KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Filosofi “Digugu lan Ditiru” dalam Pembelajaran Era Digital

    Filosofi “Digugu lan Ditiru” dalam Pembelajaran Era Digital

    BY 06 Okt 2024 Dilihat: 267 kali
    Filosofi Digugu lan Ditiru dalam Pembelajaran Era Digital_alineaku

    Dalam kebudayaan Jawa, istilah “guru” bukan sekadar menunjuk pada profesi pengajar, melainkan mengandung makna yang lebih mendalam. Filosofi “Guru : digugu lan ditiru” menggambarkan betapa pentingnya seorang guru sebagai sosok yang tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga menjadi figur yang dihormati dan diikuti. “Digugu” berarti setiap perkataan dan perbuatan seorang guru harus bisa dipertanggungjawabkan, sementara “ditiru” menegaskan bahwa sikap dan perilakunya harus menjadi teladan yang layak untuk diikuti oleh siswa.

    Di era digital, dengan hadirnya Generasi Z (Gen Z) sebagai penerima pendidikan utama, filosofi ini menghadapi tantangan baru. Generasi Z, yang lahir di tengah revolusi teknologi, memiliki karakteristik yang unik dalam hal akses informasi dan cara belajar. Oleh karena itu, seorang guru di era ini perlu memahami pergeseran pola perilaku siswa untuk tetap menjalankan filosofi digugu lan ditiru secara relevan dan efektif.

    Dalam konteks tradisional, “digugu” mengandung makna bahwa seorang guru diharapkan menjadi sumber informasi dan kebijaksanaan yang terpercaya. Segala yang disampaikan oleh guru diyakini benar dan dapat dijadikan panduan bagi murid-muridnya. Di era digital, makna ini tetap penting namun harus diperkuat dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi yang sangat cepat.

    Generasi Z, yang sering dijuluki sebagai “digital natives”, terbiasa dengan akses informasi yang tak terbatas melalui internet. Siswa bisa mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber, seringkali lebih cepat daripada yang disampaikan oleh guru di kelas. Ini menuntut guru untuk terus memperbaharui pengetahuannya dan menyampaikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akurat dan relevan. Guru di era digital tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, tetapi mereka harus mampu menjadi filter yang membedakan mana informasi yang valid dan mana yang tidak.

    Selain itu, guru perlu memahami bahwa Generasi Z cenderung lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima. Mereka tidak hanya menerima apa yang diajarkan, tetapi akan memeriksanya, membandingkannya dengan sumber lain, dan mempertanyakan kredibilitasnya. Oleh karena itu, kepercayaan dalam filosofi “digugu” perlu didukung oleh pendekatan yang transparan, inklusif, dan dialogis. Guru perlu memfasilitasi diskusi kritis dan mendorong siswa untuk berpikir secara mendalam, tidak sekadar menghafal fakta.

    Sementara “digugu” berkaitan dengan kepercayaan terhadap informasi yang disampaikan, “ditiru” lebih menekankan pada pentingnya guru sebagai teladan. Di dunia yang semakin terhubung secara digital, siswa Gen Z terpapar pada berbagai figur publik, konten media sosial, dan gaya hidup yang bervariasi. Ini membuat peran guru sebagai teladan semakin penting dalam membentuk karakter moral dan etika siswa.

    Sebagai figur yang “ditiru”, guru harus menunjukkan perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai yang diajarkan, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam lingkungan digital. Di era media sosial, di mana setiap tindakan dapat dipublikasikan dan disaksikan oleh banyak orang, guru perlu berhati-hati dalam meninggalkan jejak digital mereka. Tindakan atau komentar yang tidak pantas di media sosial, misalnya, dapat dengan cepat merusak citra mereka di mata siswa dan menurunkan kredibilitas sebagai teladan.

    Namun, menjadi teladan tidak hanya terbatas pada perilaku di dunia nyata. Guru juga dapat memberikan contoh bagaimana menggunakan teknologi dengan bijak, menjaga etika digital, dan menunjukkan bagaimana menghadapi dinamika sosial online yang kompleks. Dengan semakin maraknya isu seperti cyberbullying, hoaks, dan privasi digital, guru harus menjadi panutan dalam hal literasi digital dan tanggung jawab sosial di dunia maya.

