Matahari mulai turun, sinarnya kemerahan di ufuk barat. Sebentar lagi malam menjelang. Purnama akan menggantikan perannya untuk menerangi bumi. Rumah-rumah penduduk yang berjejer di tepi pantai perlahan mulai sedikit buram karena senja telah merangkak menjemput malam. Pulau Tiga yang begitu asri memberi suasana hati yang berbeda. Dari kejauhan terdengar suara mesin pompong nelayan yang pulang melaut.
Sudah dua hari Atan di Pulau Tiga. Kesempatan ini digunakannya untuk bertemu sahabat kecilnya bernama Jamal. Jamal adalah anak yatim piatu yang dipelihara Bang Ramlan sejak kecil. Suasana kampung yang lama ditinggalkan begitu nikmat terasa. Mungkin karena Atan sudah lama tinggal di kota.
Tiba-tiba Atan dikejutkan dengan suara orang-orang berlari di atas jembatan pelantar penghubung antara rumah ke rumah. Atan mencoba berdiri menghampiri orang-orang yang berlari itu.
”Ada apa, Pak Cik?” tanya Atan kepada seorang paruh baya yang sedang lewat.
”Bang Ramlan sudah nazak,” jawab orang tersebut.
Atan tahu dari Jamal kalau Bang Ramlan sedang sakit. Sudah seminggu lebih malarianya kambuh. Akan tetapi, karena kampung mereka jauh dari rumah sakit, terpaksa beliau hanya berobat di kampung. Beberapa dukun telah mencoba menolongnya. Sekali-kali memang tampak perubahan. Tapi, beberapa hari kemudian kambuh lagi. Atan segera berlari kecil menuju rumah Bang Ramlan. Didapatinya orang telah berkumpul. Anak-anaknya yang masih kecil bersandar di tubuh kak Damnah, istri Bang Ramlan. Mata Atan mencari seseorang yang selama ini sangat baik dan selalu membantu Bang Ramlan. Ya, Jamal. Dialah yang selalu membantu keluarga Bang Ramlan selama ini, terlebih lagi jika Bang Ramlan sakit seperti saat ini. Kemana perginya Jamal, pikirnya dalam hati. Mengapa dia tidak kelihatan diantara orang-orang yang sedang berkerumun di sekitar Bang Ramlan. Akhirnya Atan mencoba ke belakang. Rupanya Jamal sedang berada di dekat beranda rumah yang menghadap ke laut di samping bendul tempat mengikat tali sampan. Matanya nanar memandang ke arah matahari yang tenggelam dan menyisakan bias sinar temaramnya. Atan mencoba mendekatinya. Jamal beringsut sedikit melihat kedatangan Atan
”Maaf jika aku mengganggu, Mal.” Atan mencoba menyapanya.
”Tak apa-apa, Tan.” jawab Jamal singkat.
”Mengapa kau di sini?” tanya Atan.
”Aku tak bisa melihat Bang Ramlan, Tan.” jawab Jamal.
”Kau harus tabah, Mal.” kata Atan mencoba menenangkan diri Jamal.
”Siapapun akan mengalami hal seperti ini, aku, kau dan semua kita akan melalui jalan ini untuk menghadap yang kuasa.”
Tiba-tiba keluar seseorang separuh baya, seorang perempuan yang sudah cukup mereka kenal. Beliau menghampiri mereka berdua.
“Jamal, kau disuruh masuk sama pak Imam Jasid.”
“Ya, sebentar.” jawab Jamal sambil bangkit dari tempat duduknya.
Atan mengikuti Jamal masuk ke dalam rumah. Orang-orang memberi laluan kepada Jamal menuju tempat pembaringan Bang Ramlan. Atan mengikutinya dari belakang. Jamal mengambil posisi sedikit di atas kepala. Atan mencoba sedikit merapat. Bagaimanapun Bang Ramlan dengannya selama ini cukup akrab. Sehingga Atan ingin sekali melihat kepergiannya untuk terakhir kali.
“Mal….” terdengar suara Bang Ramlan lirih.
”Udah Bang, mengucaplah Bang, Asyhaduallailahailallah….” kata Jamal seakan tak mau mendengar apa yang akan disampaikan Bang Ramlan.
