Terkenal, sudah menjadi impian hampir sebagian besar orang. Setiap orang ingin dikenal oleh masyarakat. Seperti artis, dimana-mana disanjung, selalu menjadi pusat perhatian, banyak fans, bahkan tingkah laku serta penampilannya terkesan ditiru karena menjadi teladan bagi yang mengidolakannya.
Istilahnya trendsetter, yaitu orang yang berada paling depan atau paling awal menerapkan trend baru yang muncul. Menjadi suatu kebahagiaan tersendiri jika gaya berbicara, fashion, konten, dan lain sebagainya dilihat dan dikagumi orang banyak. Terlebih dicontoh atau ditiru oleh mereka yang mengaku sebagai penggemar.
Kalau dulu istilahnya artis. Mereka meniti karir dengan bekerja keras dari bawah. Menunjukkan bakat dan keahlian yang dimiliki. Dilihat atau ditemukan oleh pencari bakat. Kalau cocok dengan yang diinginkan oleh pencari bakat, selanjutnya dikontrak untuk bernyanyi atau bermain peran sesuai bidangnya masing-masing.
Kalau sudah tampil di televisi, jadilah ia artis terkenal. Dikenal di mana-mana. Tinggal menjaga konsistensi agar karir bertahan lama.
Itu dulu. Kini ada sedikit pergeseran nilai dan metode untuk menjadi terkenal. Kalau dulu ada istilah artis, kini yang diikuti namanya influencer. Dulu media yang digunakan untuk menjadi terkenal televisi, kini bisa melalui gadget. Dulu pengagumnya adalah pemirsa televisi, kini para netizen di media sosial.
Caranya pun relatif lebih mudah. Asalkan kita punya bakat yang bisa ditonjolkan, kita bisa share konten tentang diri kita hanya dengan ponsel di tangan. Bisa berupa foto maupun video singkat. Mudah bukan?
Bahkan saking mudahnya, banyak bermunculan ‘artis baru’. Cukup dengan membuat konten seadanya. Asalkan punya sedikit bakat, dipoles oleh keahlian editing foto atau video, konten yang dikirim ke media sosial akan viral dalam waktu singkat.
Semakin banyak follower atau teman di media sosial, semakin banyak pula yang melihat penampilannya. Peran produser sebagai penilai bakat tergantikan oleh penilaian netizen dengan like and coment yang diberikan. Hanya dalam hitungan jam, jika konten yang dikirim bagus ia pun akan semakin cepat terkenal.
Ruang lingkup ketenarannya pun bisa diatur. Mau terkenal hanya di kelas, sekolah, keluarga besar, lingkungan sekitar, komunitas tertentu, atau bahkan me-nasional hingga mancanegara. Semua itu bisa dilakukan, asalkan konten yang dibuat sesuai dengan target pasar yang diinginkan.
Tapi tidak semua konten di media sosial baik untuk dilihat. Banyak juga aksi-aksi negatif bertebaran. Misalnya, mudah sekali menemukan konten berbau kekerasan (baik kekerasan verbal maupun fisik) di dunia maya. Ada juga aksi nekat yang bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti berkendara yang tidak sesuai rambu-rambu lalu lintas, balap liar, tawuran antarwarga maupun antarsekolah yang sengaja direkam untuk dibagikan ke media sosial.
Tidak jarang pula kita disuguhkan tontonan yang tidak pantas, terlebih bila disaksikan oleh anak di bawah umur seperti aksi/kata yang tidak sopan, pergaulan bebas, hingga pornografi dan pornoaksi. Semua itu dilakukan demi meraih kepopuleran secara instan. Nilai-nilai kesopanan yang sudah menjadi warisan nenek moyang pun terabaikan.
Bebasnya penggunaan media sosial dan kurangnya kontrol dari pihak-pihak terkait menjadi pemicu berbagai penyimpangan sosial di dunia maya. Ditambah lagi dengan mindset yang keliru tentang jalan pintas meraih popularitas, menambah maraknya konten yang jauh dari asas manfaat.
Berbagai aplikasi yang tersedia juga seakan memberi kelonggaran terhadap konten-konten yang tidak mendidik tersebut. Dengan motif ekonomi, sulit menghentikan laju kreativitas penyedia layanan. Ujung-ujungnya konten kreator dan netizen juga yang disalahkan. Alasannya apalagi kalau bukan penyalahgunaan aplikasi.
Ibarat kendaraan yang diciptakan untuk mempermudah aktivitas masyarakat, demikian juga dengan beragam aplikasi media sosial. Awalnya dia diciptakan untuk mempermudah masyarakat dalam bersosialisasi. Menambah wawasan serta informasi. Hingga menambah pundi-pundi.
Tapi demi mewujudkan itu semua, jalan instan pun terpaksa dilakukan meski harus menerobos norma kesopanan. Siapa yang diuntungkan? Yang diuntungkan hanyalah segelintir orang; penyedia layanan, operator aplikasi, dan juga influencer sebagai pemilik akun atau pembuat konten.
Yang menjadi korban jauh lebih banyak, yaitu para netizen yang menyaksikan konten-konten negatif tersebut. Jika tidak bijak dalam bersosial media, hubungan antara suami dengan istri tidak lagi harmonis. Hubungan orang tua dengan anak juga menjauh karena satu sama lain lebih dekat dengan ponsel di tangan masing-masing. Siswa juga tidak lagi menaruh hormat kepada guru.
Yang paling dikhawatirkan adalah pengaruh konten negatif pada anak. Anak di bawah umur yang kepribadiannya masih labil, cenderung meng’iya’kan segala sesuatu yang dilihatnya pada layar ponsel. Tanpa bimbingan orang tua, mereka masih sulit membedakan konten positif dan negatif. Justru yang terjadi adalah mereka banyak meniru aksi-aksi nyeleneh yang mereka lihat di media sosial. Ini sangat berbahaya bagi perkembangan diri maupun kehidupan sosial mereka.
Alangkah baiknya seandainya konten kreator menyajikan sesuatu yang positif. Masih banyak tema konten yang bermanfaat bagi para netizen, seperti konten bertema pendidikan, lingkungan, strategi bisnis, promosi produk, motivasi hidup, kesehatan, olahraga, hobi, dan lain sebagainya.
Memang harus diakui membuat konten seperti ini guna menarik minat netizen membutuhkan ide dan tenaga ekstra. Sebab, netizen yang mayoritas kaum milenial terlanjur suka akan sesuatu yang instan, hedonisme, dan simpel atau mudah dipraktekkan.
Jika konten-konten positif tersebut dikemas dengan kreatif tidak akan kalah disukai dari konten yang berseberangan. Apalagi bila influencer atau pembuat kontennya bijak dan antusias, pesan yang dimaksud akan sampai kepada netizen. Bahkan banyak yang terinspirasi olehnya.
So, terkenal dengan cara positif dan inspiratif lebih baik daripada harus menggerus akhlak serta budaya generasi masa depan kita dengan konten yang tidak bermanfaat.
Comment Closed: Jalan Terjal Populer di Era Milenial
Sorry, comment are closed for this post.