Kisah mendapatkan sebidang tanah merupakan suatu hal yang sama sekali tidak terpikirkan olehku. Karena sepanjang cerita dari leluhur orang tuaku dan suami tidak ada yang menjadi petani. Tetapi Yang Maha Pemberi kehidupan menuliskan lain pada perjalanan hidupku dan keluarga.
Pada hari minggu yang cerah biasa aku dan keluarga berjalan pagi menelusuri sungai yang ada di lingkungan perumahan yang kutinggali. Tempat tujuan beristirahat selalu di rumah bibi yang kerja di rumahku. Saat menikmati nasi bungkus bertabur lalapan dan sambal, seorang ibu tua tergopoh-gopoh menghampiriku.
Sedu sedan menghiasi setiap kalimat yang keluar dari lisannya, garis besar yang aku tangkap adalah ibu tersebut menjual sebidang tanah dengan alasan ada kebutuhan mendesak yang harus segera diselesaikan. Tentu saja aku tidak bisa memutuskan hal sebesar itu sendiri, selain keadaan keuangan tidak berlebihan walau ada simpanan yang sudah memiliki tempat yang harus dibayarkan yaitu keperluan pendidikan anak-anak, juga harus berunding dahulu dengan suami.
Kemudian aku berunding dengan suami, yang memutuskan untuk menolong ibu tua tersebut. Teringat isi ceramah yang menjelaskan bahwa jika kita menolong sesama maka kelak akan datang pertolongan kepadamu. Kami pun memiliki sebidang tanah yang luasnya bisa dijadikan ladang sayur dan peternakan. Perjalanan mengelola tanah pun dimulai dari sini, merencanakan dengan sepenuh hati membuat Mix Farming yaitu ada ternak ayam petelur, kolam ikan emas dan bercocok tanam sayur organik.
Semangat menjadi petani sayur sangat mengejutkan semua kerabat dan orang sekitar karena mungkin tidak tampak gayaku sebagai petani. Tanpa menghiraukan omongan manusia lain, aku singsingkan lengan baju untuk menggarap sebidang tanah ini.
Singkat cerita kandang ayam petelur sudah berisi anak ayam sebanyak 25 ekor yang kelak bertelur setiap hari dan kujual langsung ke komunitas ibu-ibu yang aku kenal. Kemudian kolam ikan emas pun sudah berisi ribuan bibit ikan. Selanjutnya saat panen aku pun jadi kurir pengantar kiloan ikan ke para pembeli, berkendara motor roda dua warna hijau dengan senang hati kutempuh irama hidup ini.
Awal mula benih sayur pertama tumbuh, ada rasa haru yang sulit kujelaskan ketika melihat benih sayur pertama yang akhirnya pecah dari tanah, menunjukkan tunas hijau kecil yang penuh kehidupan. Aku masih ingat jelas hari itu—pagi yang sejuk dengan aroma tanah basah yang menyeruak setelah disiram air hujan semalam. Dengan tangan terbungkus sarung karet, aku berjongkok di samping petak kecil itu, mengamati bagaimana tunas mungil itu muncul di antara pagar bambu dan tanah gembur. Rasanya seperti melihat keajaiban kecil dari Tuhan. Saat itu, aku sadar bahwa bukan hanya benih sayur yang tumbuh, tetapi juga harapan baru menyelinap di sanubari.
Namun, menunggu benih itu tumbuh tidaklah mudah. Ada rasa cemas, takut gagal, dan sesekali muncul godaan untuk menyerah ketika cuaca tak bersahabat atau air terasa berkurang. Tapi setiap kali aku memandang benih-benih itu, hati ini kembali terkuatkan. Mereka mengajarkan kesabaran dan keteguhan. Ketika daun pertama mulai melebar dan warnanya semakin hijau, aku tahu, perjuangan itu tidaklah sia-sia. Tunas kecil itu menjadi simbol perjalanan hidupku—bahwa segala sesuatu yang besar selalu dimulai dari yang kecil, asalkan kita mau merawatnya dengan cinta dan ketekunan.
