KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 5)

    Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 5)

    BY 25 Jun 2024 Dilihat: 55 kali
    Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 5)_alineaku

    Setelah salat magrib di mushola kampus, aku bersiap ke Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA. Hari ini hari Jumat, dan perpustakaan itu buka sampai pukul 19.30 WIB. Aku melihat jam di handphone yang sudah menunjukkan angka 18.03 WIB. Semoga aku masih punya waktu, paling tidak aku bisa menemukan salah satu buku yang aku cari. Kiki sudah lebih dahulu pulang, dia mengatakan padaku bahwa energi sosialnya sudah terkuras habis, sehingga dia sudah meninggalkanku sendirian sejak pukul empat sore tadi. Untuk hari ini, aku telah menyelesaikan cek pada skripsiku, sambil berharap tidak ada yang terlewatkan dari pemindaian mataku.

    Karena hari ini aku tidak membawa sepeda motor, aku berjalan ke luar kampus untuk menuju ke halte bus yang ada di depan kampus. Langit petang masih menyisakan semburat jingga, sisa jejak senja memberikan salam terakhirnya pada dunia. Jalanan di depan kampus sudah mulai dipadati oleh berbagai kendaraan. Warung-warung makan sudah mulai menyalakan lampu, memulai kegiatannya untuk menjajakan makanan, mengingatkanku bahwa bekalku sudah habis aku makan tadi siang.

    “Sepertinya masih ada sisa roti yang aku beli tadi siang dan air minum di tumbler,” gumamku. Aku menghentikan langkah tepat sebelum masuk halte, membuka tasku untuk mengonfirmasi daya ingatku. Benar, masih ada sepotong roti dan air minum. Aku menghela nafas lega dan melanjutkan langkah masuk ke halte bus. Aku bertanya kepada petugas halte bus apa yang akan aku gunakan untuk ke Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA dan petugas itu memberitahukan kepadaku jalurnya. Lalu aku membayar ongkos padanya, dan duduk di kursi tunggu yang telah disediakan.

    Belum sampai aku membuka tas untuk mengambil handphone, bus sudah tiba. Petugas kondektur memberikan informasi arah mana saja yang dilewati. Aku berdiri menuju bus, karena arah yang akan aku tuju disebutkan oleh petugas kondektur.

    Angin AC menyapaku ketika aku masuk ke bus. Aku langsung mengambil tempat duduk terdekat dari pintu masuk. Kusandarkan badanku di kursi yang empuk. Lalu aku membuka tas, kali ini bukan untuk mengambil handphone, tapi aku mengambil buku Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye yang masih dalam proses aku baca. Aku memang pembaca yang memiliki proses lama, aku menikmati setiap adegan yang tertulis di buku. Walaupun alasan sebenarnya adalah karena aku juga punya kegiatan lain selain membaca. Jadi buku yang kubaca bisa selesai dalam sepekan atau sebulan, tergantung dari kegiatan atau perasaanku saat itu. Dan aku menikmatinya begitu saja.

    Lima belas menit kemudian, bus sudah berhenti di depan Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA. Aku turun dan langsung berjalan cepat memasuki perpustakaan. Aku melewati gerbang dan pagar yang memisahkan halaman perpustakaan dengan jalan raya. Banyak tanaman bunga yang tumbuh di halaman dengan lampu taman yang menyala lembut sehingga semakin mempercantik suasananya. Terdapat beberapa kanopi yang memayungi kursi dan meja di berbagai titik. Tak jauh dari sana aku melihat tempat parkir untuk kendaraan roda dua yang beratapkan tumbuhan menjalar dengan bunga-bunga yang bermekaran. Ketika memasuki lobi, aku tidak menyangka bahwa pengunjungnya lumayan banyak. Mungkin karena besok akhir pekan dan kegiatan kuliah libur, maka banyak mahasiswa yang ke perpustakaan. Tidak perlu berpikir lama, aku langsung menuju ke meja resepsionis yang berada di sebelah kanan pintu masuk yang dengan mudah aku temukan karena aku membaca papan petunjuk arah yang terpasang.

    “Ada yang bisa saya bantu, mbak?” tanya seorang petugas perempuan ramah padaku ketika aku menghampiri meja resepsionis. Kalau dilihat sekilas, sepertinya dia masih mahasiswa.

    “Maaf, untuk buku ini ada di sebelah mana, ya?” aku menyodorkan buku catatanku yang berisi daftar buku-buku yang akan aku cari.

