Tahapan pemilu Tahun 2024, masyarakat sudah mulai antusias membicarakan jagoannya masing-masing. Sistem demokrasi melalui metode pemilihan langsung yang dianut oleh Indonesia membuka peluang setiap warga negara untuk turut aktif menjadi peserta pemilu, sejak pertama kalinya pemilihan langsung digunakan pada Tahun 1999. Pemilu disatu sisi menjadikan meningkatnya kesejahteraan dan partisipasi masyarakat, baik sebagai calon legislatif, calon kepala daerah, ataupun sebagai penyelenggara.
Pemilu serentak pada Tanggal 14 Februari 2024 akan memilih anggota DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota se-Indonesia periode 2024-2029. Pemilihan Umum Legilatif tersebut juga dilakukan bersamaan dengan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah, meskipun masih menjadi kontroversi namun nampaknya hal tersebut tetap akan berjalan.
Pemilihan langsung bukan tidak memiliki kekurangan dalam kehidupan sosial masyarakat, saya memperhatikan ditataran bawah gesekan rentan terjadi karena perbedaan pilihan politik. Sebagai sistem warisan barat banyak ketidakcocokan dengan budaya masyarakat Indonesia dan adat ketimuran. Setidaknya ada beberapa kelemahan metode pemilihan langsung yang saya amati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rentan konflik
Pemilihan langsung yang digunakan negara kita saat ini membuat perselisihan antar pendukung calon sering terjadi. Dalam setiap tingkatan pemilihan dari tingkat presiden hingga level kepala desa. Masyarakat kita belum terbiasa dengan perbedaan pendapat, selesainya masa pemilihan tidak serta merta membuat pertikaian usai, bahkan cara-cara anarkis sering ditempuh agar kehendaknya dapat tercapai.
Biaya mahal
Kita semua tahu untuk menyelenggarakan pemilihan yang bersifat langsung seperti sekarang ini dibutuhkan biaya penyelenggaraan yang tidak sedikit. Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh calon sebagai modal kampanye maupun akomodasi, hal inilah yang secara tidak langsung memicu terjadinya korupsi. Kontestan pemilu akan berusaha menyiapkan modal untuk keperluan tim suksesnya, uang tidak hanya berasal dari kantong pribadinya tapi juga dari pihak yang ingin “membantu”, dikemudian hari hal iniakan menimbulkan utang budi yang akan mengganggu dalam proses pengambilan kebijakan.
Calon terpilih didasarkan kepada selera pasar
Demokrasi melalui pemilihan langsung membuat celon yang terpilih bukan yang terbaik melainkan yang paling disukai, maka media masa menjadi pilar penting dalam pelaksanaan pemilihan langsung. Media dijadikan alat framing menjelang pemilu. Tidak heran kita jumpai menjelang pemilu banyak berita berisi tentang tokoh yang keluar masuk gorong-gorong, mendadak berhijab, mengunjungi pondok pesantren, keluar masuk pasar untuk menarik simpati pemilih, dan lain sebagainya. Seyogyanya pilihan didasarkan kepada kapasitas, kualitas dan rekam jejak bukan hanya sekedar penampilan atupun simpati semata.
Politik uang
Pemilihan langsung seperti sekarang membuat pihak yang terlibat didalamnya menjadi lebih banyak, hal itu juga yang membuat biaya membengkak. Ditengah kondisi masyarakat yang masih kekurangan dan cenderung berpikir pragmatis maka “serangan fajar” masih tetap akan menjadi budaya. Masyarakat cenderung berpikir untuk kepentingan sesaat, bukan jangka panjang, tidak melihat gagasan apa yang dibawa calon ataupun partai politik bersangkutan. Menurut saya pemilihan model keterwakilan oleh DPRD seperti dulu masih lebih tepat digunakan di Indonesia. Jika dihadapkan pada dua pilihan sulit tentu kita akan memilih yang “mudharatnya” lebih sedikit. Bukan tidak ada politik uang sama sekali tapi karena lingkupnya lebih kecil tentu lebih mudah untuk melakukan pengawasan.
Tidak semua hal yang berasal dari luar baik dan cocok diterapkan di negara kita, bangsa Indonesia memiliki ciri khas dan kepribadiannya sendiri. Bersikap pertengahan terhadap budaya asing menjadi pilihan tepat, ambil yang sekiranya mampu membuat negara menjadi lebih baik. Kepentingan bangsa harus selalu lebih dikedepankan daripada kepentingan pribadi atau golongan, orang yang diberikan amanah jabatan di negara ini wajib memiliki integritas dan independensi dalam pengambilan keputusan yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, bukan pesanan kelompok tertentu.
Ditengah banyaknya ujian yang dihadapi bangsa, wacana untuk mengembalikan sistem pemilihan dengan sistem keterwakilan menarik untuk dikaji. Kita semua tentu tidak ingin menghabiskan energi untuk pemilihan umum saja. Utang negara semakin bertambah, sengketa pilkada berlarut-larut, tokoh politik cenderung lebih mengutamakan ego kelompoknya dibanding kepentingan negara. Kita tidak ingin hal semacam itu terus terjadi, biarkan masyarakat tetap dengan “kesibukan” utamanya, tidak perlu memusingkan diri dengan urusan politik yang sebenarnya bukan kapasitasnya.
Comment Closed: Dampak Buruk Pemilihan Langsung
Sorry, comment are closed for this post.