”Jamal,…deng…ar aku, Mal.” Terdengar suara Bang Ramlan terbata-bata.
Dicobanya sekuat tenaga untuk menyampaikan sesuatu kepada Jamal. Damnah, istrinya, semakin sesenggukan tak kuasa menahan air matanya. Jamal berusaha mendekatkan kupingnya. Air matanya tak kuasa lagi dibendungnya. Sekali-sekali kepalanya hanya nampak mengangguk. Kemudian diletakkannya kepala Bang Ramlan perlahan. Kemudian mata Bang Ramlan tertuju pada istrinya. Perlahan tangan kanannya memegang tangan kanan Damnah. Lalu, tangan kirinya menarik tangan kiri Jamal. Kemudian kedua tangan itu disatukannya di atas dadanya. Bang Ramlan terlihat mengatakan sesuatu kepada mereka berdua.
Atan terkesima memandang peristiwa itu. Belum sempat Atan tersadar dari keterpanaan yang sangat mengharukan itu, tiba-tiba terdengar suara tangis memecah keheningan. Suara Damnah terdengar terisak-isak. Bang Ramlan telah pergi meninggalkan mereka semua. Terlihat Jamal mengusap wajah Bang Ramlan. Dua anaknya terlihat juga menangis. Tapi Atan yakin mereka tidak mengerti mengapa harus menangis. Mereka menangis karena melihat ibunya menangis. seperti itulah kondisinya. Matahari pun seakan ikut mengantar kepergian Bang Ramlan.
***
Malam ini, tujuh hari kepergian Bang Ramlan. Atan ikut hadir bersama rombongan jamaah masjid. Setelah selesai do’a yang dipimpin oleh Imam Jasid, tamu-tamu pulang ke rumah masing-masing. Atan masih bertahan, maksudnya untuk menemani Jamal berbincang-bincang. Setelah menggulung tikar, Atan dan Jamal duduk di beranda belakang rumah. Sambil ditemani kopi dan irama kecipak air laut mereka berbincang-bincang tentang kondisi kampung. Sekali-sekali menyinggung juga masalah keluarga yang ditinggalkan Bang Ramlan.
“Sebetulnya ada yang aku nak tanya sama kau Mal,” kata Atan pada Jamal
“Apa tu, Tan?” tanya Jamal.
“Aku tak tahu mengapa Bang Ramlan menyatukan tangan kau dengan Damnah tu saat terakhir kali.” tanya Atan memberanikan diri.
Jamal diam sejenak. Ditatapnya wajah Atan dalam keremangan cahaya lampu petromak dari dalam rumah. Lalu meneguk kopi yang ada di sampingnya.
”Itulah yang membuat aku susah hati, serba salah.” kata Jamal.
”Aku tak sampai hati dengan Bang Ramlan, lebih-lebih Damnah tu. Bang Ramlan sudah aku anggap abang sendiri, dan Damnah sudah seperti kakakku meskipun masih tua aku dua tahun.”
”Maksudnya apa, Mal?” tanya Atan seperti orang bodoh.
”Kau tentu tahu mengapa tangan kami disatukan di atas dada Bang Ramlan.”
”Tak, aku tak tahu maksudnya.”
”Ya, aku lupa kalau kau memang agak bebal sedikit.” seloroh Jamal.
”Tahu kau apa yang diucap Bang Ramlan terakhir kali?”
”Mengucap dua kalimah syahadat.” jawab Atan
”Bukan itu!” kata Jamal sambil menepuk pundak Atan.
”Lalu?”
”Saat tangan kami disatukan di dada beliau.”
”Nah…itu aku nak tau dari kau.”
Jamal kembali diam sejenak.
Atan mencoba memaknai diamnya Jamal sambil meneguk kopi dan mengambil kue agar-agar sisa kenduri.
”Bang Ramlan cuma bilang, kalau beliau ridha……..”
”Ridha apa?” tanya Atan penasaran.
