Tara duduk termenung di pinggir danau yang tidak jauh dari asramanya. Di tatapnya bunga teratai yang berjajar cantik di pinggiran danau tersebut. Namun warna teratai yang indah itu tidak juga menghiburnya. Hatinya galau, pikirannya kacau. Rasa kesal terhadap pembimbing asrama yang tidak mengizinkannya pulang ke rumah dilampiaskannya dengan melemparkan serpihan-serpihan kayu ke dalam danau tersebut.
Tara sangat suntuk di asrama. Hafalan Qur’annya tidak lancar-lancar. Bahkan sudah hampir tiga pekan jumlah hafalannya tidak bergeser dari angka 25 juz. Dia ingin pulang sekedar untuk refreshing tapi ibu pembimbing tidak memberikan izin. Memang tidak ada alasan yang kuat bagi pembimbingnya untuk memberi izin. Sarah sehat dan orang tuanya di rumah pun sehat. Pun tidak ada urusan penting yang mengharuskannya pulang. Bahkan ketika ingin bertemu ibunya dia cukup minta izin kepada pengasuh dan mendatangi ibunya yang mengajar di madrasah yang tidak jauh dari asramanya.
Tanpa disadari sesosok tubuh tinggi kurus memerhatikannya dari kejauhan. Yah, dia Rara adiknya yang sejak tadi berkeliling mencarinya. Mereka memang tinggal di asrama yang sama dan belajar di madrasah yang sama. Bedanya dia sudah kelas tiga tingkat ulya dan adiknya baru kelas satu. Tara sedikit kaget ketika sang adik tiba-tiba saja sudah berdiri disampingnya sambil mengomel.
“Ngapain kakak di sini!” seru Rara.
Tara bergeming. Dibiarkannya sang adik protes karena lelah mencarinya.
“Ayo dong kak balik ke asrama, dah hampir maghrib!” Ajak Rara dengan nada yang sudah bercampur tangisan.
Iba melihat adiknya yang manja itu, Tara bangkit dan berjalan menuju asrama. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya hatta ketika satu persatu temannya yang berpapasan menyapanya.
Mereka pun seolah sudah maklum dengan kebiasaan gadis manis itu kalau lagi suntuk. Sangat sulit mengorek informasi darinya. Salah-salah bisa kena semprot dan amukan darinya. Yah, itulah Tara gadis berkulit kuning langsat yang sebentar lagi menuntaskan sekolah tingkat menengah atasnya tapi sifat kekanak-kanakan nya kadang kala masih muncul.
“Ibu, kak Tara sudah beberapa hari tidak mau sekolah, tidak mau ikut kegiatan.” Lapor Rara kepada ibunya ketika bertemu di lapangan sehabis kegiatan upacara hari Senin.
“Ada apalagi dengan kakaknya?”
“Tidak tahu tuh, sudah beberapa hari uring-uringan terus.”
“Memang sebelumnya dia ada masalah apa?”
“Dia sering mengeluh, katanya hafalannya tidak lancar-lancar.”
“Yah sudah, nanti kalau bertemu suruh temui ibu di kantor.”
Beberapa hari berselang, Tara kemudian menemui ibunya di kantor guru. Gundah di hatinya belum juga sirna. Dorongan untuk pulang masih terus menggodanya. Maka sudah bisa ditebak jika kalimat-kalimat yang terucap pun berupa bujukan kepada ibunya agar mau memintakan izin kepada ibu pembimbing asrama.
“Tolong ya Bu izinkan sehari saja,” bujuknya kepada sang ibu yang mulai terusik dengan sikap anaknya tersebut.
“Kan tadi ibu sudah bilang tidak ada izin pulang. Sudah! selesaikan dulu targetnya.”
“Plis Bu izinkan sehari saja!”
“Nak, cobalah untuk faham, kalau kakak izin terus, nanti apa kata santri yang lain, kok anak guru seenaknya minta izin pulang.”
“Kata siapa Tara sering pulang, mana pernah ustadzah mau izinkan. Coba kalau yang lain mudah betul diberi izin.”
“Eh tidak boleh bilang begitu. Kalau temannya dapat izin, itu karena memang ada alasan yang mengharuskan dia pulang. Mungkin dia sakit atau orang tuanya yang sakit, makanya dia pulang untuk membantu ibunya.” Jelas ibunya panjang lebar.
“Sudahlah nak, sana balik ke asrama, dan besok sudah masuk sekolah. Kakak sudah kelas tiga loh.”
“Ibu pasti begitu,” gerutu Tara sambil berlalu.
Dalam hatinya percuma membujuk ibunya untuk memintakan izin. Pasti hasilnya dia yang diceramahi. Maka dengan kesal bercampur kecewa diapun beranjak dari depan ibunya dan kembali ke asrama. Kembali berjuang menjalani harinya. Hingga tanpa terasa masa-masa ujian dan ikhtibar hafalan pun berlalu. Yah, dia belum mampu menuntaskan hafalan 30 juz nya. Akan tetapi semangatnya untuk tetap berjuang telah kembali muncul.
“Kata adek kakak tidak pulang di jadwal pulang santri nanti. Benarkah?” Tanya ibunya setelah selesai memberikan pengarahan kepada para alumni yang sebentar lagi akan pulang berlibur bersama santri lainnya.
“Tara mau ikut program hafalan bersama kakak mahasiswi Bu.” jawabnya dengan sedikit ragu.
“Serius?” Kejar ibunya nampak tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Iya, waktu itu Tara dan teman-teman jalan-jalan ke kampus kakak-kakak dan kebetulan bertemu ustadzah penanggung jawab program. Kita semua dites dan lolos. Jadi katanya bisa ikut daurah.”
“Memangnya kakak ke sana ada yang mau ikut tes?”
” Tidak bu, kami cuma jalan-jalan saja “
“Tapi Bu …,” suaranya terhenti karena ragu apa ibunya akan membolehkan atau tidak.
“Tapi kenapa nak?”
“Biayanya besar, 1.500.000.”
“Ya, tidak pa apa. Yang penting kakak serius, bukan
karena ikut-ikutan sama temannya.”
“Tara serius Bu. Tara ingin menuntaskan hafalan Tara yang kurang 5 juz.”
“Tara juga ingin persembahkan mahkota untuk ibu.” jawabnya sambil berkaca.
Ibunya tidak mampu menahan haru. Diraihnya bahu anaknya dan ibu anak itupun larut dalam suasana penuh haru.
Comment Closed: Ibu, Kuingin Persembahkan Mahkota Untukmu
Sorry, comment are closed for this post.