KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 3)

    Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 3)

    BY 25 Jun 2024 Dilihat: 55 kali
    Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 3)_alineaku

    “Makan dulu, Fa. Atau bekalmu aku makan saja?” kata-kata Kiki memecah lamunanku. Aku sudah membuka kotak makanku, dan ternyata Kiki sudah mengunyah salah satu sosis goreng yang aku bawa. Perutku menggeliat memberikan rasa perih sebagai alarm pengingat aku untuk makan.

    “Kau benar, tidak ada logika tanpa logistik,” kataku sambil menusuk salah satu sosis goreng di kotak makanku dengan garpu yang sedari tadi aku genggam, lalu memasukkannya ke mulutku, mengunyah secara perlahan.

    “Tapi aku rasa,” Kiki menyeletuk sambil minum es teh yang gelasnya sudah mulai basah karena suhu es di dalamnya bertarung dengan suhu panas matahari. Kami duduk di taman kantin, karena udaranya lebih terbuka, daripada duduk di ruang kantin yang penuh sesak hingga empat kipas angin seolah tidak memiliki tenaga untuk mengusir pengap panas di ruangan itu.

    Aku memperhatikan Kiki sambil terus mengunyah makananku, sepertinya dia mendapatkan ide

    yang aku harap bisa membantuku mencari buku untuk skripsiku. “Lanjutkan,” kataku, menusuk satu sosis lagi dan memakannya.

    “Sepertinya alasan Mas Adit belum lulus karena nungguin kamu, Fa,” lanjut Kiki. 

    Seketika aku berhenti mengunyah, menatap tajam wajah Kiki yang terlihat serius, tanpa ada kebohongan. Lalu aku mendengus, “Lalu itu salahku?”

    “Bukankah Mas Adit itu dosen pembimbing skripsinya adalah Pak Akbar?” tanya Kiki, sekarang dia mendekatkan wajahnya padaku.

    “Iya, lalu?” kataku masih tidak peduli.

    “Oh, jadi kamu selalu bertemu dengan dia tanpa ada yang diceritakan padaku?” Kiki membalas dengan mendengus dan memicingkan matanya.

    “Ki, berapa kali aku bilang padamu, bahwa aku tidak memiliki waktu untuk hal-hal seperti itu,” kataku padanya.

    “Iya, benar. Aku juga paham. Aku hanya mencari masalah saja,” kata Kiki sambil nyengir.

    “Lalu kenapa kamu selalu membahas Mas Adit? Kamu suka dia?” tanyaku pada Kiki.

    “Tidak sih, hanya saja sejak kamu pingsan waktu ospek itu, aku jadi suka mencurigaimu ada sesuatu dengannya. Karena saat itu Mas Adit terlihat perhatian sekali padamu,”

    “Dia mungkin perhatian pada banyak orang, Ki. Kamu saja yang melihatnya dengan perspektif yang berbeda,”

    “Oke,” Kiki cemberut.

    “Demi Allah, wallahi, aku nggak pernah ada love-line apapun dengan laki-laki manapun, Ki,” kataku sambil tertawa.

    “Kenapa kita selalu sama?” Kiki ikut tertawa.

    “Jadi ada tiga alasan bagiku,” kataku memasang ekspresi serius.

    “Katakan,” balas Kiki mengimbangi ekspresi seriusku.

    “Pertama, semua laki-laki yang aku suka, mereka tidak menyukaiku,”

    “Kedua?” sambung Kiki

    “Laki-laki yang menyukaiku, aku tidak menyukainya,” kataku.

    “Ah, selalu seperti itu,” celetuk Kiki menyetujui.

    “Masih ada lagi, Ki,” kataku sambil meringis.

    “Apa?” tanya Kiki.

    “Aku tidak suka jika laki-laki yang aku sukai juga menyukaiku,” kataku sambil tertawa.

    “Kamu memang ahli mencari penyakit, ya?” kata Kiki lalu dia bangkit dari tempat duduknya menuju kantin di dalam. Sepertinya dia mau memesan sesuatu.

    Sebenarnya aku tidak mengetahui apapun tentang perasaan mencintai seseorang. Apakah perasaan itu sama dengan yang selalu dideskripsikan di dalam cerita yang tertulis di buku-buku bacaanku. Perasaan yang membuat hati berdebar, merasa melayang, seolah hari-hari selalu indah hingga menorehkan senyuman di wajah. Entahlah. 