Atan terdiam, mencoba mencernakan kata-kata ridho yang dibilang Jamal. Kata-kata itu memiliki makna yang dalam tapi juga beragam penafsiran. Bisa jadi Bang Ramlan ridho untuk meninggalkan keluarganya. Bisa juga Bang Ramlan Ridho jika Jamal menjadi pengganti… ah tapi tak mungkin. Tapi, mungkin juga ya, karena Jamal adalah orang terdekat Bang Ramlan. Tentu beliau sudah tahu sifat-sifat Jamal dan kasih sayangnya pada anak-anak beliau selama ini.
”Hei, Tan. Mengapa kau terdiam?” Suara Jamal membuyarkan lamunan Atan.
”Tak, aku cuma menyesali tak mendengar kata-kata itu terakhir kali, aku cuma terpana saat Bang Ramlan menarik tangan kalian berdua.”
”Engkau cuma melihat, aku yang dipegang tangannya sempat tercekat napas dari hidung. Untung tak mati. Tapi dah hampir mati juga waktu itu, semangatku seakan lebih dulu dari ruhnya Bang Ramlan.”
”Sampai begitu sekali.”
”Tahu kamu apa yang disampaikan bang Ramlan di telingaku?”
”Manalah aku dengar, telinganya juga telinga kamu.”
”Bang Ramlan meminta aku menjaga anaknya.”
”Ya kan kamu selama ini memang menyayangi anak-anaknya. Wajarlah itu. Aku pikir tidak terlalu berat bagi kamu.”
”Tapi bukan itu yang merungsingkan aku.”
”Apa dia ?” tanya Atan.
“Beliau minta aku menikahi Kak Damnah, istrinya.” kata Jamal sambil berbisik.
“Apa? Kuat sedikitlah.” kata Atan.
“Bang Ramlan…… minta…….aku menikahi Kak Damnah…………pekak!”
“Hah……..betul begitu?!” suara Atan tercekat.
“Ya begitulah.”
“Kak Damnah tahu?”
“Ya tahulah, kan tangan kami berdua yang dipegang Bang Ramlan.”
“Tapi, Bang Ramlan kan berbicara di telinga kamu.”
“Ya, tapi Damnahkan juga sedikit menunduk, dia bukan pekak macam kau.”
“Terus….”
“Apanya?”
“Sikap kamu atas permintaan itu.”
“Ya, ini yang bikin aku bingung.”
“Mengapa mesti bingung?”
“Apa kata orang kampung nantinya. Jangan-jangan aku pula dituduh macam-macam atas kematian Bang Ramlan.”
“Mengarut lah kau ni, Mal. Jangan berpikiran buruk dulu. Kita bisa jelaskan dengan orang kampung akan permintaan Bang Ramlan pada mu.”
“Itu kata kau, cakap senanglah. Tapi aku yang memikulnya ini yang berat.”
“Apanya yang berat? Tinggal bilang sama Datuk Penghulu …. Selesailah.”
“Aku mau kasih mereka makan apa?”
“Jamal, rezeki dari Tuhan, semua makhluk sudah ada ketetapannya. Mengapa harus takut?”
“Aku takut karena aku belum pernah berkeluarga.”
Atan terdiam sejenak, mencoba mencerna alasan Jamal. Tapi, bagaimana dia akan menasehatinya. Dia sendiri juga belum mampu berbuat banyak untuk keluarganya.
“Jamal, aku rasa baiknya kau bicarakan dengan kak Damnah.”
“Aku pikir begitu juga. Nanti akan ku bicarakan setelah empat puluh hari.”
“Bagus begitu, sekarang aku pulang dulu, ya.”
Jamal mengantar Atan sampai di ujung pelantar rumah. Sekali lagi pandangan Atan arahkan ke rumah yang sederhana itu. Damnah terlihat sibuk mengemasi piring yang dipakai kenduri. Kedua anaknya nampak telah tertidur pulas di ruang tengah. Wajah Damnah masih nampak sendu atas kepergian suaminya tercinta. Semoga Jamal mampu menghapus kesedihan itu.
******
bendul = kayu tangga yang menonjol ke atas.
pekak = tuli
Kreator : Syafaruddin
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Dua Dunia Atan part 11
Sorry, comment are closed for this post.