hanya ingin menjadi teman. Aku ingin lebih dari itu. Aku tahu kamu sedang bingung, dan aku nggak ingin menjadi pelarianmu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku bisa jadi orang yang kamu percayai, bukan hanya sebagai teman.”
Nana terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa tersentuh oleh perasaan Daniel, namun hatinya masih tertinggal di masa lalu, dengan kenangan tentang Alfian yang sulit untuk dilupakan. Ia menggeleng pelan, berusaha menenangkan diri.
“El… aku nggak tahu apakah aku siap untuk itu. Aku masih merasa ada bagian dari diriku yang terikat pada Alfian. Aku nggak ingin mengecewakanmu.”
Daniel mengangguk dengan penuh pengertian, meski matanya memancarkan kekecewaan.
“Aku paham, Na. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku di sini, jika kamu memerlukan aku. Tidak peduli apapun keputusanmu.”
Setelah percakapan itu, Nana merasa semakin bingung. Ia memutuskan untuk mengambil waktu sendiri, pergi ke tempat yang tenang untuk merenung. Suatu sore, ia duduk di sebuah taman, mencoba mencari jawaban atas keraguan yang terus menghantuinya.
Di sana, angin sepoi-sepoi berhembus, dan suara burung yang berkicau membawa ketenangan sementara. Namun, di dalam hatinya, ada kegelisahan yang terus menggema. Apakah ia benar-benar ingin kembali bersama Alfian? Apakah perasaannya terhadap Daniel lebih dari sekadar rasa terima kasih dan ketergantungan emosional?
Nana mengingat kembali setiap kenangan indah yang ia lalui bersama Alfian—canda tawa mereka, momen-momen manis yang terasa begitu berarti. Tetapi, ia juga tak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa hubungan mereka semakin jauh, seolah-olah jarak bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Mungkin itu adalah tanda bahwa cinta mereka sudah tidak lagi seperti dulu.
Namun, di sisi lain, Daniel selalu ada untuknya. Ia memberikan kenyamanan yang mungkin belum pernah ia rasakan sebelumnya, tetapi Nana sadar, ia tidak ingin membuat keputusan terburu-buru hanya karena rasa kesepian atau rasa terima kasih.
Akhirnya, setelah berhari-hari merenung, Nana tahu apa yang harus ia lakukan. Ia memutuskan untuk berbicara dengan Daniel dan memberi jawaban yang jujur tentang perasaannya. Suatu sore, saat mereka berdua duduk di sebuah kafe setelah bekerja, Nana mengangkat kepala dan menatap mata Daniel dengan serius.
“El, aku harus jujur sama kamu. Aku menghargai semua yang kamu lakukan untukku, dan aku tahu kamu orang yang baik. Tapi aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku belum siap untuk menerima perasaanmu, dan aku nggak ingin menyakitimu lebih lanjut.”
Daniel terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Aku mengerti, Na. Aku nggak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kamu bahagia, apapun itu.”
Nana merasa sedikit lega setelah mengungkapkan perasaannya, meskipun hati Daniel pasti terasa terluka. Ia tahu, meskipun ia tidak bisa memberikan jawaban yang diinginkan Daniel, langkah ini adalah bagian dari proses penyembuhan dan pemahaman dirinya.
Setelah percakapan itu, Nana kembali merasa sedikit lebih ringan. Ia menyadari bahwa perjalanan emosionalnya belum selesai, dan masih ada banyak hal yang perlu ia pertimbangkan tentang dirinya sendiri. Di sisi lain, meski hubungan dengan Daniel tidak berjalan seperti yang diinginkan, Nana tetap merasa bersyukur atas dukungan yang telah diberikan Daniel selama ini.
Dengan hati yang sedikit lebih damai, Nana memutuskan untuk memberi waktu bagi dirinya sendiri. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, apakah ia akan kembali dengan Alfian atau mencari jalan hidup yang berbeda, tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Nana merasa siap untuk melangkah maju—tanpa beban masa lalu yang terlalu membebani.
