KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Debur Ombak dan Air Mata

    Debur Ombak dan Air Mata

    BY 18 Des 2024 Dilihat: 471 kali
    Debur Ombak dan Air Mata_alineaku

    Aaaaaaaaaaaargghh!!! 

    Teriakan Erika memecah keheningan sore, bergema bersamaan dengan gemuruh ombak yang tiada henti menghempas pantai. Air matanya deras mengalir, seolah mencurahkan semua beban yang selama ini ia pendam. Rasa sesak, marah, kecewa, dan gundah menguasai hatinya. Kenangan manis dan harapan masa kecilnya kini hancur berkeping-keping, tertelan tragedi yang mengubah hidupnya selamanya.

    Erika adalah seorang gadis kecil yang ceria, tumbuh dalam pelukan kasih sayang keluarga kecilnya. Ayah dan ibunya, yang telah menanti kehadirannya selama enam tahun, memandang Erika dan adiknya, Erlangga, sebagai anugerah terindah. Dalam keluarga itu, cinta dan kebahagiaan mengalir tanpa henti. Setiap tawa Erika dan Erlangga menjadi sumber kebahagiaan yang tak tergantikan, menciptakan harmoni dalam setiap momen bersama. Mereka adalah jantung keluarga, pusat dari segala perhatian dan cinta, yang membuat rumah kecil itu selalu hangat dan penuh dengan keceriaan.

    Hari-hari mereka lalui dengan rasa bahagia dan penuh canda tawa. Hampir setiap 2 minggu sekali mereka selalu refreshing ke beberapa tempat wisata. Tempat favorit yang sering mereka kunjungi yaitu Pantai. Pantai adalah surga kecil bagi Erika dan Erlangga, tempat di mana tawa mereka bercampur dengan gemuruh ombak dan angin laut yang sejuk. Hamparan pasir putih menjadi kanvas bagi imajinasi mereka, membangun istana pasir megah seolah mereka adalah raja dan ratu dalam cerita dongeng yang selalu dibacakan Ibunya setiap malam menjelang tidur. Ombak yang datang dan pergi menjadi teman bermain, memacu langkah kecil mereka saat berlari kejar-kejaran di tepi air. Di bawah langit biru dan sinar matahari yang hangat, setiap momen terasa sempurna, penuh kebahagiaan dan cinta. Pantai adalah saksi dari masa kecil mereka yang penuh warna dan keceriaan.

    Kebahagiaan terkadang hadir bersama dengan bayangan duka. Suatu Minggu di bulan Desember, keluarga Erika memutuskan untuk menjelajahi pantai baru yang belum pernah mereka kunjungi. Meski langit tampak mendung dan angin bertiup kencang, semangat mereka tak pudar. Debur ombak yang biasanya lembut kini menggulung lebih besar, Awalnya Ayahnya sempat mengurungkan untuk berwisata di pantai itu karena cuaca yang kurang bersahabat. Namun Ibu, Erika dan Adiknya tetap ingin bermain di pantai itu, akhirnya Ayahnya mengalah untuk mengikuti keinginan mereka. 

    Erika dan Erlangga, seperti biasa, berlari-lari riang, tertawa mengejar surutnya ombak, lalu kembali berlari ke daratan ketika air mendekat. Namun, alam tiba-tiba menunjukkan kekuatannya. Ombak besar muncul dengan cepat, menyapu keduanya hingga terjatuh. Erika sempat bangun dan berusaha menggenggam tangan Erlangga, tetapi ombak berikutnya datang lebih kuat, menyeret tubuh kecil adiknya ke tengah lautan.

    Suara ombak menggema, menelan teriakan mereka. Erika, dengan tubuh gemetar dan wajah basah oleh air mata, hanya bisa memandang kosong ke arah laut yang kini menyembunyikan sosok Erlangga. Ayah dan ibu berlari secepat mungkin, tetapi ombak telah lebih dahulu mengambil putra mereka. Panik dan ketakutan menyelimuti keluarga itu, sementara debur ombak terus bergulung tanpa henti, seakan menegaskan betapa kecilnya manusia di hadapan alam.

