Untuk kesekian kalinya, Caca duduk di ruang tunggu Rumah Sakit bagian fisioterapi. Ia hanya pengantar, bukan pasien. Selain disibukan oleh ponsel, kadang telinganya menyimak pembicaraan pasien di sekeliling. Rata-rata mereka sudah berusia di atas 60 tahun. Karena rutin menemani fisioterapi, Caca hampir hafal kisah masing-masing dari mereka.
Biasanya memang sesama pasien saling bertukar cerita untuk membunuh rasa bosan waktu menunggu. Pak Rozak selalu memberi komentar yang tidak enak terkait pemerintah. Bu Sita yang selalu datang bersama seorang suster tak berhenti membicarakan masa lalunya. Rudy anak muda yang tengah bekerja di Kalimantan terpaksa mengambil cuti untuk melakukan terapi di Jakarta, akibat lehernya terasa kaku.
Karena setiap Senin-Rabu bertemu, Caca pun sedikit bosan jika harus duduk berdampingan dengan mereka. Apalagi jika duduk bersebelahan dengan Bu Maya. Ia seperti tidak peduli bagaimana perasaan lawan bicaranya, tanpa bosan selalu mengulangi cerita tentang masa kejayaan suaminya.
Maka, Caca selalu memilih duduk bersebelahan dengan pasien baru yang biasanya irit bicara karena belum kenal. Pasien baru hari ini adalah seorang Nenek yang sepertinya berusia 80 tahun. Caca tersenyum disambut anggukan formal si Nenek. Dari penampilannya, ia seperti orang berada. Tunik putih berbunga-bunga biru serasi dengan celana dan hijab abu-abunya.
Meski tangannya keriput tetapi kuku tangannya terawat rapi. Aroma parfume tipis singgah ke hidung Caca. Wajahnya bening memancarkan keteduhan. Caca yang tadinya malas mengobrol dengan pasien lain, malah tergoda untuk memulai pembicaraan.
“Sendiri saja Bu?”
Pertanyaan itu langsung direspon dengan anggukan kecil dan senyum tipis di bibir. Caca tak berani mengajukan pertanyaan lain. Keduanya tenggelam dalam kebisuan sambil mendengar celoteh pasien lain yang asik mengobrol.
Microphone kembali berbunyi memanggil nama pasien. Seorang Bapak yang Caca dampingi berdiri. Dengan sigap Caca segera membantunya. Tongkat yang bersandar di dinding diraihnya. Kedua kaki laki-laki itu berjalan seperti pinguin.
“Jangan berjalan seperti itu, Pak. Angkat pelan-pelan kakinya, jangan diseret.” ucap Caca.
Sebentar laki-laki tua itu berusaha mengangkat kakinya untuk berjalan, tetapi terlihat tidak sabar. Separuh perjalanan ke ruang fisioterapi, ia kembali menyeret langkah kakinya.
Tak berapa lama microphone kembali memanggil nama pasien lain. Kali ini Nenek di samping Caca bangkit. Setelah berdiri, ia berdiam agak lama untuk menjaga keseimbangan, mungkin satu menitan, sebelum pelan-pelan melangkahkan kaki kiri perlahan diikuti dengan kaki kanan.
Semua orang mendadak memperhatikan Nenek yang tentunya cantik ketika muda, karena keanggunan masih terpancar hingga usia senjanya.
“Mau saya bantu, Bu?” Caca menawarkan bantuan sambil berdiri dan mengulurkan tangan ke wanita itu.
“Tidak, terima kasih.” jawab si Nenek singkat.
Caca kembali duduk.
“Dari pekan lalu, dia sudah menjadi pasien di sini. Kalau diajak bicara jawabannya satu-satu, seperti tidak ingin bergaul dengan orang lain,” tiba-tiba Bu Maya menyeletuk.
“Mungkin tidak sudi bergaul dengan pasien BPJS seperti kita, hehe.” tambah Bu Sita sambil tersenyum mengejek.
“Halah, sekarang pasien BPJS toh kaya-kaya. Seperti Bu Sita, datang ke rumah sakit diantar supir naik BMW. Bukan seperti saya naik Bajaj Merah warnanya.. hahaha..” tawanya berderai.
Keakraban sesama pasien fisioterapi ini menunjukan seberapa seringnya mereka melakukan terapi. Bahkan kadang selesai satu tahapan terapi, harus mengikuti tahapan selanjutnya.
