KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 2)

    Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 2)

    BY 25 Jun 2024 Dilihat: 65 kali
    Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 2)_alineaku

    12 tahun lalu…

    “Haifa,” suara serak laki-laki berumur 40-an tahun yang duduk di hadapanku seolah menyenggol jiwaku keluar dari tubuh ini.

    “Iya, pak?” jawabku pelan-pelan sambil mengalihkan pandanganku dari tumpukan kertas yang sedang berada di genggamannya ke wajahnya. Pandangan mata laki-laki itu masih menancap kokoh ke deretan huruf di hamparan kertas putih, seperti pasukan semut yang sedang berpesta di hamparan kemilau putihnya gula pasir. Kertas putih yang digenggamnya adalah skripsiku.

    Laki-laki yang duduk di hadapanku tak lain dan tak bukan adalah dosen pembimbing skripsiku. Para mahasiswa biasa memanggil beliau Pak Niko. Pak Niko memiliki perawakan tinggi dan gagah, berkulit coklat yang indah, khas Nusa Tenggara Timur, setauku beliau berasal dari satu wilayah yang bernama Kabupaten Sikka di Pulau Flores, untuk lebih tepatnya aku tidak tahu karena selama mengikuti mata kuliah beliau, aku tidak pernah berani bertanya selain substansi materi kuliah. Pak Niko dikenal oleh banyak mahasiswa sebagai dosen yang sangat perfectionist dan killer. Oke, perpaduan yang sangat luar biasa.

    “Pak, memang judul skripsi saya cocok dengan Pak Niko?” tanyaku kepada Sekretaris Jurusan di kampus, mengingat bagaimana Pak Niko memberikan nilai pada mahasiswanya dengan sangat detail. Bisa-bisa skripsiku jalan di tempat saking paniknya setiap akan melakukan bimbingan dengan beliau.

    “Masalahnya di sini adalah nilai IPK kamu yang tinggi, dan tipe-tipe mahasiswa seperti kamu ini memang saya masukkan ke daftar mahasiswa bimbingan Pak Niko”, jawab Sekretaris Jurusanku sambil melihat layar komputer di hadapannya.

    “Tapi kan tema skripsi saya…”

    “Cina. Iya, tapi tidak bisa ke Pak Akbar, beliau masih punya banyak tanggungan mahasiswa bimbingan, bahkan banyak seniormu yang dibimbing Pak Kiki saja belum lulus juga,” Sekretaris Jurusan tetap tidak mengalihkan pandangannya dari layar komputer.

    Aku terdiam mencoba untuk tenang walaupun pikiranku entah kemana dibawa oleh jiwaku. Seolah kakiku tidak menapak di lantai ruangan Sekretaris Jurusan. Saking sepinya, suara desing pelan CPU komputer dan AC terdengar jelas. Aku menunduk menekuri kayu meja di hadapanku yang sedikit berlubang. Harapan untuk menjadi mahasiswa bimbingan Pak Akbar sirna sudah.

    Kenapa aku ingin dibimbing oleh Pak Akbar? Pertama, karena topik skripsiku memang tentang Politik Cina, di mana itu adalah bidang ilmu Pak Akbar. Kedua, karena aku menjadi asisten penelitian Pak Akbar, sehingga aku pikir akan lebih efektif dan efisien jika aku bisa mengerjakan skripsiku sekaligus penelitian Pak Akbar. Tapi manusia hanya bisa berencana, karena Tuhan yang memberikan takdir.

    “Ada lagi yang kamu butuhkan? Jika tidak, mohon keluar karena pekerjaanku masih banyak, atau kamu mau membantu?” kini Sekretaris Jurusan menatapku.

    Aku mengerjapkan mata. Sulit untukku langsung menjawab karena dari bibir, mulut, hingga pita suaraku tiba-tiba kering. Aku berdehem sekali, “Tidak pak.”

    “Oke,” jawab Sekretaris Jurusan yang kini sudah meniti layar komputer kembali.

    “Terima kasih, pak.” aku berdiri dari kursiku, membuatnya berdecit karena bergeser, dan aku menuju ke pintu ruangan, membukanya, lalu keluar secara perlahan. Tanpa kata, hanya helaan napas panjang, seolah aku lupa bernafas selama di dalam ruangan Sekretaris Jurusan. Aku masih mengingat kejadian itu dengan jelas, karena aku merasa aku sangat tidak berdaya.