Menemukan Makna di Balik Impian yang Sesungguhnya. Ketika pertama kali memutuskan untuk bertani, impianku sederhana yaitu menyediakan sayur segar untuk keluarga dan mungkin sedikit penghasilan tambahan. Setiap pagi, aku bangun lebih awal, bersepeda menuju ladang karena jarak rumah tinggalku sekitar 1 kilometeran. Mulai menanam bibit, menyirami tanamannya dengan hati-hati, tidak lupa mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitarnya.
Awalnya, kupikir tujuanku hanya sebatas itu—mengisi dapur dengan hasil kebun sendiri. Tapi seiring waktu, aku mulai bertanya pada diri sendiri, apakah ini benar-benar impian yang aku kejar? Mengapa hatiku sering kali merasa ada sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, yang ingin ku capai?
Perjalanan menemukan jawaban itu tentu saja tidak singkat. Suatu hari, saat memetik daun-daun bayam dan kangkung yang segar, aku menyadari sesuatu yang menyentuh hati. Setiap daun itu unik, dengan urat-urat yang membentuk pola indah seperti karya seni alam. Tanganku berhenti, pikiranku melayang. Mungkin ini lebih dari sekadar menanam dan memanen. Ada pesan dari alam yang ingin disampaikan melalui jiwaku. Tiba-tiba, impianku bergeser—bukan hanya menjadi petani, tetapi seseorang yang bisa menghadirkan keindahan dan cerita dari daun-daun kecil ini.
Saat itu, aku mengerti bahwa makna impian yang sesungguhnya bukan hanya tentang hasil, tetapi tentang perjalanan dan dampaknya. Bukan hanya menanam sayur untuk dimakan, tetapi menciptakan sesuatu yang bisa menginspirasi orang lain. Seni daun yang kemudian kupelajari bukan sekadar teknik baru, tetapi sebuah cara untuk menyampaikan cerita hidupku: tentang perjuangan, harapan, dan cinta pada hal-hal kecil yang sering kita abaikan. Dan itulah makna impianku—mengubah yang biasa menjadi luar biasa, memadukan kerja keras dengan keindahan, dan meninggalkan jejak yang berarti bagi banyak orang.
Hijau itu harapan, hijau selalu membawa ketenangan dalam hatiku. Saat memandang kebun kecil di sebidang tanah yang kubeli tanpa ada kesengajaan, dengan daun-daun segar yang menari dihembus angin, ada rasa syukur yang tak terlukiskan. Hijau bukan sekadar warna, tetapi simbol kehidupan dan harapan. Daun-daun itu mengingatkanku bahwa seperti tanaman yang tumbuh, hidup juga memerlukan proses—dari benih kecil yang ditanam dengan keyakinan, dirawat dengan cinta, hingga akhirnya tumbuh subur meski harus melewati hujan deras dan terik matahari. Dalam setiap helai daun, aku melihat refleksi perjuanganku sendiri, bahwa harapan selalu ada jika kita mau berusaha.
Namun, hijau juga mengajarkanku arti dari sebuah kesederhanaan. Tanaman tidak pernah menuntut banyak, hanya membutuhkan tanah, air, dan sinar matahari yang cukup. Mereka tumbuh dengan setia, memberi hasil tanpa pamrih. Hijau mengingatkanku untuk bersyukur atas apa yang ada dan percaya bahwa sekecil apapun usaha kita, jika dilakukan dengan sepenuh hati, akan membawa keberkahan. Ketika aku memetik daun untuk dimasak, dijadikan karya seni, atau hanya sekadar untuk dinikmati keindahannya, hatiku berbisik, harapan itu nyata, asalkan kita mau menanamnya.