    Setiap candaan Kiki tentang Mas Adit pun terasa hambar bagiku, karena memang tidak pernah ada yang spesial di antara Mas Adit dan aku. Memang beberapa kali kami bertemu saat aku membahas penelitianku dengan Pak Akbar di ruangan dosen. Terkadang Pak Akbar juga memintaku untuk memberikan bimbingan skripsi kepada beberapa mahasiswa bimbingan beliau, termasuk Mas Adit. Tapi memang tidak pernah ada yang spesial dari itu semua.

    Tak lama kemudian, Kiki kembali sambil membawa sepiring gorengan, ada mendoan, bakwan, dan tahu isi. Kiki meletakkannya di meja dan duduk kembali. Tanpa ragu menusuk satu tahu isi dengan garpu dan memasukkannya ke mulut.

    “Hah, hah, hahas,” katanya membuka mulutnya seperti ikan mencari oksigen karena tidak berada di air. Kiki meraih gelas es teh, lalu meminumnya seolah sedang memadamkan TKP kebakaran yang ada di dalam mulutnya.

    “Ada ide kemana aku mencari buku untuk mendukung data skripsiku, Ki?” tanyaku sambil bersandar ke tempat duduk. Angin sepoi-sepoi membelai wajahku secara halus.

    “Pinjam saja ke Pak Niko,” jawabnya sambil menggigit cabai rawit.

    “Pintar,” kataku sambil melotot padanya.

    Satu jam kemudian aku sudah berada di toko buku diskon yang ada di kota tempat tinggalku. Toko buku ini lumayan jauh dari kampusku, tapi tidak terlalu jauh dari rumah. Di seberang jalan toko buku ini berdiri perpustakaan kota, tapi sekalipun aku belum pernah mengunjunginya. Sebenarnya kawasan yang aku datangi ini termasuk salah satu kawasan yang aku sukai di kota tempat tinggalku. Kawasan ini rindang karena banyak pohon. Jalanannya dibagi menjadi dua arah, dengan pembatas taman yang dibangun secara estetik dilengkapi dengan bangku taman, bahkan ada tugu ASEAN mini di ujungnya. Trotoar jalannya juga lebar sehingga akan nyaman untuk para pejalan kaki, dan tetap ada bangku taman di setiap 15 meter. Ada satu SMA favorit dan satu SMP favorit di kawasan ini yang berisi murid-murid dengan nilai tinggi. Aku tidak termasuk murid yang bersekolah di dua sekolah tersebut. Tapi aku sering datang ke kawasan ini karena ada toko buku yang selalu memberikan diskonan. Di samping toko buku itu juga terdapat kafe.

    “Kayaknya seru ya kalau punya toko buku sendiri, dan ada cafenya. Jadi sambil nongkrong, orang juga beli buku,” kataku. Kiki masih menemaniku, karena ya… memang dia mau ke mana lagi?

    “Bikin, yuk!” celetuk Kiki.

    Yalla! Insya Allah! Kamu mau berinvestasi padaku untuk mewujudkan itu?” kataku.

    “Kita lihat nanti, insya Allah,” jawab Kiki dan dia masuk ke toko buku mendahuluiku.

    “Bismillah,” gumamku sambil tersenyum. Salah satu mimpiku memang dari dulu ingin memiliki toko buku yang ada cafenya. Aku terinspirasi dari cerita di buku karya Dee yang berjudul Supernova: Petir, di mana Elektra punya warnet yang ada cafenya, bahkan Elektra membuka praktek pengobatan alternatif di sana. Aku selalu tersenyum ketika mengingat cerita ini.

