“Bu… kenapa dunia ini terasa begitu menyakitkan? Terasa asing… sampai-sampai aku ingin mati.”
Kata-kata itu meluncur perlahan dari bibir Adinda, namun terasa seperti petir di dadaku. Jantungku berdegup kencang. Tenggorokanku tercekat. Selama menjadi wali kelasnya, saya melihat bahwa Dinda anak yang ceria.
Aku bukan seorang psikolog. Bukan pula konselor yang ahli dalam memahami liku-liku batin manusia. Jam terbangku hanya berkisar pada rumus, angka-angka, dan absensi. Baru setahun juga aku menjadi seorang guru dan sudah dipercayakan menjadi wali kelas. Di sekolahku tak punya guru BK. Sehingga apapun masalah yang terjadi di kelas akan menjadi tanggung jawab wali kelas.
Di saat kalimat itu keluar dari mulut Dinda seorang siswi yang masih belasan tahun, aku merasa seolah dihempas ke jurang yang dalam—jurang ketidaksiapan dan keprihatinan.
Seharusnya, di usia itu, dia sedang menikmati hidup. Bermain, tertawa, bertukar cerita dengan sahabat-sahabatnya. Bukan menyimpan luka dan keinginan untuk pergi dari dunia ini.
Aku memandangi pergelangan tangannya. Guratan-guratan kecil bekas silet, bahkan masih ada noda darahnya. Luka yang ia toreh sendiri, mungkin saat semua terasa terlalu sunyi dan gelap.
Perlahan, dengan suara setenang mungkin, aku duduk di hadapannya.
“Dinda…” Aku menyebut namanya pelan.
“Apa yang membuatmu merasa begitu terluka… sampai menyakiti dirimu sendiri dan ingin mengakhiri hidupmu?”
Ia menunduk. Tak menjawab. Hanya napasnya yang terdengar, berat dan tersendat. Butiran-butiran bening jatuh membasahi rok seragamnya. Ia menangis tanpa suara.
Aku diam. Tak ingin memaksanya bicara saat belum siap. Beberapa menit berlalu dalam sunyi. Lalu saya berkata lagi, kali ini lebih lembut.
“Dinda… kalau kamu tidak siap cerita sekarang, tidak apa-apa. Tapi Ibu di sini. Ibu ingin dengar. Ibu tidak akan marah ataupun membocorkan rahasiamu ke teman lain. Rahasiamu aman di sini.”
Tiba-tiba tubuhnya bergetar. Tangisnya semakin menjadi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Aku hanya bisa memeluknya. Biar tubuh kecil itu tahu bahwa ia tidak sendiri.
“Ayah dan Ibu selalu bertengkar, Bu…”
Akhirnya kata-kata itu keluar dari bibirnya, di sela-sela isak.
“Setiap hari. Aku capek. Rumah bukan rumah lagi. Aku merasa… seperti tidak ada artinya aku hidup. Ibuku pernah bilang, bahwa dia bertahan dalam pernikahan itu hanya karena ada aku. Aku merasa terbebani. Sepertinya kalau aku sudah mati, Ibuku bisa terbebas dari penderitaannya”
“Dinda…”
“Mereka sibuk saling menyalahkan. Tidak pernah peduli padaku, entah aku nyaman atau tidak. Kadang… aku akan jadi pelampiasan kekesalan mereka. Padahal aku juga tidak pernah minta untuk dilahirkan.”
Aku terdiam. Mendengarkan. Tidak memotong. Tidak menyela. Karena terkadang yang dibutuhkan anak bukanlah solusi, tapi telinga yang benar-benar mau mendengar.
“Waktu Ibu lihat tanganku… aku takut. Tapi… juga lega. Akhirnya ada yang peduli padaku.”
Aku menatapnya.
“Dinda, Ibu sangat memahami betapa beratnya beban yang kamu rasakan. Ketika rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru terasa asing, itu bisa membuat hati begitu lelah. Tapi, percayalah. Kehadiranmu bukanlah beban, melainkan sebuah anugerah yang luar biasa. Terkadang, orang tua bisa terjebak dalam badai masalah mereka sendiri, hingga lupa bahwa anak mereka adalah cahaya yang berharga. Orang tua Dinda juga manusia biasa, pasti tidak luput dari khilaf. Kenapa Dinda harus menyalahkan diri sendiri. Mulai saat ini, cobalah untuk memaafkan mereka. Kamu punya hak untuk bahagia, untuk merasa dicintai tanpa rasa bersalah.”
“Jika dunia di rumah terasa sempit, jangan ragu mencari tempat di mana hatimu bisa bernapas lega, berbagi cerita, dan menemukan kembali arti dari kehadiranmu di dunia ini. Tetapi ingat, Ibu garis bawahi, bercerita dengan orang yang benar-benar bisa menjaga rahasiamu dan bisa memberikan solusi yang positif, bukan malah menjerumuskanmu atau mengajakmu ke hal yang negatif.” ucapku panjang lebar.
“Apakah Dinda mengijinkan, jika sore nanti Ibu bertemu dengan Ibumu? Bukan memperkeruh masalah, tetapi hanya ingin menceritakan perkembanganmu di sekolah sekaligus bisa saling sharing ilmu-ilmu parenting. Barangkali dengan langkah ini hubungan kamu dan ibumu akan membaik dan semakin dekat.”
Ia mengangguk perlahan, meski air matanya masih terus mengalir.
“Menangislah, jika itu bisa meringankan bebanmu dan memberi hatimu ruang untuk bernapas.” kataku sembari terus mengusap kepalanya.
Setelah semua tangis dan cerita itu reda, aku menggenggam tangannya erat. Ia memandangku untuk pertama kalinya. Tatapan yang penuh luka, tapi di balik itu, mulai ada sedikit cahaya.
“Mulai hari ini berjanjilah pada Ibu agar Dinda tidak boleh menyakiti diri sendiri lagi. Apapun permasalahannya jangan sampai ada niat lagi untuk mengakhiri hidupmu. Oke?”
“Iya, Bu.”
“Ya sudah, kamu ke kamar mandi dulu. Bersihkan wajahmu, lalu masuk kelas.”
Setelah tersenyum lembut, Dinda beranjak kembali ke kelas, meneruskan pelajaran yang sempat terhenti.
Hari itu aku mendapat satu pelajaran bahwa menjadi guru bukan sekadar menyampaikan ilmu, tapi juga hadir sebagai sahabat, sebagai pelindung, sebagai tempat pulang ketika hati kecil mereka mencari sandaran.
Dan sebagai orang tua, aku pun disadarkan oleh peristiwa ini—bahwa anak-anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Tapi ketika mereka datang ke dunia, mereka datang membawa harapan. Maka sudah seharusnya kita menyambutnya, tidak hanya dengan tangan yang sibuk, tapi juga dengan hati yang benar-benar hadir, penuh cinta dan pengertian.
Karena diluar sana ada ribuan doa yang melangit agar diberikan keturunan tetapi Allah belum memberikannya. Nah bersyukurlah ketika Allah sudah menitipkan amanah itu, jangan biarkan mereka tumbuh dalam luka. Jagalah dan besarkan amanah itu degan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.
Kreator : Maimunah
Comment Closed: Di Balik Senyuman Adinda
Sorry, comment are closed for this post.