Mengapa bertani lebih dari sekedar pekerjaan, bertani bukan hanya tentang menanam, merawat, lalu memanen. Di balik setiap bibit yang ditanam, ada harapan yang turut ditabur. Saat tanganku menyentuh tanah, aku merasa terhubung dengan kehidupan, dengan alam, dan dengan sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri. Bertani mengajarkan kesabaran, karena tanaman tidak tumbuh dalam semalam. Setiap daun yang muncul, setiap bunga yang mekar, adalah hasil dari kerja keras dan doa. Di situlah aku belajar, bahwa bertani bukan hanya cara mencari nafkah, tetapi sebuah perjalanan spiritual—proses memahami bahwa hidup ini, seperti tanaman, memerlukan cinta dan keteguhan hati.
Di ladang, kutemukan keajaiban kecil setiap hari. Bagaimana benih yang begitu kecil bisa tumbuh menjadi pohon yang kokoh, bagaimana tanah yang diam ternyata menyimpan kehidupan yang luar biasa. Bertani mengajarkanku untuk tidak hanya melihat hasil, tetapi juga menghargai proses. Bagiku, bertani adalah cara untuk memberi dan menerima. Memberi kehidupan bagi tanaman, dan menerima pelajaran hidup dari alam. Dari sinilah aku sadar, bertani lebih dari sekadar pekerjaan—ia adalah panggilan hati, tempatku menemukan arti kebahagiaan yang sejati.
Dari hati menggelora vibrasi menebarkan semangat luar biasa ke alam sekitar, yang awalnya kemampuanku diragukan tapi kini semua mata mengarah ke kebun sayurku yang hijau subur. Hasil sentuhan hati seorang ibu rumah tangga yang selalu ingin belajar dalam hal apa pun. Tanaman sayur yang ku kelola dengan cara organik atau tidak menggunakan pupuk dan pestisida dari bahan kimia melainkan semuanya dengan alam, seperti hamparan karpet hijau.
Bertani juga bukan sekedar pekerjaan melainkan sarana berbagi ilmu dan hasil panen kepada warga sekitarnya. Perhatian dari aparat desa dan dinas mulai mendekat, aku pun dapat bantuan berbagai pohon kayu (akasia, pucuk merah, rambutan, mangga) dari Dinas Perhutani. Pohon-pohon tersebut ku bagikan ke seluruh warga sekitarnya—ini akan menciptakan keseimbangan ekosistem. Dengan demikian ramah lingkungan juga terwujud.
Semua yang dikerjakan dengan ketulusan hati akan melahirkan kebaikan, tidak ada yang sia-sia aku pun dapat penghargaan sebagai Pemangku Lingkungan Hijau dari Pemerintah Kabupaten Bandung, tentu saja tidak diduga sebelumnya, Alhamdulillah.
Inspirasi dari daun-daun kecil yang tak pernah menyerah, ada sesuatu yang selalu membuatku kagum ketika memandang daun-daun kecil di kebun. Meski tampak rapuh, mereka begitu tangguh menghadapi kerasnya alam. Hujan deras mungkin mengguyur tanpa ampun, angin kencang sering kali mengguncang, dan terik matahari tak jarang menyengat. Namun, daun-daun itu tetap bertahan, menyesuaikan diri, dan terus tumbuh. Setiap helai daun mengajarkan bahwa hidup tidak selalu tentang kekuatan fisik, tetapi tentang ketahanan dan kemauan untuk terus hidup, apa pun itu tantangannya. Dari mereka, aku belajar untuk tidak menyerah pada hal-hal sulit dalam hidupku walau pada kenyataannya sangat berat.