    Pencarian segera dilakukan, petugas pantai berusaha menemukan Erlangga, tetapi hingga malam menjelang, jejaknya tak kunjung tampak. Erika dan keluarganya hanya bisa pasrah, memohon dalam doa agar keajaiban hadir. Namun, laut tetap menyimpan rahasianya, meninggalkan keluarga itu dalam kesedihan yang mendalam, diiringi desah angin dan suara ombak yang tak pernah berhenti.

    Hari itu menjadi titik balik dalam kehidupan Erika. Pantai yang dahulu menjadi tempat penuh tawa kini menyimpan luka yang tak terobati. Segala upaya pencarian terhadap Erlangga, adik kecil yang selalu menggenggam tangannya dengan erat, berakhir tanpa hasil. Para petugas dan penduduk setempat telah berjibaku menyisir setiap sudut pantai hingga ke tengah laut, tetapi laut tetap bungkam, menyembunyikan tubuh kecil itu di kedalamannya yang misterius.

    Kesunyian menyelimuti keluarga mereka sejak saat itu. Rumah yang dulunya riuh oleh canda tawa kini terasa hampa. Foto-foto Erlangga yang terpajang di dinding menjadi saksi bisu dari kenangan yang perlahan berubah menjadi luka. Setiap sudut rumah seolah memanggil nama adik kecil itu suara tawa saat bermain, langkah-langkah kecil yang sering berlarian di lantai, bahkan gumaman lembut saat ia tertidur lelap di pangkuan ibunya.

    Erika sering terjaga di malam hari, memandangi langit dari jendela kamarnya, berharap ada bintang yang memberi tanda bahwa Erlangga baik-baik saja di suatu tempat. Namun, hanya gelap dan dingin yang menyertainya. Setiap bunyi ombak dalam ingatannya membawa kembali suara adiknya, membuat hatinya sesak oleh kerinduan yang tak terucapkan.

    Kehilangan itu tak hanya merenggut Erlangga, tetapi juga mengguncang pondasi keluarganya. Duka menyelimuti setiap percakapan, setiap tatapan yang terarah pada lautan masa lalu mereka. Dunia Erika berubah selamanya, meninggalkan bekas luka yang mendalam, tetapi juga kenangan yang terus hidup dalam diamnya.

    Tragedi itu membawa kehancuran yang perlahan merembet ke seluruh sudut kehidupan keluarga Erika. Duka yang tak terucapkan berubah menjadi amarah dan penyesalan. Ayah, yang tak mampu menerima kenyataan kehilangan Erlangga, mulai mencari kambing hitam untuk melampiaskan rasa sakitnya. Setiap pertengkaran dengan ibu selalu bermuara pada satu hal keputusan fatal di hari itu. 

    “Kalau saja kita tidak ke pantai.” begitu kalimat yang terus berulang, menggali luka lama yang belum sempat sembuh.

    Ibu, yang sejak awal telah dibebani rasa bersalah, hanya bisa terdiam. Air matanya sering jatuh dalam keheningan malam, saat Erika sudah terlelap. Rasa sakit itu menggerogoti jiwanya, membuat tubuhnya semakin lemah dan langkahnya terasa berat. Namun, ia tetap berusaha menjalani hari demi Erika, meskipun bayangan Erlangga dan tuduhan suaminya terus menghantuinya.

    Pertengkaran yang semula hanya bisikan pelan, lama-lama berubah menjadi ledakan suara. Erika sering bersembunyi di kamarnya, menutup telinga dengan tangan kecilnya, berharap semuanya akan berakhir. Tapi ketegangan di rumah tak pernah mereda. Ayah semakin jarang berada di rumah, dan ketika pulang, bau alkohol menyertai setiap langkahnya. Matanya yang dulu hangat kini dipenuhi kekosongan, seolah harapan dan cinta telah tenggelam bersama Erlangga.