    “Bagian kerangka pemikiran ini,” suara serak Pak Niko memecah lamunanku. Pak Niko terdiam, mengetuk-ngetukan pena emas kesayangannya ke kertas yang kini beliau taruh di atas meja. Tangan kirinya menyangga kepala, seolah sedang berpikir untuk memberikan sebuah keputusan berat.

    Aku sudah menyiapkan buku catatan dan pena untuk mencatat setiap kata yang diucapkan oleh Pak Niko ketika aku menjumpainya untuk melakukan bimbingan skripsi. Aku mengernyitkan dahi, membayangkan apa yang akan dikatakan oleh pak Niko padaku. Aduh, kerangka pemikiran sialan.

    “Entah kenapa, saya rasa ada benang yang hilang jika membaca kerangka pemikiran mu ini dengan asumsi dasar,” kata Pak Niko sambil melingkari kertas dengan pena emasnya yang anggun memantulkan cahaya lampu ruang kerjanya.

    “Di sebelah mana ya, pak?” tanyaku pelan-pelan sambil meratapi kertas yang harus dicetak ulang karena terkena goresan pena emas.

    “Itulah yang perlu kamu cari Haifa. Ini skripsi kamu, kan?” Pak Niko kini menatapku sambil menaikkan kedua alis hitam tebal beliau. Jantungku terasa terjun ke lambung yang membuatku merasa mual.

    “I… iya, pak. Nanti saya coba riset ulang,” kataku sambil nyengir.

    Riset ulang? Sudah berapa kali aku meriset kerangka pemikiran ini? Dua? Tiga? Sepertinya ini sudah kelima kalinya. Aku memejamkan mata. Apakah ini artinya skripsiku tidak punya kerangka pemikiran yang bisa menjawab topik yang aku tulis? Tidak mungkin jika apa yang terjadi di kehidupan nyata tidak ada teorinya. Yaa Rabb, bantu aku. Aku bisa pingsan kalau jalan di tempat seperti ini terus. Bab I yang tidak ada habisnya untuk direvisi, hingga aku hafal semua kata yang aku ketik di dalamnya.

    “Coba kamu cari teori tentang kebijakan publik, banyak bukunya, bisa dengan teori desentralisasi. Coba cari itu dulu,” suara Pak Niko membuyarkan pikiranku.

    Hah? Pak Niko memberikan kata kunci untuk petunjuk? Apakah ini nyata. 

    “Baik, pak!” Aku cepat-cepat menuliskannya di buku catatanku. DESENTRALISASI.

    Pak Niko kembali menekuri lembaran-lembaran kertasku, membaca cepat. Aku menunggu dengan siaga, penaku siap menggores buku catatan kembali. Suara desingan AC menjadi melodi yang bersatu dengan degup jantungku. Aku mencoba mengambil napas panjang, sedikit menahannya, untuk menurunkan intensitas detakan jantungku. Kini telapak tanganku dingin. Kenapa aku tegang sekali? Bukankah seharusnya aku sudah terbiasa dengan Pak Niko? Aku sudah mengikuti kelasnya sejak semester 3. Dengan nekat aku mengambil mata kuliah Pak Niko, Ekonomi Politik Internasional yang seharusnya untuk mahasiswa semester 5, tapi aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan karena aku masih punya sisa SKS di semester 3 saat itu.

    “Yang lain bisa menyusul, karena kalau kamu mendapatkan landasan teori yang tepat, maka kamu bisa melanjutkan menulis bahkan tanpa bantuanku,” Pak Niko menata kembali kertas ketikanku, menyerahkannya padaku, dan beliau melepas kacamata bacanya.

    Pak Niko sebenarnya adalah dosen yang baik, ketika saat mengajar di kelas, beliau memberikan materi secara menyenangkan karena kami lebih banyak dihadapkan pada diskusi langsung dari kasus di lapangan. Hanya saja memang beliau ini memiliki standar tinggi dalam memberikan penilaian untuk setiap mahasiswa. Beliau selalu menegaskan untuk boleh bebas berpendapat tapi gunakan teori yang tepat, karena kita hidup di negara yang menjunjung hak bebas berpendapat hingga lupa pada teori yang menjadi kerangka dalam berpikir agar pendapat kita bisa dibedakan dengan obrolan biasa. Dan justru itu yang kadang membuat rumit di setiap kelas beliau. Tapi entah kenapa, aku merasa tertantang, hingga aku selalu mengambil kelas beliau di setiap semester. Bahkan Tuhan menakdirkan aku tetap bersama Pak Niko di tugas akhirku, yaitu skripsi.