Meskipun keputusan untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri terasa sulit, Nana mulai menyadari bahwa waktu untuk menyembuhkan luka adalah hal yang paling penting. Ia memutuskan untuk mengambil cuti sejenak dari rutinitas kerja dan menjalani kehidupan yang lebih sederhana, tanpa terlalu banyak tekanan dari hubungan masa lalu ataupun perasaan terhadap Daniel. Terkadang, ruang dan waktu adalah obat yang terbaik untuk mengatasi kebingungannya.
Selama beberapa minggu berikutnya, Nana mulai menemukan kedamaian dalam kesendirian. Ia memutuskan untuk lebih fokus pada dirinya sendiri—berkegiatan yang ia sukai, berkeliling ke tempat-tempat yang membuatnya merasa hidup kembali, dan belajar untuk merasakan kebahagiaan tanpa bergantung pada orang lain. Dalam perjalanan ini, ia mulai menulis jurnal tentang perasaan dan impiannya, mencoba memahami apa yang benar-benar ia inginkan dari hidupnya.
Namun, bayangan Alfian dan Daniel masih sering muncul, meskipun dengan intensitas yang berbeda. Setiap kali ia mengingat kenangan indah bersama Alfian, ada rasa penyesalan yang datang, seakan-akan ada yang belum selesai antara mereka. Tetapi, ia juga tahu bahwa kembali ke masa lalu tidak akan menyelesaikan apapun—ia perlu melangkah maju, meski langkah itu terasa berat.
…
Suatu hari, saat Nana sedang menikmati waktu senggangnya di sebuah kafe, seseorang yang tidak ia harapkan muncul—Alfian. Mereka saling memandang sejenak sebelum Alfian dengan hati-hati mendekat dan duduk di meja yang sama.
“Nana, aku… aku nggak bisa begitu saja melupakan apa yang kita punya,” kata Alfian dengan suara yang lebih lembut daripada yang biasa Nana dengar.
“Aku tahu kita sudah saling melukai, tapi aku nggak bisa hidup tanpa mencoba memperbaiki ini. Aku tahu, mungkin terlambat, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku masih peduli.”
Nana menatapnya, perasaan campur aduk muncul begitu saja. Melihat Alfian kembali membuatnya merasa seolah-olah waktu kembali berputar ke masa lalu, ke saat-saat indah mereka berdua. Namun, ada juga rasa takut bahwa jika ia kembali, ia hanya akan terluka lagi.
“Mas, aku nggak tahu,” ujar Nana perlahan, matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku ingin bisa kembali seperti dulu, tapi aku takut. Takut kalau kita hanya mengulang kesalahan yang sama.”
Alfian menatapnya dengan penuh harap, seolah ia tahu bahwa inilah saat terakhir untuk memperbaiki segala sesuatunya.
“Aku siap kalau itu yang kamu butuhkan. Aku nggak ingin memaksamu, tapi aku ingin kita coba lagi. Ini bukan tentang memaksakan, ini tentang memberi kesempatan kedua.”
Nana terdiam, terhimpit antara perasaan lama dan kebebasan yang ia rasakan belakangan ini. Di satu sisi, ia merindukan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh seseorang yang benar-benar mengenalnya, seperti Alfian. Namun, di sisi lain, ia juga takut akan kekecewaan yang lebih besar, terutama setelah apa yang telah terjadi antara mereka.
“Nana, aku tahu ini bukan keputusan yang mudah,” lanjut Alfian.
“Tapi aku yakin, jika kita berdua benar-benar ingin, kita bisa membangun kembali kepercayaan dan cinta itu.”
Nana menarik napas dalam-dalam, mencoba mencerna kata-kata Alfian. Ia tahu, meski hatinya ragu, ada sesuatu dalam dirinya yang merindukan kehadiran Alfian, sesuatu yang tidak bisa ia temukan di tempat lain. Namun, ia juga menyadari bahwa keputusannya kali ini harus didasarkan pada apa yang benar-benar ia inginkan, bukan karena tekanan atau rasa bersalah.