    “Sebentar saya cek di katalog dulu,” jawabnya. Petugas perempuan ini meraih buku catatanku, lalu mengetik sesuatu di komputernya yang aku kira adalah judul buku.

    “Ini ada di lantai empat semua. Nanti bisa masuk saja lalu naik tangga, ya,” katanya beberapa saat kemudian, tangannya memberikan arahan untukku, “Tasnya nanti bisa ditaruh di loker yang tersedia di setiap lantai ya,” imbuhnya memberikan informasi, sambil menyerahkan buku catatanku.

    “Baik, mbak. Terima kasih banyak,” kataku padanya menunduk sambil tersenyum dan meraih buku catatanku kembali.

    “Sama-sama,” jawabnya membalas senyumanku.

    Aku bergegas menuju tangga yang memang sudah terlihat ketika memasuki lobi karena tangga itu berada di tengah-tengah lobi, seolah membagi perpustakaan menjadi dua sayap. Oke, lantai empat. Ternyata kampusku bukan satu-satunya kampus yang tidak memiliki fasilitas lift.

    Sesampainya di lantai empat, aku yakin sudah berada di lantai empat karena anak tangga sudah berakhir, aku berhenti sejenak untuk mengatur napas sambil melihat sekeliling.

    “Woah, bodohnya aku yang tidak bertanya bukunya ada di rak sebelah mana,” aku mendengus, menertawai diriku sendiri.

    Lantai empat ini dipenuhi oleh rak buku dari ujung utara ke ujung selatan. Jendela kaca besar menghadap barat sebagai pengganti temboknya, dengan pemandangan pepohonan rindang tapi masih bisa melihat langit, yang bisa membuat siapapun yang berada di dalamnya nyaman ketika membaca buku. 

    “Ini benar-benar hutan kata”, gumamku dalam hati. Aku berjongkok, mengumpulkan energi. Aku menghela nafas panjang.

    “Mbak, maaf bisa minggir sedikit?” seseorang membawa semacam troli yang dipenuhi buku, menegurku. Aku sedikit terkejut, lalu mendongak, dan seketika itu juga berdiri. Ternyata tanpa sadar aku menghalangi jalannya.

    “Maaf, mas,” kataku padanya sambil nyengir. Aku mengambil satu langkah mundur. untuk mempersilahkannya lewat.

    “Kalau mau baca buku, bisa di ujung sana,” dia menunjuk arah utara dengan jempol, tangannya terlipat ke bahu, “Atau bisa di ujung sana,” kali ini dia menunjuk arah selatan dengan jari telunjuknya. Sehingga posisi telapak tangannya kini seperti sedang menembakkan sesuatu.

    “Oke, terima kasih,” jawabku mencoba memasang wajah ramah.

    “Siap,” balasnya singkat sambil mendorong troli yang penuh buku.

    Sepertinya dia mahasiswa di sini juga. Apakah mahasiswa di kampus ini memang bisa bekerja di perpustakaan atau mereka tenaga sukarelawan? Ah, bukan itu yang aku cari, aku tak mau ambil pusing. Aku menuju loker penyimpanan yang mudah saja aku temukan karena berada tidak jauh dari pintu masuk. Aku mengambil loker nomor 9 karena kuncinya masih tergantung yang artinya loker itu belum ada isinya.

    Sebelum menyimpan tasku, aku mengambil tumbler terlebih dahulu dan menegak airnya. Aku memasukkan kembali tumbler ke dalam tas dan mengambil handphoneku. Buku catatan dan pena ku masih berada di genggamanku sejak dari lobi tadi. Kini tasku sudah tersimpan aman di loker. Kunci loker kumasukkan ke saku gamisku karena tidak ada Kiki yang bisa aku minta untuk menyimpannya, dan aku merasakan kunci yang beradu dengan sesuatu di sakuku. Aku meraba isi sakuku dan barulah aku teringat dengan kartu anggota perpustakaan yang diberikan oleh Kiki tadi. Hampir saja aku melupakan keberadaannya.

    Aku melihat ke segala arah, “Tidak mungkin perpustakaan sebesar ini tidak ada komputer untuk mencari buku di setiap lantainya,” dan benar saja aku menemukan satu komputer tak jauh dari loker yang berjajar. Tanpa ragu aku mendekati meja komputer itu, menarik kursinya, dan duduk. Aku mempelajari secara singkat apapun yang ada di layar komputer, lalu aku mengetik judul buku dari catatanku pada kolom pencarian.