    Memasuki toko buku, biasanya aku akan langsung ke bagian novel yang berada di pojok sebelah barat, tapi kini aku harus sedikit lebih memasuki toko buku ini, berjalan lurus hingga menemukan tumpukan buku dengan tanda petunjuk “Sosial-Politik”. Aku sangat jarang membeli buku untuk kuliahku di toko buku, karena memang materi yang diberikan biasanya lebih banyak dari buku berbahasa Inggris. Jika memang ada yang berbahasa Indonesia Pun juga sangat jarang untuk aku beli karena biasanya berisi ilmu-ilmu pengantar di mana bukunya tersedia di perpustakaan. Lebih sering aku, juga mahasiswa lain, akan langsung mencatat materi yang disampaikan oleh dosen kami di kelas, dan juga memfotocopy bab-bab yang diberikan. Katakanlah dari enam semester yang penuh dengan materi, buku yang aku beli untuk mendukung pembelajaran di kelas hanya ada lima saja, selebihnya dari fotocopy dan catatan.

    Aku sudah tidak merasakan kehadiran Kiki di dekatku. Sepertinya dia sudah tenggelam terlebih dulu di tumpukan buku novel, membaca buku yang memang dibuka segelnya oleh pihak toko, dan membacanya di pojokan. Hal ini selalu disebut olehnya sebagai studi perbandingan buku, baca dulu kalau memang menarik maka nanti akan dibeli olehnya. Itulah kenapa kami sangat sering datang ke toko buku. Tapi biasanya dia akan selalu kembali ke toko buku untuk membaca isi buku hingga tamat. Kalau memang dibeli pun itu akan bertengger lama di rak buku kami.

    Aku dan Kiki sama-sama menyukai buku, dan ini menjadi salah satu alasan kami menjadi dekat seperti hidung dan upil. Awalnya Kiki melihat aku memposting buku bacaan di media sosialku. Lalu dia mengirim pesan dan kami mengobrol banyak di pesan tersebut hingga akhirnya berlanjut di dunia nyata. Kiki kerap menyapaku yang selalu berjalan sendirian. Dan kini kami berdua tidak hanya membahas tentang buku, tapi segala macam topik yang bahkan aku sendiri terkejut karenanya.

    Tapi walaupun aku dan Kiki memiliki kesamaan tentang menyukai buku, kami memiliki beberapa genre buku yang berbeda. Kiki lebih banyak membaca buku-buku untuk self-improvement dan sejenisnya. Kiki memang menyukai fiksi sama sepertiku bahkan isi rak buku kami hampir mirip, yang membedakan hanya bagian self-improvement di rak bukunya, dan genre horror-thriller di rak bukuku.

    Satu jam kemudian, aku dan Kiki sudah duduk bersila, bersandar pada tembok, beralaskan karpet masjid. Kami baru saja selesai shalat Ashar di musala yang disediakan oleh toko buku. Musala di sini nyaman, bersih, dan dingin. Aku meraih tasku, mengambil empat buku yang aku beli tadi. Mendengus. Menertawai diriku sendiri. Kiki melihatku dan ikut tertawa.

    “Sampai kapan aku seperti ini, Ki?” tanyaku sambil terus menatap empat buku yang berjajar di hadapanku.

    “Sampai nanti, sampai mati,” jawabnya dengan sedikit memberikan nada.

    I’m broke, but I’m rich for books,” gumamku.

    “Iya, tapi buku yang kamu beli bukan buku yang dicari,” celetuk Kiki.

    Aku menatap empat buku di hadapanku lagi, buku novel, bukan buku untuk skripsiku. Aku mendengus kembali.

    “Tapi aku bisa stress kalau tidak bisa beli novel,” kataku sambil nyengir.

    “Aku paham perasaanmu, karena kita sama,” jawab Kiki, dan kami berdua tertawa.

    “Mungkin aku bisa istirahat sebentar sambil mencari inspirasi apa yang perlu aku tulis di skripsiku,” kataku.

    “Boleh saja, bukankah sebenarnya skripsimu sudah hampir selesai?” tanya Kiki.

    “Secara kasar, memang hampir selesai, Ki. Bisa dikatakan prosesnya sudah 80 persen,” jawabku.

    “Lalu masalahnya apa hingga kamu masih bertahan di Bab I?” Kiki mengambil salah satu buku di hadapanku, melihat-lihat sampulnya, dan membuka. Kiki sepertinya sudah mulai membaca isinya.

    “Masalahnya adalah aku sudah punya soal dan jawabannya, tapi aku belum menemukan rumusnya,” kataku sambil menghela nafas panjang.