Beberapa detik terasa seperti jam saat Nana memutuskan untuk menjawab,
“Mas, aku butuh waktu. Aku nggak bisa memutuskan sekarang. Aku masih perlu menemukan jawabannya dalam diriku sendiri.”
Alfian mengangguk, wajahnya sedikit tertekan, tapi ia menghargai keputusan Nana.
“Aku akan menunggu, Nana. Aku tahu ini bukan hal yang mudah untukmu, tapi aku percaya kita bisa melewati ini bersama.”
Setelah pertemuan itu, Nana merasa sedikit lebih jelas mengenai apa yang harus dilakukan. Ia menyadari bahwa ia harus memberi waktu lebih banyak untuk dirinya sendiri. Keputusan untuk bersama Alfian atau tidak, atau apakah ia siap untuk menjalin hubungan baru dengan seseorang seperti Daniel, bukanlah keputusan yang bisa dibuat dengan terburu-buru.
Ia kembali fokus pada perjalanan pribadinya—terus mencari jawaban atas apa yang sebenarnya ia inginkan. Selama proses ini, Nana juga mulai menyadari betapa pentingnya mencintai diri sendiri terlebih dahulu, sebelum ia bisa memberikan cintanya kepada orang lain.
Daniel tetap ada di sekitarnya, memberikan dukungan dengan cara yang lebih sabar. Meskipun hati Daniel tetap berharap, ia tidak pernah memaksakan diri. Nana merasa beruntung memiliki teman sepertinya, seseorang yang tidak hanya hadir ketika dibutuhkan, tetapi juga memahami bahwa perjalanan setiap orang berbeda-beda.
Saat waktunya tiba, Nana tahu bahwa ia akan siap untuk membuat keputusan besar—entah untuk kembali dengan Alfian, membuka hati untuk Daniel, atau mungkin memilih untuk melangkah sendiri. Tetapi satu hal yang pasti: ia akan melangkah dengan lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih memahami diri sendiri.
Beberapa bulan berlalu, dan waktu yang diberikan Nana untuk dirinya sendiri akhirnya mulai membawa perubahan yang nyata. Ia merasa lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih memahami perasaan serta kebutuhan dirinya. Setiap langkah yang ia ambil, meskipun kadang penuh keraguan, memberikan pelajaran berharga tentang apa yang ia inginkan dari hidup ini, dan apa yang ia butuhkan dari hubungan dengan orang lain.
Nana merasa bahwa ia telah tiba di persimpangan besar dalam hidupnya. Ia harus memilih jalan yang akan membawanya ke masa depan yang lebih baik, meskipun langkah itu penuh ketidakpastian. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa siap—siap untuk menghadapi kenyataan, siap untuk melangkah ke arah yang lebih jelas.
Pada suatu sore yang cerah, setelah berhari-hari berfokus pada dirinya, Nana bertemu dengan Daniel di sebuah taman yang mereka sering kunjungi bersama. Meskipun hubungan mereka sudah tidak berjalan seperti yang diharapkan, mereka tetap menjaga komunikasi dengan baik. Daniel selalu ada, dan Nana tahu bahwa ia adalah sosok yang tulus, meskipun ada rasa takut dalam hatinya bahwa ia mungkin tidak bisa memberikan apa yang Daniel harapkan.
“El, aku sudah memikirkan banyak hal,” ujar Nana, membuka percakapan setelah beberapa saat diam.
“Aku tahu, kamu selalu ada untukku, dan aku sangat berterima kasih untuk itu. Tapi aku merasa aku belum bisa memberikan apa yang kamu butuhkan. Aku masih banyak belajar tentang diriku sendiri.”
Daniel menatapnya dengan penuh pengertian. Meskipun hatinya terluka, ia tahu bahwa Nana sedang berjuang dengan dirinya sendiri, dan ia tidak bisa memaksakan perasaan kepada seseorang yang belum siap.