Daun-daun kecil itu juga mengingatkanku akan pentingnya peran kecil yang sering dianggap remeh. Meski hanya sehelai daun, mereka adalah bagian penting dari kehidupan tanaman. Mereka membantu pohon bernapas, memberi warna pada dunia, bahkan menjadi rumah bagi serangga kecil. Begitu pula dengan kita. Mungkin peran kita tampak kecil di mata orang lain, tetapi jika dilakukan dengan sepenuh hati, kita juga bisa memberi dampak yang besar. Daun-daun kecil itu membisikkan pesan sederhana: tidak apa-apa menjadi kecil, asalkan kita berguna.
Melalui seni daun, aku mencoba menyampaikan cerita-cerita ini. Setiap guratan pada daun menjadi simbol keteguhan, setiap pola yang tercipta adalah keindahan yang lahir dari perjuangan. Aku ingin dunia tahu, bahwa inspirasi besar bisa datang dari hal-hal kecil di sekitar kita, bahkan dari daun-daun yang kerap terabaikan. Jika daun-daun kecil saja tak pernah menyerah, mengapa kita harus berhenti berjuang? Di sinilah aku percaya, hidup akan selalu indah jika kita memandangnya dengan hati yang penuh syukur.
Menyulam Mimpi di Ladang Hidroponik, ketika pertama kali mengenal hidroponik, aku merasa seperti membuka lembaran baru dalam hidup. Tidak ada lagi keterbatasan tanah, tidak ada lagi kekhawatiran tentang cuaca yang tak menentu. Di atas atap sederhana, aku mulai menata pipa-pipa hidroponik, menyiapkan larutan nutrisi, dan mulai menyemai dengan hati penuh harapan. Setiap tanaman yang tumbuh membawa rasa syukur, bukan hanya karena mereka segar dan sehat, tetapi juga karena mereka mengajarkanku bahwa mimpi bisa disulam bahkan dari ruang sekecil apa pun. Ladang hidroponik itu menjadi tempat di mana harapanku tumbuh dan keyakinan mengakar.
Di tengah hijau daun yang menjalar di pipa-pipa itu, aku melihat lebih dari sekadar sayuran. Aku melihat mimpiku sendiri yang sedang dirawat dengan penuh rasa cinta. Hidroponik bukan hanya tentang menanam, tetapi tentang membangun sesuatu yang bisa mengubah kehidupanku dan orang-orang di sekitarku. Dari sana, aku belajar bahwa mimpi bukan sesuatu yang harus mewah atau besar. Mimpi adalah apa yang kita rawat dengan kesungguhan, apa yang kita bangun dengan usaha kecil namun penuh makna. Di ladang hidroponik ini, aku menyulam mimpi, satu tanaman demi satu tanaman, menjadi kisah yang semoga menginspirasi banyak orang.
Perjalanan berani beralih ke metode hidroponik. Beralih dari tanah ke metode hidroponik bukanlah keputusan yang mudah. Bertahun-tahun aku terbiasa dengan aroma tanah basah dan sentuhan lembutnya di tangan, hingga terasa aneh ketika harus memulai dengan pipa-pipa plastik dan air sebagai media tanam. Awalnya, aku ragu—apakah tanaman bisa tumbuh tanpa tanah? Bagaimana jika gagal? Tapi saat melihat keterbatasan lahan yang semakin menyulitkan, aku harus mencoba sesuatu yang baru. Meski takut, kupilih untuk melangkah. Dengan bekal tabungan secukupnya dan sedikit ilmu yang kupelajari dari pelatihan-pelatihan, kumulai perjalanan hidroponik dengan hati penuh harapan.