    Layar komputer berkedip sekali, memberikan informasi tentang buku yang aku cari. Ada judul, penulis, kode buku, letak rak buku, jumlah buku yang dimiliki perpustakaan, jumlah buku yang sedang dipinjam. Informasi yang lumayan lengkap, karena aku bisa mengetahui bukunya masih tersedia di perpustakaan atau tidak. Sehingga aku tidak perlu repot mencari di raknya terlebih dahulu.

    Setelah aku mengetik semua judul buku di kolom pencarian, aku menuliskan kode buku dan letak rak bukunya. Ternyata semua buku yang aku cari terletak di rak Sosial-Politik. Tidak perlu waktu lama untuk aku mengetahui rak tersebut ada di mana, karena sudah tersedia papan penunjuk arah. Rak Sosial-Politik ada di sebelah selatan.

    Aku meraih buku catatan, pena, dan handphone ku, lalu beranjak sesuai dengan arah yang ditunjukan oleh papan penunjuk arah. Aku juga melihat ke atas karena informasi tentang rak buku dan kodenya ada di papan yang ada di atas rak buku.

    Untuk saat ini, bagiku, perpustakaan yang aku datangi kali ini adalah perpustakaan terbesar. Aku memang tidak pernah berkunjung ke perpustakaan selain perpustakaan yang ada di sekolahku atau kampusku. Karena menurutku isinya bisa jadi sama saja bukan? Seperti toko buku, di mana kita akan menemukan judul buku yang sama di toko yang berbeda. Itulah kenapa aku tidak berkunjung ke perpustakaan lain di luar teritoriku.

    “Ketemu,” kataku masih menatap papan di atas rak buku yang bertuliskan Sosial-Politik ketika aku menemukannya. Lalu aku beralih menatap barisan buku yang tertata rapi di hadapanku, seperti pasukan perang yang menanti komando dari komandannya. Aku tersenyum hangat pada mereka, memejamkan mata dan menganggukkan kepala secara takzim. Iya, aku memberikan salam perkenalan kepada buku-buku di hadapanku. Aku melihat kanan dan kiri, atas dan bawah. Rak ini sangat panjang dan tinggi bagiku, tidak ada celah kosong di setiap lapisannya.

    Aku melirik ke belakang, ternyata rak yang aku tuju berdekatan dengan meja-kursi baca yang ditata sedemikian estetiknya. Beberapa mahasiswa asyik bercengkrama, ada pula yang tenggelam dalam bukunya. Beberapa mahasiswa bahkan wajahnya berpendar karena memantulkan cahaya dari laptop di hadapannya. Ah, kehidupan mahasiswa yang akan aku rindukan nantinya ketika aku sudah lulus.

    “Fokus, fokus,” gumamku sambil mengerjap. Aku memukul lembut pipi tembamku.

    Aku mulai mencari buku-buku yang sudah aku catat di buku catatan. Sepertinya aku akan mencoba mengambil dua judul buku yang berada di dua baris teratas pada buku catatanku untuk bisa aku pinjam dan baca di rumah. Tak lama, aku sudah menemukan dua buku yang aku cari. Kedua buku itu yang tidak terlalu tebal, sehingga mudah untuk aku membawanya.

    Aku berbalik dan menuju ke kursi yang tidak jauh dari rak buku Sosial-Politik. Aku meletakkan semua barang yang ada di tanganku lalu aku menarik kursinya dan duduk dengan nyaman. Aku menghela napas panjang, menyandarkan badan pada kursi, seolah bisa membantuku menghempaskan semua lelah yang aku rasa hari ini. Handphone-ku bergetar dan muncul pemberitahuan pesan yang masuk. Aku buka handphone-ku, tersenyum ketika membuka pesan itu yang ternyata dari Kiki.

    Handphone-ku kembali bergetar, kali ini Kiki tidak hanya mengirim pesan, tapi meneleponku. Aku melihat ke sekeliling, memperkirakan apakah akan mengganggu ketika aku menjawab telepon di sini. Aku tidak melihat satu tanda larangan menelepon. Para mahasiswa juga tidak berada di jarak yang dekat dengan jangkauanku. Maka aku tekan lambang telepong berwarna hijau untuk mengangkat telepon dari Kiki.