“Aku paham, Na,” jawab Daniel lembut.
“Aku cuma ingin kamu bahagia, apapun itu. Kalau itu berarti aku harus mundur, aku akan lakukan itu. Aku hanya berharap kita tetap bisa menjadi teman.”
Nana merasa seberat batu yang mengganjal di dadanya terangkat. Keputusan Daniel untuk tetap ada sebagai teman adalah sesuatu yang sangat berarti, meskipun hati mereka tidak sepenuhnya berada di tempat yang sama. Ia tahu, persahabatan mereka mungkin tidak akan pernah sama lagi, tetapi setidaknya mereka bisa memberi ruang bagi satu sama lain untuk berkembang.
Waktu terus berlalu, dan meskipun Nana sudah berusaha keras untuk fokus pada dirinya sendiri, bayangan Alfian selalu ada di sana, seperti angin yang datang dan pergi, namun tak pernah benar-benar hilang. Keinginan untuk tahu apakah mereka bisa memperbaiki hubungan mereka semakin kuat. Meskipun ragu dan takut, Nana merasa bahwa ia sudah tidak bisa lagi menghindar dari perasaan ini.
Pada suatu sore, setelah beberapa minggu menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri, Nana merasa cukup siap untuk kembali berbicara dengan Alfian. Ia tahu ini bukanlah keputusan yang mudah, dan ia harus benar-benar jujur pada dirinya sendiri tentang apa yang ia inginkan. Ia memutuskan untuk menghubungi Alfian, dan mengajak bertemu di tempat yang sama dengan pertemuan mereka sebelumnya—kafe yang penuh kenangan.
Saat Alfian tiba, mereka saling berpandangan, dan ada sedikit kecanggungan di antara mereka. Tapi kali ini, Nana merasa lebih tenang, tidak seperti sebelumnya yang dipenuhi rasa cemas dan keraguan.
“Mas,” ujar Nana dengan suara lebih mantap,
“Aku sudah memberi waktu untuk berpikir. Aku sadar, bahwa aku belum benar-benar bisa melupakan kita. Ada bagian dalam diriku yang masih ingin mencoba lagi, walaupun aku tahu itu akan sulit.”
Alfian mengangguk, ekspresinya penuh harap namun penuh pengertian.
“Aku juga merasa hal yang sama, Na. Aku tahu kita punya banyak luka, dan mungkin akan ada banyak hal yang harus diperbaiki, tapi aku siap untuk melangkah bersama kamu lagi. Aku ingin membuktikan bahwa kita bisa memperbaiki semuanya.”
Nana menarik napas dalam-dalam, memikirkan setiap kata yang keluar dari mulut Alfian. Ia tahu bahwa kembali bersama Alfian akan membawa tantangan, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang merasa bahwa ini adalah jalan yang benar. Mereka memiliki sejarah, dan meskipun itu penuh dengan luka, mereka juga memiliki banyak kenangan indah yang tak bisa diabaikan begitu saja.
“Tapi,” lanjut Nana.
“Aku perlu kita melangkah dengan hati yang lebih terbuka. Kita harus saling memperbaiki, bukan hanya kembali ke masa lalu. Kita harus lebih kuat dalam menghadapi masalah, dan belajar dari kesalahan.”
Alfian mengangguk, matanya penuh keyakinan.
“Aku setuju, Na. Aku tak ingin kita hanya mengulang kesalahan yang sama. Aku ingin kita membangun kembali kepercayaan itu, dengan lebih dewasa dan lebih bijaksana.”
Ada sesuatu yang terasa berbeda kali ini. Ada kedamaian dalam keputusan ini, meskipun ada juga rasa takut akan kegagalan. Nana tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, dan tidak ada jaminan bahwa mereka akan berhasil. Namun, ia merasa bahwa memberi kesempatan pada diri mereka berdua adalah langkah yang tepat.