Hari-hari awal penuh tantangan. Sistem hidroponik pertama yang kupasang sering bocor, larutan nutrisi kadang tidak pas, dan ada tanaman yang mati sebelum sempat tumbuh besar. Rasanya seperti berjalan di jalan yang belum pernah dilewati, penuh kerikil dan rintangan. Namun, setiap kesalahan menjadi pelajaran, setiap kegagalan membuatku lebih paham. Aku belajar untuk bersabar dan memberi kesempatan pada diri sendiri untuk mencoba lagi. Perlahan, tanaman pertama mulai tumbuh segar, menghiasi atap kecil di rumahku. Aku mulai sadar, keberanian untuk berubah telah membuka pintu baru yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Metode hidroponik bukan hanya solusi bagi keterbatasan lahan, tetapi juga simbol keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Ia mengajarkanku untuk beradaptasi, berpikir kreatif, dan terus bergerak maju meski jalan terlihat sulit. Kini, pipa-pipa hidroponik di atap bukan hanya ladang tanaman, tetapi juga ladang harapan. Di sana, aku menemukan bahwa perubahan, meski penuh risiko, selalu membawa pelajaran dan peluang baru yang tak ternilai. Jika aku tidak berani mencoba, mungkin tidak akan pernah melihat keindahan mimpi yang kini mulai terwujud.
Transformasi dari bertani tradisional ke hidroponik. Bertani dengan cara tradisional adalah hal yang akrab bagiku. Aku terbiasa mengolah tanah dengan cangkul, menanam sayur dengan tangan, dan mencium aroma khas tanah basah setiap hari. Tapi di balik semua itu, ada tantangan yang tak pernah berhenti. Kadang cuaca tak bersahabat, tanah kehabisan nutrisi, atau hama menyerang tanpa ampun. Aku mulai merasa bahwa apa yang kulakukan belum cukup stabil untuk mendukung keluarga. Di sanalah, perlahan-lahan, gagasan untuk mencoba hidroponik muncul—sebuah metode bertani tanpa tanah yang awalnya terdengar asing dan bahkan menakutkan.
Perjalanan menuju hidroponik terasa seperti melangkah ke dunia yang benar-benar baru. Tidak ada lagi aroma tanah basah, digantikan oleh pipa-pipa plastik dan larutan nutrisi yang terlihat begitu teknis. Aku belajar dari nol, membaca buku, menonton video, dan bertanya pada orang-orang yang lebih berpengalaman. Setiap langkah awal terasa kaku, penuh percobaan dan kesalahan. Namun, melihat bibit pertama yang tumbuh dengan sistem hidroponik, aku merasa seperti menemukan harapan baru. Dan aku sadar, meski berbeda dari apa yang biasa kulakukan, metode ini membawa peluang besar yang sebelumnya tak pernah kubayangkan.
Hidroponik mengubah caraku memandang pertanian. Dari sesuatu yang hanya mengandalkan kerja fisik, ia menjadi proses yang lebih terukur, kreatif, dan efisien. Tidak hanya menanam sayuran, tetapi juga mimpi-mimpi baru untuk masa depan. Sistem ini memungkinkan aku untuk bercocok tanam di ruang sempit dan menghasilkan panen yang lebih konsisten. Transformasi ini bukan sekadar perubahan teknik, melainkan juga perjalanan hati—mengajarkanku bahwa perubahan itu menantang, tetapi selalu sepadan dengan usaha dan keberanian kita untuk mencobanya. Dari bertani tradisional ke hidroponik, aku tidak hanya bertani, tetapi juga tumbuh sebagai pribadi yang lebih berani bermimpi besar.
Belajar dari kegagalan hingga akhirnya sukses, tidak ada perjalanan yang selalu mulus, begitu pula dengan kisahku ini. Kegagalan pertamaku di hidroponik datang lebih cepat dari yang kuduga. Mulai dari penyemaian, tidak selalu berhasil, seringkali hasil semai jadi kurus tinggi langsing yang biasa dikenal dengan istilah kutilang, dari sini sangat dibutuhkan peran sinar matahari yang cukup. Kegagalan kedua larutan nutrisi yang salah tidak hanya membuat tanaman layu, tetapi juga menghabiskan sebagian besar tabunganku. Pernah juga hujan deras disertai angin kencang sehingga merusak instalasi yang kubangun dengan susah payah di atap rumah. Rasanya berat sekali melihat usaha yang sudah direncanakan dengan hati-hati justru berantakan. Ada momen-momen ketika aku ingin menyerah, berpikir bahwa mungkin bertani tradisional saja sudah cukup. Namun, di setiap kegagalan, ada bisikan dari hati kecilku yang berkata, “Jangan berhenti. Ini bagian dari proses.”