    Penerapan filosofi “digugu lan ditiru” di era digital menghadirkan sejumlah tantangan baru bagi guru, khususnya dalam menghadapi Generasi Z yang cenderung mandiri dalam mencari informasi dan belajar. Namun, di balik tantangan ini juga terdapat berbagai peluang untuk memperkuat hubungan antara guru dan siswa.

    Tantangan utama terletak pada bagaimana guru bisa tetap relevan di tengah banjir informasi yang diakses siswa dari berbagai platform digital. Guru harus mampu bersaing dengan konten-konten lain yang mungkin lebih menarik secara visual atau lebih cepat diakses. Di sinilah pentingnya inovasi dalam metode pengajaran. Guru perlu memanfaatkan teknologi untuk menyajikan materi pembelajaran yang interaktif dan menarik, misalnya melalui video pembelajaran, aplikasi edukatif, atau platform e-learning yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan belajar Gen Z.

    Di sisi lain, tantangan juga muncul dalam hal membangun teladan moral. Di dunia yang semakin terhubung secara digital, siswa tidak hanya belajar dari apa yang mereka dapatkan di sekolah, tetapi juga dari berbagai pengaruh di luar sana, baik yang positif maupun negatif. Guru perlu secara aktif terlibat dalam proses pembentukan karakter siswa, dengan memberikan contoh nyata tentang bagaimana bersikap jujur, berempati, dan bertanggung jawab, baik dalam dunia nyata maupun dunia digital.

    Untuk menjalankan filosofi “digugu lan ditiru” secara efektif di era digital, guru perlu mengembangkan beberapa kemampuan khusus:

    1. Menguasai Teknologi Digital: Guru harus familiar dengan teknologi yang digunakan oleh siswa. Ini tidak berarti guru harus menjadi ahli teknologi, tetapi setidaknya mereka perlu memahami bagaimana teknologi tersebut mempengaruhi cara belajar siswa. Dengan begitu, guru dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkuat pembelajaran.
    2. Menjadi Fasilitator Pembelajaran Mandiri: Guru di era digital bukan lagi satu-satunya sumber informasi. Sebaliknya, mereka harus menjadi fasilitator yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan mencari informasi secara mandiri. Guru yang “digugu” bukanlah guru yang selalu memberikan jawaban, tetapi guru yang mendorong siswa untuk menemukan jawabannya sendiri.
    3. Menjadi Panutan dalam Penggunaan Media Sosial: Di era digital, siswa sering kali meniru perilaku yang mereka lihat di media sosial. Guru dapat menjadi contoh bagaimana menggunakan media sosial secara bertanggung jawab dan positif, dengan menunjukkan etika yang baik dalam komunikasi online dan penggunaan teknologi.
    4. Mengembangkan Literasi Digital: Guru perlu mengajarkan kepada siswa bagaimana memfilter informasi, mengenali hoaks, dan menggunakan internet secara etis. Dengan demikian, mereka membantu siswa menjadi pengguna teknologi yang cerdas dan bertanggung jawab.

    Filosofi “digugu lan ditiru” tetap memiliki relevansi yang kuat dalam konteks pendidikan di era digital, meskipun peran guru dan tantangan yang mereka hadapi telah berubah. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan pola belajar Generasi Z yang mandiri, guru harus mampu menyeimbangkan antara menjadi sumber pengetahuan yang bisa dipercaya (digugu) dan teladan yang layak ditiru (ditiru) dalam kehidupan siswa, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

    Dengan adaptasi yang tepat, guru tetap dapat memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan kecerdasan digital siswa di era modern, memastikan bahwa nilai-nilai positif terus terjaga dan berkembang di tengah tantangan dunia digital.

     

     

    Kreator : Siti Murdiyati, M.Pd

    Bagikan ke

    Comment Closed: Filosofi “Digugu lan Ditiru” dalam Pembelajaran Era Digital

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021