Mereka berbicara lebih lama, saling mengungkapkan perasaan dan kekhawatiran mereka, dan akhirnya mereka sepakat untuk mencoba lagi—dengan hati yang lebih terbuka dan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Hari-hari berikutnya, meskipun ada ketegangan dan tantangan, Nana dan Alfian berusaha untuk membangun kembali hubungan mereka dengan cara yang lebih sehat. Mereka berbicara lebih sering, terbuka tentang apa yang mereka rasakan, dan berusaha saling memahami. Ada banyak perubahan yang harus dilakukan, terutama dalam cara mereka berkomunikasi dan menyelesaikan masalah.
Namun, mereka juga belajar untuk menikmati kebersamaan mereka kembali. Mereka menghabiskan waktu bersama, berkeliling kota, mencoba hal-hal baru, dan menikmati momen-momen kecil yang dulu sering terlewatkan. Meskipun perjalanan mereka masih panjang, Nana merasa bahwa mereka kini lebih kuat dalam menghadapi setiap rintangan yang ada.
Pada suatu sore, setelah beberapa bulan mereka mencoba bersama lagi, Nana duduk di tepi pantai memandangi Alfian yang sedang menikmati suara ombak. Ia merasa lebih tenang, lebih yakin dengan keputusan yang telah ia buat. Mereka mungkin belum sepenuhnya menyelesaikan semua masalah mereka, tetapi Nana tahu bahwa mereka telah membuat kemajuan yang nyata.
Alfian menatapnya dan tersenyum.
“Kamu merasa lebih baik sekarang?” tanyanya dengan lembut.
Nana tersenyum, merasakan kehangatan di hatinya.
“Aku merasa lebih baik, lebih kuat. Dan aku tahu, kita masih punya banyak hal yang harus kita hadapi, tapi kita bisa melakukannya bersama.”
Dengan senyuman itu, Nana merasa bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru—bukan hanya untuk mereka berdua, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, tetapi ia siap menghadapinya, dengan hati yang lebih matang dan penuh pengertian.
Kembali bersama Alfian bukan berarti semuanya akan kembali sempurna. Tapi Nana menyadari bahwa cinta bukanlah tentang mencari kesempurnaan, melainkan tentang kesiapan untuk menghadapi segala rintangan bersama. Dengan perjalanan panjang yang telah mereka jalani, Nana merasa lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.
Ia tahu, meskipun ada banyak hal yang harus diperbaiki, mereka memiliki kesempatan untuk tumbuh bersama, lebih kuat dan lebih dewasa. Dan yang terpenting, Nana tahu bahwa ia sekarang memiliki kendali atas hidupnya—ia bisa memilih untuk melangkah maju, baik bersama Alfian atau dengan cara lain. Tapi kali ini, ia melangkah dengan penuh keyakinan.
Dengan hati yang lebih damai, Nana merasa siap untuk menjalani hidup dengan lebih sadar, lebih berani, dan lebih siap untuk mencintai—baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Seiring berjalannya waktu, Nana dan Alfian mulai menemukan irama baru dalam hubungan mereka. Mereka tidak lagi terburu-buru untuk menyelesaikan segala masalah atau untuk mengembalikan segala sesuatu ke keadaan seperti semula. Kali ini, mereka lebih berhati-hati dan berfokus pada proses. Setiap langkah mereka terasa lebih sadar dan penuh pertimbangan.
Mereka mulai lebih sering berbicara tentang apa yang mereka inginkan, bukan hanya tentang masa lalu yang penuh luka, tetapi juga tentang masa depan yang penuh harapan. Alfian tidak lagi hanya melihat Nana sebagai seseorang yang harus ia perbaiki, tapi sebagai seseorang yang berdiri di sampingnya sebagai partner. Nana pun merasa lebih dihargai, lebih dipahami. Ia bisa merasakan perubahan dalam cara Alfian mendengarkan dan mendukungnya, tidak hanya secara fisik, tapi juga emosional.
