KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 6)

    Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 6)

    BY 25 Jun 2024 Dilihat: 66 kali
    Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 6)_alineaku

    “Jadi kamu akan pergi ke perpustakaan itu lagi?” tanya Kiki. Kami baru saja selesai makan siang di kantin. Aku baru bertemu dengan Kiki hari ini, sepekan setelah aku mengunjungi Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA. Hari ini adalah jadwal aku mengembalikan buku yang aku pinjam.

    “Iya,” jawabku.

    “Jadi kamu merasa cocok di sana?” tanyanya.

    “Aku belum tahu juga, tapi dari dua buku yang kupinjam kemarin, lumayan membantuku mengerjakan skripsi. Bahkan aku bisa menambahkan beberapa penjelasan di bab ketigaku. Jadi, aku akan mencoba mencari judul lain yang sekiranya akan relevan dengan skripsiku,” aku berjalan berdampingan dengan Kiki.

    “Alhamdulillah, aku ikut senang mendengarnya,” kata Kiki. Aku tersenyum mendengarnya.

    “Aku belum ke Pak Niko lagi, rasanya aku perlu waktu untuk menuntaskan tugasku terlebih dahulu, supaya nantinya aku tidak perlu berulang kali revisi,” memang kali ini termasuk jeda terlamaku selama bimbingan skripsi. Biasanya aku selalu memberikan jadwal pada diriku sendiri untuk melakukan bimbingan setiap hari Rabu, sesuai dengan jadwal bimbingan skripsi Pak Niko di yang ada di hari Selasa dan Rabu saja.

    “Apapun rencanamu, semangat!” kata Kiki, “Aku pulang duluan, Fa. Kamu hati-hati ya di jalan. Kalau ada laki-laki tampan di sana, tolong kabari aku,”

    Aku melirik Kiki, dia langsung pergi setelah menertawai ekspresiku. Aku dan Kiki memang sering bersama, tapi kami juga menghargai jalan masing-masing. Kami seperti air laut Samudera Atlantik dan Laut Mediterania yang berdampingan tapi tidak bercampur.

    “Fa, aku dulu melihat kamu sebagai perempuan yang keren sekali,” kata Kiki ketika kami magang.

    “Apakah sekarang aku tidak keren?” tanyaku.

    “Bukan begitu maksudku, jadi dulu waktu kita sering satu kelas tapi kita belum akrab, kamu selalu jalan sendirian, duduk di barisan paling depan pun sendirian, sampai waktu itu Pak Akbar mengomentari kamu dengan kalimat ‘don’t be afraid of being outnumbered, eagles fly alone, pigeons flock together’. Beuh.. itu aku langsung terpana padamu,”

    “Terus?”

    “Iya, kenapa kamu duduk di depan sendirian?”

    “Waktu di kelas?”

    “Iya,”

    “Mataku rabun,”

    What?”

    “Iya, mataku rabun jauh, makanya aku selalu ambil tempat duduk paling depan. Aku juga tidak paham kenapa kalian semua ada di belakang,”

    Kiki mendengus mendengar jawabanku, “Ternyata kamu tidak sekeren yang aku kira.”

    Aku tersenyum dengan kenangan itu. Tapi entah kenapa kenangan itu selalu menjadi penguat ketika aku harus melakukan semua sendirian. Haifa keren. Don’t be afraid of being outnumbered, eagles fly alone, pigeons flock together.

    Aku berjalan menuju tempat parkir motor. Sekilas aku melihat Kiki yang sudah mengendarai motornya keluar dari area parkir kampus. Aku menuju ke tempat di mana motorku berada. Aku mengambil kunci dari saku yang ada di sisi kanan atas, lalu memasukkannya ke lubang kunci. Aku memakai helmku dan menyalakan mesin motor. Tak lama kemudian aku sudah mengendarainya keluar kampus.

    Sepuluh menit berlalu, dan aku sudah tiba di tempat parkir Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA. Aku mengambil tempat yang tidak jauh dari pintu masuk parkir agar aku mudah mengingatnya. Setelah memarkirkan motor, aku memasukkan kunci kembali ke saku di sisi kanan tas, dan aku berjalan menuju pintu lobi perpustakaan.

    Saat berjalan, aku baru bisa menyadari betapa taman yang ada di depan Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA. ini begitu indah. Mungkin pekan lalu, aku tidak menyadarinya karena aku berjalan dengan terburu-buru dan malam telah datang. Tapi dengan pencahayaan matahari di siang hari ini membuat setiap bagian taman terlihat jelas. Aku memperlambat langkahku untuk menikmati pemandangan bunga yang berwarna-warni dengan dipayungi oleh pohon yang rindang. Aku yakin, membaca di sini pun akan sama nyamannya dengan membaca di ruang baca di dalam gedung perpustakaan. Semilir angin yang sejuk menyapaku, membuat hijabku berkibar dengan beberapa daun kering yang gugur dari pohonnya. Aku sangat menikmati suasana ini.