    Suasana rumah berubah menjadi dingin dan suram. Kebahagiaan yang dulu menghiasi setiap sudut kini tergantikan oleh bayangan-bayangan gelap. Erika, yang masih terlalu kecil untuk memahami sepenuhnya, menyaksikan bagaimana keluarganya perlahan hancur, merindukan masa-masa ketika rumah mereka penuh dengan tawa dan cinta yang tak terbatas.

    Erika, dengan mata yang dulu cerah, kini dipenuhi kesedihan yang terlalu besar untuk ditanggung oleh seorang anak kecil. Dalam diam, ia menyaksikan keluarganya terurai, seperti benang kusut yang tak lagi bisa dirajut kembali. Kehilangan Erlangga sudah membuat dunianya runtuh, tetapi kini ia harus menghadapi kenyataan pahit lainnya ibunya yang perlahan melemah, baik fisik maupun jiwanya.

    Setiap hari, Erika melihat ibunya semakin tenggelam dalam kesedihan. Wajah yang dulu selalu tersenyum kini pucat dan tirus. Tubuhnya yang lemah sering kali gemetar, bahkan untuk melakukan hal-hal sederhana seperti memasak atau menyisir rambutnya sendiri. Tatapan matanya kosong, seolah semangat hidup telah pergi bersama kepergian Erlangga.

    Erika sering duduk di samping ibunya, memegang tangan yang semakin dingin dan kurus itu. Meski masih kecil, ia merasakan beban kehilangan yang sama. Kadang-kadang, ia mencoba menghibur ibunya dengan cerita-cerita kecil tentang sekolah atau teman-temannya, berharap dapat membawa sedikit kehangatan kembali. Tapi tanggapan ibunya hanya senyum tipis, yang lebih menyakitkan daripada tangisan.

    Di malam hari, Erika sering terbangun dari tidurnya, mendengar suara isak tangis ibunya yang berusaha disembunyikan. Ia ingin memeluk ibunya erat-erat, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, meskipun ia sendiri tidak yakin. Erika merasa seolah-olah ia kehilangan ibunya sedikit demi sedikit, setiap hari.

    Dalam keheningan itu, Erika memahami betapa rapuhnya dunia yang ia miliki. Ia tak hanya kehilangan adik yang selalu bersamanya, tetapi juga ibunya perlahan-lahan, dalam cara yang paling sunyi dan menyakitkan. Kehilangan yang berlapis ini menjadi beban yang membentuk masa kecilnya, meninggalkan jejak yang akan terus ia bawa sepanjang hidupnya.

    Malam itu menjadi malam paling kelam dalam hidup Erika. Keheningan yang biasa menemaninya saat tidur tiba-tiba pecah oleh suara keras dari arah kamar mandi. Erika tersentak bangun, hatinya berdegup kencang. Dengan langkah kecil namun panik, ia bergegas keluar dari kamarnya. Pemandangan yang menantinya di sana langsung membekukan seluruh tubuhnya ibunya tergeletak di lantai, tak bergerak, dengan darah mengalir dari kepalanya yang membentur lantai.

    “Ibu! Ibu, bangun! Jangan tinggalkan Erika, Bu!” teriaknya histeris. 

    Suaranya menggema, memecah malam yang dingin. Erika mengguncang tubuh ibunya, mencoba membangunkannya, tapi tubuh itu tetap kaku dan dingin. Air mata membasahi pipi Erika, jatuh membasahi baju tidur ibunya.

    Teriakan Erika akhirnya membangunkan ayahnya. Dengan mata setengah terbuka dan wajah bingung, ia segera berlari ke arah suara putrinya. Begitu ia melihat istrinya tergeletak bersimbah darah, wajahnya berubah pucat. 

    “Astaga, apa yang terjadi?!” gumamnya dengan suara gemetar. 

    Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat tubuh istrinya, memeluknya dengan hati-hati, lalu berlari keluar rumah untuk mencari bantuan.