Mereka berdua masih belajar untuk saling memberikan ruang. Setiap hari, mereka berusaha untuk lebih terbuka satu sama lain, walau terkadang kebiasaan lama muncul—ketegangan, komunikasi yang terputus, dan perasaan yang terkubur. Namun, kali ini mereka lebih sabar. Mereka tidak lagi berusaha untuk menang atau benar dalam setiap perdebatan, tetapi berusaha memahami sudut pandang satu sama lain. Setiap kali ada kesalahpahaman, mereka berdua berusaha menyelesaikannya dengan lebih dewasa, tidak menghindar dari konflik, melainkan menghadapi masalah bersama.
Suatu malam, saat mereka duduk bersama di rumah setelah makan malam, Alfian berbicara tentang rencananya di masa depan.
“Na, aku ingin kita mulai membicarakan hal-hal lebih besar. Tentang tempat kita di dunia ini. Aku tahu kita pernah membuat kesalahan, tapi aku ingin tahu apakah kamu juga berpikir tentang masa depan kita bersama?”
Nana menatap Alfian dengan penuh perhatian. Meskipun ia merasa tidak ada yang pasti dalam hidup ini, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa yakin dengan langkah ini.
“Aku sudah banyak berpikir tentang itu. Tentang kita, tentang diriku sendiri. Aku merasa, meskipun kita punya banyak tantangan, kita masih bisa membangun masa depan bersama, asal kita berusaha dan belajar dari semua hal yang sudah terjadi.”
Alfian tersenyum lega, memegang tangan Nana dengan lembut.
“Aku tidak berharap semuanya sempurna, Na. Aku hanya ingin kita bisa berkembang bersama, menjadi lebih baik—untuk diri kita sendiri, dan untuk hubungan kita.”
Nana merasa hatinya semakin tenang, seakan ada kedamaian yang lebih dalam setelah pernyataan Alfian itu.
“Aku juga ingin itu, Mas. Aku tahu, perjalanan kita mungkin tidak akan selalu mudah, tapi aku siap untuk melangkah bersama kamu.”
Dengan perjalanan mereka yang semakin stabil, Nana merasa bahwa ia tidak hanya tumbuh bersama Alfian, tetapi juga tumbuh sebagai individu. Ia kembali menemukan semangat hidup yang dulu sempat hilang—semangat yang membuatnya merasa utuh, meski tanpa bergantung pada orang lain. Ia kembali mengejar impian-impian yang sempat terabaikan, mengambil kelas fotografi yang selalu ia impikan, dan merencanakan perjalanan ke tempat-tempat baru yang ingin ia kunjungi.
Namun, meskipun semuanya terasa lebih baik, Nana tidak pernah melupakan pelajaran besar yang ia dapatkan dari perjalanan ini—bahwa mencintai diri sendiri adalah hal yang paling penting. Dalam hubungan dengan Alfian, ia belajar untuk lebih memahami batas-batasnya, untuk tidak melupakan kebutuhannya sendiri demi orang lain. Ia tahu bahwa untuk mencintai Alfian dengan sepenuh hati, ia harus terlebih dahulu mencintai dirinya sendiri.
Sementara itu, Alfian juga menunjukkan perubahan besar dalam dirinya. Ia semakin peduli pada perasaan Nana, tidak hanya sebagai pasangan, tetapi juga sebagai teman hidup. Ia memberikan ruang yang lebih besar untuk Nana menjadi dirinya sendiri, tanpa rasa cemas atau ketakutan akan kehilangan. Alfian semakin belajar untuk menghargai perbedaan mereka dan bekerja bersama dalam menyelesaikan masalah, bukannya berusaha mengubah Nana sesuai dengan keinginannya.