    Sesampainya di lobi, aku langsung naik tangga menuju lantai 4. Kali ini aku merasa lebih percaya diri karena aku sudah paham ke mana arah tujuanku. Sesampainya di lantai 4 pun aku langsung menuju loker untuk menyimpan tas. Aku hanya mengeluarkan laptop, buku catatan, pena, dan handphone. Setelah itu aku menuju rak Sosial-Politik untuk berkelana bersama para penulis yang baru aku kenal. Aku meletakkan barang-barangku tidak jauh dari rak, agar aku mudah mencari buku yang aku butuhkan.

    Hari-hari berikutnya aku sering mengunjungi Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA. Entah kenapa aku menyukai suasana di perpustakaan ini. Mungkin karena lebih luas, tidak seperti perpustakaan di kampusku yang ruangannya terbatas. Biasanya aku pulang dari Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA. sebelum adzan magrib.

    Tapi hari ini berbeda dari hari-hari sebelumnya. Aku berada di perpustakaan seharian. Mengerjakan semua skripsiku yang aku harap akan menjadi akhir dari revisi bab satu.

    “Haifa, kamu masih butuh beberapa teori lagi untuk menyatukan kerangka yang terpisah-pisah ini,” Pak Niko menorehkan lingkaran besar pada kertas skripsiku dua hari yang lalu. Hal itu membuatku panas dalam otak hingga rasanya semua pikiran dan semangatku menguap begitu saja. Sudah tiga kali ini aku kembali diminta revisi oleh Pak Niko dan hari ini adalah kelima kalinya aku mendatangi Perpustakaan Prof. H.A. Mukti Ali, MA. Aku rasa aku memang membutuhkan waktu untuk mendinginkan panasnya otakku.

    “Mbak, mbak, maaf. Kami sudah tutup,” seorang mahasiswa mendekatiku.

    Ternyata aku tertidur ketika mengerjakan skripsiku. Layar laptopku dalam kondisi sleep, ternyata dia juga tertidur. Buku-buku yang aku ambil dari rak masih terbuka di hadapanku.

    “Oh, maaf,” aku tergagap, dan langsung bangun untuk membereskan semua barang-barangku. Aku mengembalikan buku yang aku ambil dari rak terlebih dahulu, kecuali satu buku yang akan aku pinjam untuk dibaca di rumah. Lalu aku menutup laptop, meraih semua barang bawaanku dan berjalan menuju loker untuk mengambil tas. Ketika aku sudah menuruni tangga dan sampai di lobi, aku menuju ke loket pengembalian buku untuk mengembalikan buku yang dua hari lalu aku pinjam. Setelah itu aku menuju loket peminjaman buku untuk buku yang akan aku baca di rumah.

    “Hari ini hanya pinjam satu buku, mbak?” tanya petugas laki-laki di hadapanku, dia memindai barcode di buku dan kartu anggota yang bukan milikku itu.

    “Iya,” aku melihat ke arah petugas itu, kacamatanya memantulkan cahaya dari layar komputer yang membuatku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Aku pernah membaca tata tertib di perpustakaan ini bahwa maksimal buku yang bisa dipinjam untuk dibawa pulang adalah 2 buku.

    Perpustakaan sudah sepi, menyisakan para petugas yang membereskan buku atau kursi, juga petugas yang menyelesaikan administrasi. Sepertinya tersisa hanya aku sebagai pengunjung terakhir.

    “Maaf, ya saya baru turun,” kataku pada petugas laki-laki itu ketika dia menyodorkan buku dan kartu anggota kepadaku.

    “Tidak apa-apa, mbak,” jawabnya. Aku masih tidak bisa melihat wajahnya karena dia langsung berbalik menatap komputer di hadapannya.

    “Terima kasih,” kataku sambil mengambil buku dan kartu anggota itu.

    Handphone-ku berbunyi ketika aku akan keluar dari lobi. Kiki meneleponku.

    “Assalamu’alaikum..” kataku menyapa.

    “Fa, kamu di mana? Masih di perpustakaan?” Kiki menyerocos tanpa menjawab salamku.

    “Iya, ini aku baru mau pulang,”

    “Bentar aku jemput, maaf aku terlambat,”

    “Hah?”

    “Kita jadi makan malam bersama, kan?”

    “Oh, iya. Oke,” ternyata aku hampir melupakan janjiku pada Kiki untuk makan ayam geprek malam ini.

    “Kamu tunggu, ya. Sebentar lagi aku sampai,” kata Kiki dan dia langsung menutup sambungan telepon.

