Dalam kebudayaan Jawa, istilah “guru” bukan sekadar menunjuk pada profesi pengajar, melainkan mengandung makna yang lebih mendalam. Filosofi “Guru : digugu lan ditiru” menggambarkan betapa pentingnya seorang guru sebagai sosok yang tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga menjadi figur yang dihormati dan diikuti. “Digugu” berarti setiap perkataan dan perbuatan seorang guru harus bisa dipertanggungjawabkan, sementara “ditiru” menegaskan bahwa sikap dan perilakunya harus menjadi teladan yang layak untuk diikuti oleh siswa.
Di era digital, dengan hadirnya Generasi Z (Gen Z) sebagai penerima pendidikan utama, filosofi ini menghadapi tantangan baru. Generasi Z, yang lahir di tengah revolusi teknologi, memiliki karakteristik yang unik dalam hal akses informasi dan cara belajar. Oleh karena itu, seorang guru di era ini perlu memahami pergeseran pola perilaku siswa untuk tetap menjalankan filosofi digugu lan ditiru secara relevan dan efektif.
Dalam konteks tradisional, “digugu” mengandung makna bahwa seorang guru diharapkan menjadi sumber informasi dan kebijaksanaan yang terpercaya. Segala yang disampaikan oleh guru diyakini benar dan dapat dijadikan panduan bagi murid-muridnya. Di era digital, makna ini tetap penting namun harus diperkuat dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi yang sangat cepat.
Generasi Z, yang sering dijuluki sebagai “digital natives”, terbiasa dengan akses informasi yang tak terbatas melalui internet. Siswa bisa mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber, seringkali lebih cepat daripada yang disampaikan oleh guru di kelas. Ini menuntut guru untuk terus memperbaharui pengetahuannya dan menyampaikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akurat dan relevan. Guru di era digital tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, tetapi mereka harus mampu menjadi filter yang membedakan mana informasi yang valid dan mana yang tidak.
Selain itu, guru perlu memahami bahwa Generasi Z cenderung lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima. Mereka tidak hanya menerima apa yang diajarkan, tetapi akan memeriksanya, membandingkannya dengan sumber lain, dan mempertanyakan kredibilitasnya. Oleh karena itu, kepercayaan dalam filosofi “digugu” perlu didukung oleh pendekatan yang transparan, inklusif, dan dialogis. Guru perlu memfasilitasi diskusi kritis dan mendorong siswa untuk berpikir secara mendalam, tidak sekadar menghafal fakta.
Sementara “digugu” berkaitan dengan kepercayaan terhadap informasi yang disampaikan, “ditiru” lebih menekankan pada pentingnya guru sebagai teladan. Di dunia yang semakin terhubung secara digital, siswa Gen Z terpapar pada berbagai figur publik, konten media sosial, dan gaya hidup yang bervariasi. Ini membuat peran guru sebagai teladan semakin penting dalam membentuk karakter moral dan etika siswa.
Sebagai figur yang “ditiru”, guru harus menunjukkan perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai yang diajarkan, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam lingkungan digital. Di era media sosial, di mana setiap tindakan dapat dipublikasikan dan disaksikan oleh banyak orang, guru perlu berhati-hati dalam meninggalkan jejak digital mereka. Tindakan atau komentar yang tidak pantas di media sosial, misalnya, dapat dengan cepat merusak citra mereka di mata siswa dan menurunkan kredibilitas sebagai teladan.
Namun, menjadi teladan tidak hanya terbatas pada perilaku di dunia nyata. Guru juga dapat memberikan contoh bagaimana menggunakan teknologi dengan bijak, menjaga etika digital, dan menunjukkan bagaimana menghadapi dinamika sosial online yang kompleks. Dengan semakin maraknya isu seperti cyberbullying, hoaks, dan privasi digital, guru harus menjadi panutan dalam hal literasi digital dan tanggung jawab sosial di dunia maya.
Penerapan filosofi “digugu lan ditiru” di era digital menghadirkan sejumlah tantangan baru bagi guru, khususnya dalam menghadapi Generasi Z yang cenderung mandiri dalam mencari informasi dan belajar. Namun, di balik tantangan ini juga terdapat berbagai peluang untuk memperkuat hubungan antara guru dan siswa.
Tantangan utama terletak pada bagaimana guru bisa tetap relevan di tengah banjir informasi yang diakses siswa dari berbagai platform digital. Guru harus mampu bersaing dengan konten-konten lain yang mungkin lebih menarik secara visual atau lebih cepat diakses. Di sinilah pentingnya inovasi dalam metode pengajaran. Guru perlu memanfaatkan teknologi untuk menyajikan materi pembelajaran yang interaktif dan menarik, misalnya melalui video pembelajaran, aplikasi edukatif, atau platform e-learning yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan belajar Gen Z.
Di sisi lain, tantangan juga muncul dalam hal membangun teladan moral. Di dunia yang semakin terhubung secara digital, siswa tidak hanya belajar dari apa yang mereka dapatkan di sekolah, tetapi juga dari berbagai pengaruh di luar sana, baik yang positif maupun negatif. Guru perlu secara aktif terlibat dalam proses pembentukan karakter siswa, dengan memberikan contoh nyata tentang bagaimana bersikap jujur, berempati, dan bertanggung jawab, baik dalam dunia nyata maupun dunia digital.
Untuk menjalankan filosofi “digugu lan ditiru” secara efektif di era digital, guru perlu mengembangkan beberapa kemampuan khusus:
- Menguasai Teknologi Digital: Guru harus familiar dengan teknologi yang digunakan oleh siswa. Ini tidak berarti guru harus menjadi ahli teknologi, tetapi setidaknya mereka perlu memahami bagaimana teknologi tersebut mempengaruhi cara belajar siswa. Dengan begitu, guru dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkuat pembelajaran.
- Menjadi Fasilitator Pembelajaran Mandiri: Guru di era digital bukan lagi satu-satunya sumber informasi. Sebaliknya, mereka harus menjadi fasilitator yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan mencari informasi secara mandiri. Guru yang “digugu” bukanlah guru yang selalu memberikan jawaban, tetapi guru yang mendorong siswa untuk menemukan jawabannya sendiri.
- Menjadi Panutan dalam Penggunaan Media Sosial: Di era digital, siswa sering kali meniru perilaku yang mereka lihat di media sosial. Guru dapat menjadi contoh bagaimana menggunakan media sosial secara bertanggung jawab dan positif, dengan menunjukkan etika yang baik dalam komunikasi online dan penggunaan teknologi.
- Mengembangkan Literasi Digital: Guru perlu mengajarkan kepada siswa bagaimana memfilter informasi, mengenali hoaks, dan menggunakan internet secara etis. Dengan demikian, mereka membantu siswa menjadi pengguna teknologi yang cerdas dan bertanggung jawab.
Filosofi “digugu lan ditiru” tetap memiliki relevansi yang kuat dalam konteks pendidikan di era digital, meskipun peran guru dan tantangan yang mereka hadapi telah berubah. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan pola belajar Generasi Z yang mandiri, guru harus mampu menyeimbangkan antara menjadi sumber pengetahuan yang bisa dipercaya (digugu) dan teladan yang layak ditiru (ditiru) dalam kehidupan siswa, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Dengan adaptasi yang tepat, guru tetap dapat memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan kecerdasan digital siswa di era modern, memastikan bahwa nilai-nilai positif terus terjaga dan berkembang di tengah tantangan dunia digital.
Kreator : Siti Murdiyati, M.Pd
Comment Closed: Filosofi “Digugu lan Ditiru” dalam Pembelajaran Era Digital
Sorry, comment are closed for this post.