Beberapa tahun setelah mereka memulai kembali hubungan mereka, Nana dan Alfian telah membangun sesuatu yang lebih kuat dan lebih sehat. Mereka tahu bahwa setiap hubungan memiliki pasang surut, tetapi mereka sudah belajar untuk menjalani hari-hari dengan lebih sabar dan lebih dewasa. Mereka berbicara tentang impian mereka bersama, tentang kemungkinan untuk membangun keluarga suatu hari nanti, namun tanpa terburu-buru. Mereka berdua merasa bahwa apa yang paling penting adalah perjalanan itu sendiri—proses menjadi lebih baik bersama, tanpa tekanan waktu.
Suatu hari, saat berjalan di taman yang penuh dengan bunga yang bermekaran, Alfian memegang tangan Nana dan berkata dengan senyum yang tulus,
“Aku rasa kita sudah menjalani perjalanan panjang, Na. Dan aku yakin, meskipun kita masih harus melalui banyak hal, aku ingin selalu ada di sampingmu.”
Nana menatapnya dengan penuh cinta.
“Aku merasa sama, Mas. Aku ingin kita terus berjalan bersama, tak peduli apa yang akan datang. Kita punya banyak impian, dan aku ingin kita mengejarnya bersama.”
Dengan langkah yang mantap, mereka melanjutkan perjalanan mereka—bukan hanya sebagai pasangan, tetapi sebagai dua individu yang saling mendukung untuk menjadi lebih baik. Nana tahu bahwa meskipun dunia bisa saja berubah, perjalanan ini adalah pilihan mereka berdua—untuk tumbuh bersama, untuk mencintai satu sama lain, dan yang paling penting, untuk tetap mencintai diri sendiri dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Waktu terus berjalan, dan meskipun perjalanan mereka bersama semakin stabil, Nana dan Alfian tahu bahwa tantangan baru selalu datang. Kehidupan tidak pernah berhenti memberi ujian, baik untuk individu maupun hubungan mereka. Namun, kali ini mereka merasa lebih siap, lebih kuat, dan lebih bijaksana dalam menghadapinya.
Pada suatu malam yang indah, setelah makan malam bersama keluarga mereka, Alfian membawa Nana ke taman tempat mereka pertama kali berbicara tentang masa depan mereka. Di bawah cahaya rembulan, Alfian berlutut di depan Nana dengan senyum tulus di wajahnya.
“Nana, kita sudah melalui banyak hal bersama. Aku tahu perjalanan kita belum selesai, tapi aku ingin bertanya sesuatu yang sangat penting. Apakah kamu mau melanjutkan perjalanan hidup ini bersamaku? Will you marry me?”
Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Nana, sementara hatinya penuh dengan rasa haru.
“Aku mau, Mas. Aku ingin terus berjalan bersamamu, menghadapi setiap tantangan dan merayakan setiap kebahagiaan bersama.”
Mereka berpelukan, merasakan kehangatan dalam pelukan itu, tahu bahwa perjalanan mereka telah membawa mereka ke titik ini—di mana mereka siap untuk memulai babak baru dalam hidup mereka.
Dengan komitmen yang semakin kuat, Nana dan Alfian melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tahu bahwa hidup akan selalu penuh dengan perubahan, namun yang terpenting adalah mereka bisa menghadapinya bersama. Mereka memiliki cinta yang lebih kuat, saling mendukung untuk tumbuh, dan selalu siap untuk saling belajar.
Dan, bagi Nana, perjalanan ini bukan hanya tentang membangun masa depan bersama Alfian, tetapi juga tentang perjalanan dirinya sendiri. Ia kini tahu bahwa mencintai seseorang bukan berarti kehilangan diri sendiri, tetapi tentang tumbuh bersama—sebagai individu dan pasangan.
Ketika mereka berjalan bersama menuju masa depan, Nana merasa bahwa kehidupan ini adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan kemungkinan. Dengan cinta, kepercayaan, dan pemahaman yang semakin dalam, Nana dan Alfian tahu bahwa apapun yang datang ke depan, mereka siap untuk menghadapinya—bersama.
Kreator : Ni’matun Azza
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Cinta di Setiap Masa (bagian 16-19)
Sorry, comment are closed for this post.