“Ayahmu berapa kali lagi terapinya, Dik Caca?”
“Kalau tidak salah tujuh kali lagi, Bu.” jawab Caca, berharap Bu Maya tidak melanjutkan bertanya yang tidak-tidak.
Kadang pertanyaan orang tua suka di luar batas, sehingga ia malas menjawabnya. Apalagi sikap Bu Maya yang memang ceriwis.
“Beruntung sekali Ayahmu punya anak yang sabar, mau mengantar setiap kali perlu ke rumah sakit. Orang tua sih tidak perlu apa-apa, paling hanya perlu pendampingan. Diajak ngobrol, diantar ke rumah sakit, begitu saja sudah bahagia.” ucapan Bu Maya disetujui oleh Ibu Sita.
“Untung sekarang ada BPJS, lho. Tidak terbayang kalau berobat tanpa BPJS. Dulu waktu orang tua dan mertua kami sudah sepuh, duh.. duh.. entah berapa ratus juta yang keluar untuk perawatan rumah sakit mereka. Belum lagi biaya suster di rumah, ampun deh!!” Bu Sita menimpali.
Caca hafal, apa pun kalimat Bu Sita, ujungnya pasti akan membanggakan karier suaminya.
“Untung dulu suami saya sudah menjabat komisaris di beberapa perusahaan. Alhamdulillah pensiunan BUMN masih terpakai, jadi mudah saja buat dia membiayai orang tua dan mertua,” ujarnya bersemangat sambil menggoyang-goyangkan kipas elektrik kecil ke wajahnya yang bergincu merah.
“Dapat giliran nomor berapa, Bu Sita?” tanyaku.
“Nanti setelah Ibu tadi keluar, rasanya giliran saya. Ini saya nomor 33,” jawabnya sambil menyodorkan kertas hasil print out mesin pendaftaran di satpam bagian depan rumah sakit.
“Kasihan dari kemarin dia datang sendiri, tidak ada pengantar. Saya lihat kemarin pulang naik bajaj. Duh menawarnya nggak kira-kira,” Bu Maya mulai bergosip.
“Ke mana ya anak-anaknya? Kalau Ayahmu berapa anaknya, Dik Caca?”
“Tiga orang Bu,” jawabku ringkas.
“Dik Caca anak paling kecil ya? Biasanya memang anak paling kecil kebagian antar-mengantar orang tua. Sabar ya Dik, semoga menjadi pembuka pintu surga untukmu.”
Aku tersenyum.
Tiga orang anak laki-laki yang dimiliki oleh Bapak adalah anak-anak tiriku, batinku dalam hati.
“Kakak-kakakmu sudah menikah semua, Dik Caca?” tanya Bu Sita.
“Sudah, Bu. Tidak ada yang tinggal di Indonesia,” jawabku.
Tentu maksud Bu Sita adalah anak-anak Bapak. Si Sulung, Tamtam, sudah menjadi permanent resident di Canberra. Ia di sana bersama istri bulenya dan dua orang anak balita mereka. Putra Bapak yang tengah, Wisnu, bekerja di kapal pesiar dan belum menikah. Yang bungsu, Rio, usianya lebih muda dariku dua tahun menjadi fotografer majalah internasional berdomisili di New York.
“Kau sendiri sudah menikah Dik Caca?” tanya Bu Sita lagi.
“Sudah, Bu.” tentu Bu Sita akan terkejut jika mengetahui laki-laki yang dia anggap ayahku, sebenarnya adalah suamiku.
“Momongannya berapa, Dik Caca?” tanya Bu Sita lagi.
“Tiga orang, Bu.” kataku sambil membatin.
Putra tiriku, mau tak mau, sudah aku anggap sebagai anak sendiri karena mereka begitu baik padaku. Mereka juga yang berinisiatif untuk menjodohkan aku dan Bapak.
Tamtam yang bertanya apakah aku mau menikah dengan Bapak kurang lebih setahun setelah Ibu mereka wafat. Waktu itu usiaku 45 tahun dan Bapak 78 tahun.
“Sudah besar-besar, pastinya.”
“Sudah, Bu.” kataku sambil tersenyum simpul dan berharap dia tidak lanjut bertanya usia berapa anak-anakku dan bersekolah di mana.
“Ibu masih ada, Dik?”
“Bulan depan, sudah tiga tahun Ibu wafat, Bu Sita.” kataku sambil menundukan kepala.
