Tahun 2013, aku memberanikan diri melamar di program pertukaran pemuda antar negara. Saat itu, yang menarik perhatianku adalah AIYEP, Australia Indonesia Youth Exchange Program. Membayangkan bisa menjejakkan kaki di negeri Kanguru bersama pemuda-pemuda terpilih dari seluruh penjuru Indonesia sungguh jadi impian. Dengan semangat 45, aku siapkan berkas, berlatih wawancara, dan mencari tahu sebanyak mungkin tentang program ini.
Sayangnya, impian itu harus kandas di tengah jalan. Namaku tak muncul di daftar peserta yang lolos. Rasanya sakit, apalagi ketika teman-teman di kampus mulai bertanya, “Lolos nggak, Ka?” Aku hanya bisa menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan kecewa di balik senyum tipis.
Tapi aku tahu, gagal sekali bukan berarti selesai. Berbekal informasi dari seorang teman kuliah, aku tahu bahwa tahun depan masih akan ada seleksi pertukaran pemuda antar negara. Maka, aku bangkit. Aku perbaiki semua kekuranganku. Aku belajar lebih banyak, mencari tahu tentang isu-isu hangat di tingkat nasional dan internasional. Aku pelajari karakter program-program yang ada, mulai dari AIYEP, SSEAYP, hingga IMYEP.
Tahun 2014, kesempatan itu datang kembali. Kali ini programnya IMYEP, Indonesia Malaysia Youth Exchange Program. Aku tak mau sekadar coba-coba. Rasa jengah karena terus dijuluki “Si Munti” — gadis dari desa pemasok gepeng — justru jadi bahan bakar semangatku. Aku ingin membuktikan bahwa Munti tak melulu soal gepeng, bahwa ada banyak potensi anak muda desa yang bisa bersaing di kancah nasional, bahkan internasional.
Aku riset isu-isu hubungan Indonesia-Malaysia. Mulai dari soal pekerja migran, perbatasan, hingga isu budaya yang sering jadi perdebatan dua negara.
Seleksi IMYEP 2014 diadakan di Denpasar. Aku datang lebih pagi, dengan hati yang campur aduk antara gugup, semangat, dan sedikit trauma gagal tahun lalu. Beberapa wajah yang kutemui di ruang seleksi ternyata adalah peserta-peserta lama yang juga belum berhasil. Kami saling sapa, saling menguatkan.
“Eh, Si Munti daftar lagi, nih!” ujar salah seorang senior sambil tertawa kecil. Aku hanya tersenyum, “Lha, siapa takut? Pokoknya akan kucoba terus sampai kuota gagalku habis,” jawabku, berusaha tetap santai meskipun di dalam hati deg-degan.
Sesi wawancara jadi momen paling menegangkan. Di depan meja panelis, aku ditanya soal isu-isu sensitif hubungan Indonesia-Malaysia. “Bagaimana menurut kamu tentang klaim budaya Indonesia oleh Malaysia yang sering jadi perbincangan?” tanya salah satu juri.
Aku menarik napas, menenangkan diri, lalu menjawab, “Menurut saya, masalah ini harus dilihat dua sisi. Di satu sisi, kita harus menjaga kekayaan budaya kita, tapi di sisi lain kita juga perlu lebih aktif mengenalkan budaya Indonesia ke luar negeri, bukan hanya sibuk marah-marah kalau sudah diklaim. Kalau kita diam saja, ya orang lain bisa saja mengambil.”
Panelis mengangguk pelan, lalu salah satunya bertanya lagi, “Apa motivasi terbesar kamu ikut program ini?” Aku tak ragu, “Saya ingin membuktikan bahwa anak dari desa kecil pun bisa ikut bicara soal perdamaian, soal kerjasama antarbangsa. Dan saya ingin membuang stigma negatif tentang desa saya.” Aku bisa merasakan mataku mulai berkaca-kaca saat menyebut kata desa. Tapi aku tahan. Menyebut nama desaku, selalu membuatku sensitif dan emosional.
Ketika pengumuman tiba, namaku disebut. Aku menutup wajah, menahan tangis bahagia. Beberapa teman langsung merangkulku. “Wah, akhirnya Si Munti bakal ke Malaysia, nih!” celetuk seorang teman. “Bukan cuma ke Malaysia, tapi bawa nama Bali dan Indonesia.” sahutku sambil tertawa.
Program berlangsung di dua tempat: Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, kami diajak ke beberapa daerah untuk mengenal budaya lokal, ikut pelatihan kepemudaan, dan belajar tentang isu-isu nasional. Di Malaysia, kami mengikuti kegiatan kunjungan resmi ke KBRI di Kuala Lumpur, dan ke instansi-instansi pemerintahan Malaysia, di Putra Jaya. Selain itu, kami tinggal di homestay warga lokal, di Negeri Sembilan, ikut program sosial dan memperkenalkan budaya Indonesia.
Aku ditempatkan di sebuah desa Namanya Portsdam di Negeri Sembilan. Warga disana ramah, meski sempat terkaget-kaget melihatku makan sambal terasi dengan lahap.