    “Kamu di rumah?” tanya Kiki tanpa basa-basi, bahkan aku belum sempat memberikan salam.

    “Di perpustakaan,” jawabku singkat.

    “Hah? Bukannya… eh, sebentar! Bukan perpustakaan kampus kita, kan?”

    “Hmmm…”

    “Kamu di Perpustakaan Profesor Mukti Ali?”

    “Iya,”

    “Malam ini?”

    “Iya,”

    “Sekarang?”

    “Iya,”

    “Wah, luar biasa sekali semangatmu, Fa!”

    “Pujian atau ejekan?”

    “Keduanya,”

    “Sudah kuduga,”

    “Ada laki-laki tampan?”

    Aku mendengus, “Laki-laki tampan tidak ada di perpustakaan, Ki.”

    “Benar juga,”

    “Oke. Sudah, ya!” kataku sambil menutup telepon sebelum Kiki melanjutkan percakapan. Aku yakin Kiki pasti sangat kesal karena aku menutup teleponnya terlebih dulu. Aku tersenyum menahan geli karena membayangkannya.

    Aku meletakkan handphone-ku di meja, lalu aku meraih salah satu buku yang aku ambil. Aku buka dan membaca daftar isinya. Aku menuju ke bab yang sesuai dengan halaman yang ada di daftar isi. Membacanya sekilas, dan aku tersenyum lega. Aku meletakkannya dan beralih ke buku kedua yang aku pinjam. Membukanya. Membaca daftar isi. Menuju ke bab yang aku cari. Membaca sekilas. Alhamdulillah. Sepertinya aku bisa pulang bersama kedua buku ini.

    Aku meraup semua barang bawaanku dari meja dan menjaganya dalam pelukan kedua tanganku. Aku berjalan menuju ke loker penyimpanan tas. Aku melihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul 19.20 WIB, yang artinya sebentar lagi perpustakaan akan ditutup. Aku bergegas ke loker nomor 9, mengambil kuncinya dari sakuku, dan memasukkannya ke lubang kunci. Aku buka loker nomor 9 dan aku mengambil tas, untuk memasukan buku catatan, pena, dan handphone-ku. Kedua buku yang akan aku pinjam masih berada di genggaman tanganku. Setelah dirasa tidak ada yang tertinggal, aku menutup loker dan segera meninggalkan tempat itu, menuruni tangga dari lantai 4 ke lantai 1.

    Sesampainya di lantai 1 alias lobi, aku ke meja resepsionis yang terdapat papan bertuliskan “LOKET PEMINJAMAN BUKU”. Aku berjalan ke arah loket tersebut lalu masuk ke dalam barisan pendek antrian. Ada dua mahasiswa di depanku yang mengantri untuk mendaftarkan buku yang mereka pinjam. Tak lama kemudian, aku sudah berdiri di loket peminjaman buku itu. Aku menyerahkan kedua buku ke petugas laki-laki di loket itu.

    “Kartu anggotanya?” katanya padaku.

    “Oh, sebentar,” aku merogoh saku kanan gamisku dan jemariku meraih kartu berwarna hijau itu. Lalu aku menyodorkan kartu hijau itu kepada petugas laki-laki yang berada di balik loket. Kacamatanya memantulkan cahaya dari layar komputer di depannya.

    Petugas itu memindai barcode pada kartu anggota itu dan barcode di kedua buku. Selesai. Lalu petugas itu langsung menyerahkan kedua buku tersebut kepadaku beserta kartunya. Aku melihatnya sekilas, sepertinya dia mahasiswa juga.

    “Maksimal pengembalian di hari Jumat pekan depan, ya,” katanya padaku.

    “Oke, terima kasih,” kataku sambil tersenyum dan meraih kedua buku yang aku pinjam beserta kartu hijau itu.

    “Sama-sama,” jawab petugas laki-laki itu singkat.

    Aku berjalan keluar lobi perpustakaan, langit sudah sepenuhnya menghitam, taburan bintang mulai muncul seperti biji wijen yang malu-malu di atas roti. Angin malam yang dingin menerpa wajahku. Suara kendaraan yang lalu lalang di jalan raya terdengar bersahutan. Aku menghentikan langkah untuk memasukkan kedua buku yang aku pinjam beserta kartu anggota perpustakaan yang bukan milikku.

     

    Kreator : Shifa

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 5)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021