Pikiranku terbang ke masa itu. Dulu, aku adalah perawat Ibu. Dengan tiga orang anak laki-laki yang sibuk meniti karier, Ibu tidak bisa mengharapkan mendapat perhatian seratus persen dari anaknya. Maka, ketiga anak ini menyewa jasaku sebagai perawat yang siaga meladeni keperluan Ibu setelah didiagnosa menderita sakit jantung.
Bapak dan Ibu adalah pasangan suami istri yang dapat menjadi panutan buat anak-anaknya. Meski sudah berusia tua, mereka tidak pernah kehilangan cinta. Bapak selalu menemani Ibu yang hobi berkebun. Dan Ibu sebisa mungkin mengingatkan Mbok Dar untuk menyiapkan keperluan Bapak sehari-hari.
Lima tahun aku menjadi saksi kebahagiaan pasangan ini di usia senja mereka. Sampai suatu ketika Ibu wafat dalam tidurnya, di samping Bapak.
Seluruh keluarga berduka, apalagi Bapak. Beliau kehilangan keceriaannya. Meski ikhlas dengan takdir yang tengah digariskan oleh Sang Pencipta, tampak sekali jika Bapak kehilangan sosok Ibu.
Aku, Mbok Dar, dan Bapak setiap hari melakukan kebiasaan Ibu. Bapak selalu mengingatkan agar rumah selalu bersih, tanaman beserta rumput harus tetap hijau terawat, ikan-ikan peliharaan Ibu tak boleh alpa diberi makan.
Aku diminta keluarga Bapak untuk tidak mengundurkan diri, karena mereka memerlukan jasaku untuk merapikan barang-barang Ibu yang amat banyak. Mulai dari baju, buku, pecah belah, dan lain sebagainya.
Memang aku-lah yang paling paham terkait barang Ibu. Atas kemauan Bapak, sebagian besar di sumbangkan kepada yang memerlukan, sementara beberapa potong pakaian Ibu tetap disimpannya.
Satu tahun setelah Ibu wafat, Bapak terkena stroke ringan, tapi sebelumnya ia mengalami perubahan emosi yang cukup parah. Entah berapa suster laki-laki yang tidak betah merawat Bapak, selalu saja ada salahnya.
Saat itu aku sudah minta izin untuk pulang ke kampung halaman, beristirahat sejenak sebelum melanjutkan lagi bekerja sebagai suster yang merawat orang tua.
Kira-kira setahun aku di Bogor, Tamtam menelpon memintaku untuk kembali bekerja sebagai perawat Bapak. Dengan halus aku tolak tawarannya itu.
Aku tidak bisa menjaga Bapak yang bukan muhrimku.
Tiga hari kemudian, Wisnu dengan jeep-nya menjemput ke Bogor. Aku tak bisa mengelak. Terpaksa siang itu aku kembali ke rumah Bapak di Tebet.
Malam itu setelah makan malam, Tamtam dan Wisnu mengajak bicara. Intinya mereka hanya bisa mempercayakan Bapak kepadaku. Dan jika tidak berkeberatan, mereka akan melamar aku untuk Bapak kepada waliku.
“Dik Caca, maaf ya membuat adik sedih dengan pertanyaan saya,” Bu Sita membuyarkan lamunanku.
“Ah tidak apa, Bu.” kataku tersenyum.
Tiba-tiba terdengar panggilan.
“Pengantar Bapak Abdul Matin, silahkan masuk.”
Aku pun berpamitan dengan Ibu Sita untuk segera menjemput Bapak di dalam kamar terapi.
Ketika kami menikah, Bapak baru terkena stroke ringan, tangan kirinya melemah. Ia masih bisa bicara dalam prosesi akad nikah kami.
Kini, bicaranya mulai terganggu juga gerakan motorik lainnya, seperti berjalan.
Malam itu, dua tahun yang lalu, aku sujud kepada Allah meminta ketetapan hati dalam shalat istikharah untuk menolak atau menerima pinangan Bapak.
Alhamdulillah, sampai saat ini aku masih istiqamah dalam kesabaran menjaga Bapak.
Harapanku hanya satu, kesabaran berbakti kepada suami menjadi pembuka pintu surgaku kelak di akhirat nanti. Insya Allah.
Kreator : Dini Masitah
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Di Ruang Tunggu
Sorry, comment are closed for this post.