“Eh, awak orang Bali memang kuat makan pedas, ya?” tanya ibu angkatku di sana.
“Lah, di Bali, sambal terasi itu lauk utama, Bu.” jawabku disambut tawa.
Yang paling kuingat adalah ketika aku dan teman-teman membawakan tari Bali di hadapan warga desa saat Cultur Performance. Aku tidak begitu pandai menari, tapi mereka sangat antusias. Mereka sangat menyukai Tari Bali.
“Bagus-bagus! Awak ini pandai menari!” ujar salah satu nenek di sana.
Rasanya haru luar biasa. Di tempat yang jauh dari rumah, aku bisa membawa nama desaku, membanggakan keluargaku.
Dari program ini aku belajar banyak hal: tentang keberagaman, tentang pentingnya membangun citra diri dan daerah, tentang bagaimana mewakili Indonesia dengan cara yang sederhana tapi berarti.
Aku pulang membawa banyak cerita. Dan yang paling penting, membawa keyakinan bahwa aku bisa. Bahwa aku pantas. Bahwa Si Munti bukan hanya anak desa pemasok gepeng, tapi anak desa yang bisa bersuara di panggung dunia.
Program IMYEP ini memberiku sebuah pengalaman sekali seumur hidup. Once in a lifetime experience. Di program inilah untuk pertama kalinya aku benar-benar merasakan makna Bhinneka Tunggal Ika dalam arti sesungguhnya.
Bayangkan saja, selama tiga minggu aku hidup bersama para pemuda dari berbagai provinsi, dari Sabang sampai Merauke. Dari yang logatnya medok Jawa, tegas Batak, lembut Minang, sampai yang bicaranya cepat-cepat ala Makassar. Setiap hari kami berbagi cerita, tradisi, makanan, hingga candaan khas daerah masing-masing. Kadang saling ejek soal logat, kadang ribut soal siapa punya makanan terenak. Tapi itulah indahnya Indonesia. Kita beda, tapi bisa satu meja, satu hati.
Yang tak kalah luar biasa, aku juga mendapat sahabat lintas negara. Sesuatu yang bahkan tak pernah terbayang sebelumnya. Aku masih ingat bagaimana pertama kali bertemu pemuda-pemudi Malaysia dalam program ini. Kami kikuk, saling intip, saling tanya-tanya nama dan asal. Tapi hanya butuh sehari untuk bisa tertawa bersama. Kami bertukar cerita tentang budaya, kuliner, hingga kebiasaan aneh di negara masing-masing.
Dari program ini, aku belajar bahwa perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tapi dirayakan. Bahwa sahabat tak mengenal batas negara. Sampai sekarang, kami masih saling berkomunikasi. Kadang berbagi kabar lewat media sosial, kadang video call, bahkan beberapa di antaranya pernah datang ke Bali untuk berkunjung. Begitu juga sebaliknya, ketika ada kesempatan, aku pun berusaha menyapa mereka di Malaysia.
Aku bersyukur pernah jadi bagian dari perjalanan ini. Dari seorang gadis desa yang dulu sering dipandang sebelah mata, kini aku punya sahabat di berbagai penjuru nusantara, bahkan lintas negara. Semua berawal dari keberanian kecil untuk mencoba dan tekad besar untuk tidak menyerah.
Karena sejatinya, setiap anak desa pun berhak bermimpi besar, dan punya panggungnya sendiri.
Kadang kita terlalu sibuk meragukan diri sendiri. Terlalu cepat percaya pada label yang orang sematkan. Anak desa, dari pelosok, bukan siapa-siapa. Tapi program ini mengajarkanku satu hal penting: panggung itu ada untuk siapa saja yang berani melangkah.
Tak perlu menunggu jadi orang hebat untuk berani mencoba. Justru dari upaya-upaya kecil, dari keberanian menembus ketakutan, jalan itu akan terbuka perlahan. Aku pernah gagal, pernah diragukan, pernah dicibir karena berasal dari desa yang dipandang sebelah mata. Tapi saat aku memilih untuk tidak menyerah, semesta seperti ikut membantuku.
Program pertukaran pemuda ini memang hanya berlangsung tiga minggu, tapi pelajaran yang kuterima, sahabat yang kudapat, dan pandangan hidup yang berubah… akan terus aku bawa seumur hidup.
Dan untuk siapa pun yang mungkin membaca kisah ini, ingatlah, asal usul bukan penentu batas langkah. Anak desa, anak kota, dari gunung, dari pesisir, semua punya hak untuk bermimpi, untuk mewakili bangsanya, untuk bersuara di panggung dunia.
Karena sejatinya, Indonesia itu bukan cuma soal Jawa. Tapi soal kita, dari Sabang sampai Merauke. Dan mimpi-mimpi yang berani diperjuangkan.
Kreator : Kade Restika Dewi
Comment Closed: Dari Munti ke Negeri Jiran (Chapter 13)
Sorry, comment are closed for this post.