    Aku melihat jam di layar handphone. Jam menunjukkan pukul 19.37 WIB. Sepertinya aku memperlambat para petugas perpustakaan untuk pulang. Aku menengok ke arah lobi melihat para petugas yang sudah saling berpamitan pulang. Aku menghela napas, merasa bersalah. Aku masih berdiri di teras lobi ketika ada seseorang yang menghampiriku.

    “Kok belum pulang? Menunggu jemputan?” tanya seorang laki-laki padaku, sepertinya dia salah satu petugas di perpustakaan.

    “Iya,” aku mengangguk, mencoba menjawab dengan sopan.

    “HAIFAAA!!!!” suara Kiki sudah terdengar saat dia mengendarai motor mendekatiku. Lampu dari motor lumayan membuatku silau hingga aku perlu memayungi penglihatan mataku dengan buku yang aku genggam.

    Gila memang anak satu ini, kenapa dia meneriakkan namaku? Aku menatap Kiki yang kini berhenti di hadapanku.

    “Heh, kamu jadwal jaga?” suara Kiki terlihat sedikit kaget, tapi aku tersadar bahwa dia sedang tidak berbicara padaku, tapi berbicara pada mahasiswa laki-laki di sebelah kiriku yang tadi sempat menyapaku. Mahasiswa laki-laki itu menggunakan kacamata, mengenakan baju lengan panjang merah maroon yang digulungnya hingga siku.

    “Iya,” jawabnya kepada Kiki.

    Aku menatap mereka berdua bergantian. Suasana perpustakaan semakin terasa lengang karena semua pengunjung dan petugasnya sudah pulang. Tersisa kami bertiga yang berada di tengah teras perpustakaan. Kiki masih berada di atas motor yang kini sudah dimatikan mesinnya dan ada aku yang berdiri bersebelahan dengan laki-laki berkacamata yang disapa oleh Kiki.

    “Jadi kalian berdua sudah kenal?” jari telunjuk Kiki mengarah kepadaku dan kepada laki-laki berkacamata yang berdiri tak jauh dariku.

    Aku menggelengkan kepala. Bukankah seharusnya kalimat itu yang aku tanyakan kepada mereka berdua? Lebih tepatnya, kalimat yang seharusnya aku tanyakan kepada Kiki.

    “Belum, Ki,” jawab laki-laki berkacamata itu, “Tapi aku sudah sering melihatnya di perpustakaan ini,” laki-laki itu menoleh kepadaku, tersenyum.

    Aku membalasnya dengan menganggukkan kepala dan tersenyum. Lalu aku menoleh ke arah Kiki, bertanya tanpa suara, “Siapa?”

    “Siapa? Kartu yang kamu bawa itu punya dia, Fa!” celetuk Kiki benar-benar berterus terang.

    Seketika itu pula aku menyadari bahwa aku masih membawa buku yang aku bawa pulang dan kartu anggota perpustakaan. Aku menutup wajahku dengan keduanya.

    “Maaf, maaf. Aku tidak tahu,” kataku masih bersembunyi di balik buku. Kiki dan laki-laki berkacamata itu tertawa.

    “Jadi, kalian belum berkenalan? Oh, paling tidak kamu sudah mengetahui namanya kan, Fa?” tanya Kiki padaku.

    Aku menurunkan buku sebatas hidungku dan menggelengkan kepala dengan cepat. Aku benar-benar tidak pernah memperhatikan kartu yang sudah hampir sebulan ini aku pinjam dan aku bawa berkali-kali untuk meminjam buku. Aku semakin panik karena menjadi bahan bulanan Kiki. Kiki dan laki-laki berkacamata itu pun hanya tertawa melihatku.

    Laki-laki berkacamata itu berdehem untuk menghentikan tawanya, dia menoleh padaku, “Aku Gaza,” katanya memperkenalkan diri.

    “Aku…”

    “Haifa,” sambung Gaza menyebutkan namaku, masih dengan tersenyum. Pasti ini gara-gara Kiki meneriakkan namaku tadi.

    Aku baru akan mengulurkan tangan untuk menjabatnya sebagai tanda perkenalan, tapi tanganku terhenti ketika Kiki berkata, “Fa, dia tidak akan berjabat tangan dengan yang bukan mahramnya, lupakan itu.” 

    Seketika aku menarik tanganku kembali. Tercengang. Merasakan virus kebodohan menjalar hingga tulang sumsumku. Membuatku kehilangan kemampuan bergerak dan berpikir. Rasanya aku ingin menghilang dari hadapan Kiki dan Gaza. Tapi ketika sekilas aku melirik ke arah Gaza. Dia memperhatikanku. Tersenyum.

     

    Kreator : Shifa

    Bagikan ke

    Comment Closed: Dari Haifa Untuk Gaza (Chapter 6)

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021