Jalan Mampang itu sejak lama sudah sering dilewati orang-orang, terutama yang tempat tinggalnya di sekitar situ, dilewati dengan sepeda motor, becak ataupun berjalan kaki. Jalan itu semacam gang selebar lebih kurang dua meter yang berada di antara sekolah Tsanawiyah dengan sekolah TK yang berada dalam satu yayasan yaitu Yayasan Badar. Terdapat juga rumah di dekatnya, yaitu rumah Pak Ladi yang merupakan menantu Pak Haji Ruji. Masuk ke dalam gang Mampang itu ada sekitar lima rumah warga, yang hanya bisa dilewati keluar masuk sepeda motor dan becak melalui gang itu. Namun, suatu masa kemudian, Pak Haji Ruji merehab rumah anaknya, yaitu istri Pak Ladi. Bangunannya diperbesar sehingga hampir menutupi gang tersebut. Cuma tinggal setengah meter lebar gang itu yang tersisa, sehingga orang-orang tidak bisa lagi lewat dengan sepeda motor, karena gang menjadi sempit. Sebenarnya Pak Haji Ruji termasuk tokoh masyarakat di daerah itu, sering menyampaikan pidato dalam berbagai acara. Dia pemilik Yayasan Badar dan termasuk orang yang berada.
Beberapa warga memberanikan diri untuk menyampaikan dan memohon supaya gang itu tetap bisa dilewati oleh orang-orang.
“Pak Haji, dari mana lah kami nanti lewat kalo ini mau di bangun tembok teras rumah?“ Pak Indra bertanya menggugah.
“Gang ini kan tanah punya Yayasan. Jadi, ada hak kami untuk menggunakannya.” Jawab Pak Ruji.
Suatu waktu, ada juga yang menyampaikan aspirasinya kepada Pak Ladi.
“Pak, kayak mana nanti kami lewat? Tolong lah kami, Pak.”
Namun, Pak Ladi hanya mengatakan, “Itu Pak Haji Ruji yang punya rencana. Awak nggak tau apa-apa, nggak berani mau berbuat.”
Alhasil, Pak Indra dan warga yang lain pun hanya bisa terdiam, tidak bisa berkata apa-apa lagi di depan Pak Ruji. Tapi, di belakang mereka saling berbisik dan berkomentar menggerutu kecewa melihat tindakan Pak Ruji yang tega hampir menutup gang itu.
“Padahal masih banyak lagi tanah Pak Ruji. Uangnya pun bertumpuk. Tapi, kenapa lah mesti di gang ini dia membangun. Harusnya kan bisa menjadi amal jariyahnya itu.” Gerutu salah satu warga. Tentu saja tanpa sepengetahuan Pak Ruji dan keluarganya.
Bahkan, Kepala Desa bersama kepala Dusun juga sempat turun lapangan meninjau tempat rumah yang hendak di rehab di Gang Mampang itu. Namun, tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya, rumah pun telah selesai di rehab, dinding teras pun telah selesai dibangun dan orang-orang pun tidak bisa lagi melewati gang itu dengan mengendarai sepeda motor. Maka, warga pun mencari jalan alternatif lain untuk bisa lewat. Setelah berusaha beberapa bulan, alhamdulillah akhirnya ada jalan lain yang bisa di buka untuk menuju tempat tinggal warga tadi.
Waktu pun berlalu, satu dua tahun kemudian Pak Haji Ruji pun terserang sakit jantung. Ditambah lagi sakit pernafasan, membuatnya sering berobat, bolak balik masuk rumah sakit. Berjalan dua tahun sakit-sakitan, akhirnya Pak Haji Ruji pun meninggal. Banyak orang yang berdatangan, berduyun-duyun ada yang silih berganti untuk melayat. Apalagi Bapak itu orang terkenal, banyak sanak keluarganya baik di desa itu maupun di kampung yang lain.
Setelah jenazah selesai disholatkan dan kata-kata takziah yang lumayan lama telah disampaikan, jenazah pun siap dikuburkan. Namun, ada sesuatu yang terjadi diluar dugaan, yaitu tempat kuburannya belum selesai digali. Alasannya, kata penggali kubur, tanah yang digali banyak sekali batunya, mulai pagi digali tapi belum selesai juga. Batu-batu bulat yang berukuran sedang dan besar seperti bola kaki, bahkan ada yang lebih besar lagi. Sehingga, penggali kubur merasa kesulitan dan jadi lama. Mereka merasakan badannya capek luar biasa.
“Baru kali ini kami menggali kuburan yang kayak gini, banyak kali batunya.” Kata salah satu penggali di sana.
“Betul. Belum pernah kami mengalami hal seperti ini.” Sambung penggali yang lain.
Keluarga yang mendengar penuturan itu pun terdiam, tidak bisa bilang apa-apa. Akhirnya, para pelayat pun menunggu penggalian selesai, walaupun banyak juga yang pulang, tidak sabar dan tidak bisa menunggu karena ada keperluan yang lain. Sekitar dua jam kemudian akhirnya kuburan pun selesai digali.
Kemudian, jenazah pun digotong ke pekuburan, namun apa yang terjadi ketika dimasukkan ke dalam liang lahat, kuburnya tidak muat. Sehingga mesti digali lagi, ditambah lebih panjang. Dan orang-orang pun terpaksa menunggu lagi. Sekitar setengah jam lebih baru lah selesai ditambah panjang galiannya, kemudian jenazah pun dikubur.
Tidak bisa dipungkiri, peristiwa yang terjadi pada saat itu akhirnya menjadi perbincangan orang-orang.
“Kenapa kok kayak gitu? Lama kali waktu mau dikuburkan tadi ya.” Tanya salah satu pelayat sambil bermimik tersenyum menggerutu.
“Ya itulah, semua itu tergantung waktu kita masih hidup di dunia. Kalau kita memudahkan orang, pasti kita akan dimudahkan. Tapi, kalo kita buat orang kesulitan, ya itulah jadinya, kita pun disulitkan.” Cetus kawannya gamblang dengan logat daerah Asahan.
Gang yang dulunya bisa dilewati orang, sekarang jadi sempit tidak bisa lagi dilewati. Tapi, setelah mati jadinya seperti menghimpit di kubur.
Dunia hanyalah sementara, semuanya bakal ditinggal. Harta benda, tanah, ladang, rumah, kehormatan, semuanya akan ditinggal. Jangan sombong dengan jabatan dan kedudukan yang dimiliki. Jangan terbujuk dengan nafsu serakah yang tidak pernah puas. Memberikan tanah untuk dijadikan jalan merupakan amal jariyah yang akan mengalir terus pahalanya dan menolong di alam kubur.
Kreator : Faisal Hadinata Pjt
Comment Closed: Gang Sempit Menghimpit
Sorry, comment are closed for this post.