    “Sebentar, jadi maksudnya adalah kamu sudah mengetahui bahwa satu ditambah satu adalah dua tapi tidak mengetahui cara menghitungnya?” Kiki mengernyitkan dahi, entah karena kalimatku atau kalimat yang dia baca dari bukuku.

    “Iya,” jawabku singkat.

    “Oke, aku tidak bisa membantu kalau itu,” jawab Kiki sambil memperbaiki posisi duduknya, sepertinya dia semakin tenggelam dalam kisah yang tertulis di buku karya Dee, Supernova: Partikel, yang baru saja diterbitkan.

    Aku juga memperbaiki posisi dudukku, bersandar dengan nyaman di tembok mushola yang dingin. Hari ini terasa singkat bagiku karena pikiranku terpaku pada skripsi. Aku mencari handphone di dalam tasku. Aku buka layarnya, masuk ke aplikasi Google, mencoba mencari website perpustakaan, bahkan aku mencoba masuk ke website perpustakaan kota yang sebenarnya berada di seberang jalan, tapi aku tidak menemukan buku yang sepertinya bisa membantu dalam penulisan skripsiku.

    Aku masih terus mencoba berbagai kata kunci untuk menemukan buku yang sekiranya bisa aku tulis di skripsiku. Bahkan aku mencoba masuk ke website perpustakaan dari beberapa universitas di kotaku ini. Walaupun aku tahu bahwa ada lima universitas besar lainnya di kotaku selain universitasku.

    Beberapa saat berlalu, tiga perpustakaan universitas sudah aku jelajahi. Memang ada buku yang aku cari, tapi jaraknya sangat jauh dan jumlah buku yang aku butuhkan tidak banyak. Aku tidak memilih ketiganya karena aku mengingat efisiensi waktu. Masih ada dua, aku berharap setidaknya ada satu diantaranya yang bisa menjadi alternatifku. Aku buka satu website perpustakaan universitas, kumasukan semua kata kunci yang ada, bahkan aku membaca pratinjaunya dari semua buku yang direkomendasikan dari kata kunci itu. Aku menghela napas. Aku pejamkan mata. Aku melirik ke arah Kiki yang sekarang sudah dalam posisi berbaring sambil mengernyitkan mata, masih lanjut membaca bukuku.

    Aku kembali mencatat judul-judul buku yang aku temukan di website perpustakaan keempat di buku catatanku, seperti yang aku lakukan di tiga perpustakaan sebelumnya. Hal ini biasa aku lakukan, supaya nanti ketika aku datang kesana, aku tidak kebingungan mencari bukunya, tinggal menyodorkan list ini ke petugas perpustakaan.

    Selesai di perpustakaan universitas keempat, aku beralih ke website perpustakaan universitas kelima. Aku sedikit terkejut dengan tampilan website universitasnya yang sebenarnya sederhana, tapi sangat memudahkan untuk mendapatkan informasi. Format websitenya benar-benar tertata rapi, bahkan banyak kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan tersebut, salah satunya studi banding dengan perpustakaan di Malaysia. Aku jadi penasaran hingga akhirnya aku semakin menjelajahi website tersebut. Terdengar suara Kiki tertawa pelan, entah apa yang dibacanya.

    Aku membaca sekilas tentang kegiatan perpustakaan ini, melihat desain perpustakaan yang sepertinya luas dan nyaman. Ah, saking terkesimanya, aku hampir lupa dengan tujuan utamaku masuk ke website perpustakaan ini. Akhirnya aku kembali ke halaman utama, mengarahkan kursorku ke kolom pencarian, dan menuliskan kata kunci. Satu detik berlalu, dan layar handphoneku berisi puluhan judul buku. Aku mengerjap. Aku mengalihkan pandangan dari layar handphone ku, melihat catatanku dari empat website perpustakaan sebelumnya.

    “Kau melihat apa?” tanya Kiki tiba-tiba, kepalanya melongok dari ujung buku untuk melihat keadaan saat ini.

    Aku menatapnya. Tersenyum, “Kita, maksudku aku… Aku menemukannya.”

    Kiki hanya membalas kata-kataku dengan ekspresi bingung. Kiki menatapku beberapa detik, dan kembali berbaring menutup wajahnya, tenggelam dalam setiap kata yang ditulis oleh Dee dalam bukunya.

     

    Kreator : Shifa

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 3)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021