Aku mulai memperbaiki apa yang salah, satu demi satu. Belajar dari sahabat yang sudah berpengalaman sebagai petani hidroponik bahkan juga menyediakan semua bahan yang dibutuhkan. Mencatat setiap detail kesalahan yang pernah kulakukan. Perlahan, aku mulai memahami apa yang dibutuhkan tanaman, bagaimana merawat sistem, dan mengatasi masalah dengan lebih cepat. Setiap tanaman yang berhasil tumbuh memberiku kepercayaan diri, dan setiap panen kecil yang aku hasilkan mengingatkan bahwa kegagalan adalah guru terbaik. Aku belajar bahwa kunci dari keberhasilan bukanlah menghindari kesalahan, tetapi berani bangkit dan mencoba lagi setelah gagal.
Kini, ketika aku melihat pipa-pipa hidroponik yang penuh dengan sayuran hijau segar, hatiku dipenuhi rasa syukur. Kegagalan yang dulu pernah membuatku berurai air mata kini menjadi cerita yang aku syukuri. Dari sana, aku belajar lagi tentang ketekunan, kerja keras, dan keajaiban yang muncul dari kesabaran. Kesuksesan yang kurasakan bukan sekadar tentang hasil panen, tetapi juga perjalanan panjang yang mengubahku menjadi seseorang yang lebih kuat dan percaya diri. Jika kegagalan itu tak pernah terjadi, mungkin saku tak akan pernah benar-benar tahu arti dari sebuah perjuangan.
Kembali lagi vibrasi yang keluar dari semangatku tersiar ke setiap lingkungan, bahwa ada sistem pertanian yang tidak membutuhkan tanah sebagai media tanam. Ketika aku dipercaya oleh pimpinan desa untuk menjadi delegasi Musyawarah Rencana Pembangunan maju ke Kabupaten Bandung, aku sampaikan dalam forum pembukaan tentang akan terjadi perubahan besar pada lahan pertanian di lingkungan kecamatan kami.
Adapun perubahan besar adalah—satu keadaan dimana lahan hijau akan menjadi merah dengan kata lain tanah pertanian akan berubah menjadi tanah pemukiman atau perumahan, harus ada langkah antisipasi terhadap nasib para pekerja tani atau pemilik sawah. Mulai merencanakan pertanian modern yang sudah ada berbagai teknis yang bisa dilakukan.
Perlahan pemerintah mulai memperhatikan sistem hidroponik untuk coba dipraktekkan, pertama di halaman kantor dinas kabupaten melangkah ke wilayah desa yang memiliki tenaga berpotensi menanganinya. Desaku masuk dalam program bantuan dari dinas pertanian berupa Green House yaitu hidroponik yang tertutup lalu dipasang di halaman kantor desa.
Setelah mencoba dengan hal baru yang diawali dengan kegagalan lalu bangkit lagi terus mencoba lagi dibarengi kerja keras, hati ikhlas sampailah pada titik keberhasilan. Semangatku menular ke setiap hati yang tergabung dalam komunitas Kelompok Wanita Tani menjadikan hidroponik yang kupasang di rumah dapat apresiasi dari pemerintah kabupaten bandung sebagai Kampung Hidroponik juara ke 3.
Begitulah perjalananku dari mulai tanah, benih dan mozaik impian telah terlampaui. Selanjutnya jangan dilewatkan bagaimana titik balik hidupku—kuy kepoin rahasia membatik dengan lilin dingin.
Kreator : Puji Setya Wilujeng
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Dari Petani Sayur ke Seniman Daun
Sorry, comment are closed for this post.