    Setelah sepatah dua patah kalimat, aku mengucapkan terima kasih, dan berpamitan kepada Pak Niko. Baru aku membuka pintu ruangan Pak Niko dan melangkahkan kakiku, sudah berdiri di hadapanku sosok yang tidak asing bagiku. Tersenyum lebar sambil melambaikan tangan padaku tanpa mempedulikan betapa kusutnya wajahku akibat redusi ketegangan berhadapan dengan Pak Niko.

    “Revisi lagi?” ucap sosok di depanku, tangannya masih terangkat sampai bahu, tersenyum tanpa dosa. Aku langsung mendengus padanya dan pergi meninggalkannya.

    “Baguslah,” katanya sambil menyeimbangi langkahku.

    Koridor ruang dosen ini sepi karena kami berada di gedung yang berbeda, Pak Niko adalah salah satu dekan di kampusku, sehingga ruangannya berbeda dengan dosen yang lain. Di gedung ini hanya ada dekan, wakil dekan, kepala jurusan, wakil kepala jurusan saja yang berada di lantai 4, lantai 3 adalah auditorium, lantai 2 ada kelas yang berderet, lantai 1 adalah lobi, perpustakaan, ruang staf kampus, dan sisanya deretan kelas seperti di lantai 2. Jangan berharap ada lift, kami naik tangga. Mungkin inilah alasan kenapa kami sehat. Alhamdulillah.

    “Hei, kita bisa lebih lama untuk bersama-sama, Fa. Kita bisa wisuda bersama,” kami sudah menuruni tangga.

    “Aku tidak mau menunggu kamu untuk satu semester lagi, Ki,” kataku pada sosok yang berjalan bersamaku. Dia adalah Kiki, teman dekatku di kampus. Sepertinya hanya dia yang bisa tahan bersamaku, karena selama ini aku tidak punya teman. Dan entah kenapa Kiki selalu menempel padaku. Dia pernah berkata padaku bahwa pertemanan kami seperti hidung dan upilnya, aku hidung, dia upil, karena sekalipun berkali-kali aku menyuruhnya pergi, Kiki selalu kembali dengan senyum tanpa dosanya, seperti upil. Oleh karenanya aku berani mengatakan dia teman dekatku, sedekat hidung dan upil.

    “Aku tahu, aku tahu, karena kamu harus segera kerja untuk keluargamu, kan?” kata Kiki sambil memasukkan beberapa helai rambut yang keluar dari hijabnya, “Jadi kita mau ke mana?” tanya Kiki tepat ketika kami tiba di lobi yang terletak di lantai 1. 

    Aku berbelok ke arah kanan.

    “Sudah kuduga,” kata Kiki sambil menjentikan jari hingga mengeluarkan suara nyaring, “Perpustakaan.”

    Aku tersenyum melihat tingkah polahnya. Kiki sudah aku anggap seperti adikku sendiri, padahal kami berada di angkatan yang sama di kampus, hanya saja usiaku lebih tua setahun dibandingkan dengan Kiki. Aku mengenal dekat dia karena sejak semester 3, banyak kelas yang kami selalu sama. Bahkan saat magang pun aku bersamanya. Kalau versiku, kami saling kenal sejak semester 3, lain cerita versi Kiki yang katanya sudah mengenalku sejak ospek.

    “Fa, kamu dulu pas ospek pingsan itu beneran atau pura-pura sih biar bisa digendong Mas Adit?” tanyanya tiba-tiba saat kami makan di kantin. Kejadian ini saat semester 4 kami menunggu jadwal kelas selanjutnya, dan Kiki sudah merengek kelaparan. Kiki memesan nasi goreng telur dan es teh, sedangkan aku seperti biasa memakan bekal yang aku bawa dari rumah. Kiki tidak pernah berkomentar apapun tentang aku yang selalu membawa bekal makanan selain, “Wah, enaknya, minta dong,” dan biasanya dia langsung menyomot apapun lauk yang ada di kotak makanku. Mulai dari kejadian itu, aku selalu membawa lauk ekstra untuk Kiki.

    “Hush! Tolong perhatikan volume suaramu, Ki. Kecuali kamu ingin semua orang bergosip tentangku,” kataku sambil mendesis dan melotot. Tapi Kiki tidak peduli, dia tetap melanjutkan mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya.

    “Justru untuk menghindari gosip tanpa dasar itulah aku bertanya langsung padamu, Fa. Jadi kamu naksir Mas Adit?” masih dengan makan tanpa berdosa kata-kata itu berselancar keluar mulut Kiki.