    Tetangga yang terbangun oleh keributan itu segera membantu membawa ibu Erika ke rumah sakit. Waktu terasa begitu lambat saat mereka menunggu di ruang gawat darurat. Erika duduk di sudut ruang tunggu, memeluk lututnya erat-erat, tubuhnya berguncang oleh isak tangis yang tak bisa ia tahan. Ayahnya berdiri, mondar-mandir, wajahnya penuh kecemasan.

    Namun, harapan mereka pupus ketika dokter keluar dengan wajah muram. “Kami sudah berusaha semampu kami, tetapi luka di kepala terlalu parah. Ibu Anda tidak bisa diselamatkan,” kata dokter dengan nada lembut namun tegas.

    Dunia Erika runtuh dalam sekejap. Tangisnya pecah, memenuhi ruang tunggu yang dingin. Ia memeluk ayahnya erat, merasakan tubuh besar itu gemetar oleh tangis yang tertahan. Kehilangan itu terlalu besar, terlalu mendalam. Dalam waktu singkat, Erika harus menerima kenyataan pahit ibunya, sosok yang selalu memberikan kehangatan dan cinta, telah pergi untuk selamanya.

    Rumah mereka kini terasa hampa, seperti jiwa yang kosong, meninggalkan Erika dan ayahnya dalam kesunyian yang menyakitkan.

    Erika berdiri di tepi pantai yang pernah menjadi saksi kebahagiaan masa kecilnya. Angin laut berhembus lembut, membawa serta aroma asin dan suara ombak yang bergulung tiada henti. Matanya yang sembab memandang jauh ke cakrawala, tempat langit dan lautan bertemu dalam gradasi biru yang tak berujung.

    “Kalian sudah tenang di sana, ya?” bisiknya pelan, seolah berbicara kepada ombak.

    Suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh laut, namun hatinya yakin bahwa pesan itu sampai kepada dua orang yang paling ia rindukan Erlangga dan ibunya.

    Setiap gulungan ombak yang menghampiri terasa seperti jawaban, bisikan lembut dari mereka. Angin pantai menyentuh pipinya, membawa kehangatan yang aneh di tengah dinginnya sore itu. Sejenak, Erika memejamkan mata, membiarkan kenangan manis bersama mereka melintas seperti film dalam benaknya senyum lebar Erlangga, pelukan hangat ibunya, dan suara tawa mereka yang dulu memenuhi udara pantai ini.

    Air mata perlahan jatuh membasahi pipinya, namun kali ini bukan hanya karena kesedihan. Ada kelegaan kecil, sebuah penerimaan bahwa meski mereka telah pergi, cinta mereka tetap hidup di dalam hatinya. Pantai ini, meski menyimpan luka, juga menjadi tempat di mana Erika merasa dekat dengan mereka.

    “Aku akan selalu merindukan kalian,” lanjutnya. 

    Suaranya bergetar namun penuh keteguhan. Ia tahu kehilangan ini akan selalu meninggalkan jejak dalam hidupnya, tetapi ia juga tahu bahwa cinta yang pernah ia rasakan adalah kekuatan yang akan membantunya bertahan.

    Erika menarik napas dalam-dalam, menghirup udara laut yang sejuk. Matanya kini kembali terbuka, menatap ombak yang tak pernah lelah menghantam pantai. Di tengah semua yang telah berlalu, ia menyadari bahwa hidup, seperti ombak, terus bergerak maju. Meski terhempas berkali-kali, ia akan tetap berdiri, membawa cinta dan kenangan itu sebagai pijakan untuk melangkah.

    Langit perlahan berubah warna, semburat jingga menghiasi cakrawala. Erika tahu, meski hari ini berakhir, esok akan datang dengan harapan baru. Dan di dalam dirinya, cinta untuk Erlangga dan Ibunya akan selalu menjadi pelita yang menerangi jalannya ke depan.

     

     

    Kreator : Siti Murdiyati

    Bagikan ke

    Comment Closed: Debur Ombak dan Air Mata

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021