    “Mulutmu memang perlu disumpal, ya?” kataku sambil memicingkan mata padanya.

    “Coba lihat, mulutku sekarang sudah disumpal dengan makanan juga aku masih bisa mencari fakta,” kata Kiki sambil tertawa. Dan aku ikut tertawa bersamanya. Benar juga.

    Bau buku baru dan buku lama menguar ketika aku membuka pintu perpustakaan. Hawa dingin AC menyergapku seolah sedang menyapa hangat dan mempersilahkan aku masuk untuk berpetualang di hutan kata.

    “Ah, bau favorit kita,” celetuk Kiki, menghirup banyak-banyak udara di ruang perpustakaan.

    “Benar, bau favorit kita, bau buku,” kataku. Kami berdua berjalan menuju rak penyimpanan, memilih nomor yang masih kosong. Aku nomor 24 dan Kiki nomor 12. Kami berdua membuka kuncinya dan memasukkan tas kami ke dalamnya. Aku menyisakan handphone, buku catatan, dan pena di genggaman tanganku. Kiki hanya membawa handphone-nya. Kami menutup kembali rak buku dan menguncinya.

    “Ki, titip kunciku, kau tahu kan aku pelupa?” kataku pada Kiki sambil menyerahkan kunci dan masuk lebih dalam ke ruangan yang dipenuhi dengan deretan rak buku. Kiki tidak menjawab, hanya menerima kunciku lalu mengikutiku.

    “Hutan kata,” aku bergumam, “Hutan ilmu”.

    Aku berjalan ke sudut bagian yang biasa aku datangi. Perpustakaan ini memang perpustakaan fakultas sehingga terbagi menjadi 3, yaitu bagian Jurusan Ilmu Komunikasi yang berada di sebelah paling timur, bagian Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis yang berada di tengah, dan bagian jurusanku, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Jadi di kampusku tidak di setiap fakultas memiliki perpustakaannya masing-masing. Sebenarnya ada juga perpustakaan universitas tapi isinya kurang detail, masih umum. Aku pernah kesana sebelum mulai menulis proposal skripsi, untuk pertama dan terakhir kalinya, karena aku tidak mendapatkan apapun selain lelah, lapar, dan haus. Makanya aku lebih betah di perpustakaan fakultas, karena bukunya sudah disesuaikan dengan jurusan kami masing-masing.

    Aku langsung menuju ke komputer yang menyimpan database buku yang ada di pojok utara perpustakaan dekat dengan frontdesk tempat kami meminjam atau mengembalikan buku. Kiki sudah mengambil tempat duduk dan membuka buku yang entah kapan dia ambil. Aku duduk di kursi yang disediakan untuk para pencari buku yang memang satu set dengan komputer dan mejanya. Aku meletakkan handphone dan buku catatan di sebelah kanan keyboard komputer. Sedangkan jari tangan kananku memilin pena yang sudah siap untuk mencatat apapun temuan di komputer ini. Aku coba mengetik kata kunci yang aku terima dari Pak Niko, “desentralisasi”, pada kolom pencarian. Komputer berkedip sekali dan layar berubah. Tanganku yang bersiap menulis di buku catatan seketika berhenti. Pencarian tidak ditemukan. Apa? Kenapa bisa? Aku mengingat kembali apa saja yang dikatakan oleh Pak Niko. mencoba lagi dengan mengetik kata kunci lain pada kolom pencarian, “Kebijakan Publik”. Komputer kembali berkedip sekali dan layarnya memunculkan tulisan, Pencarian tidak ditemukan. Aku mencoba kata kunci apapun yang terlintas di pikiranku saat itu, tapi hasilnya tetap sama. Aku menatap layar komputer di hadapanku dan mencoba berpikir lagi. Tapi pikiranku kosong, entah karena efek terkejut atau lapar.

    “Kau menemukannya?” Kiki sudah berdiri di sampingku yang bahkan aku tidak menyadari kapan dia mendekatiku.

    “Ternyata tidak hanya laki-laki tampan yang tidak bisa kita temukan di perpustakaan ini, tapi buku-buku yang aku cari pun tidak ada,” jawabku sambil mendongak pada Kiki yang tengah memasang ekspresi yang sangat aku kenali. Dia menatapku sambil mengangkat kedua alisnya dan menarik senyum panjang tanpa memperlihatkan giginya, seolah menertawaiku tanpa suara.

     

    Kreator : Shifa

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 2)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021