KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Janji Pulang dan Pelajaran dari Sebuah Kebohongan

    Janji Pulang dan Pelajaran dari Sebuah Kebohongan

    BY 19 Jan 2025 Dilihat: 136 kali
    Janji Pulang dan Pelajaran dari Sebuah Kebohongan_alineaku

    “Kayaknya tahun ini aku jadi mudik, deh. Kangen banget sama kalian,” ucapku di telepon dengan semangat. Suara adikku di seberang terdengar penuh antusias.

    “Asyik! Aku bisa jemput di stasiun. Jangan lupa kabarin jadwal keretanya, ya!”

    Aku tersenyum kecil. “Iya, nanti aku kasih tahu.”

    Percakapan itu berakhir dengan nada riang, tapi jauh di dalam hati, aku merasa gelisah. Tiket kereta sudah ada di tanganku, koper juga sudah mulai aku kemas. Rencana pulang ini memang sungguh-sungguh ingin aku jalani. Namun, sebuah ide mendadak muncul di kepalaku.

    Beberapa hari kemudian, adikku menelepon lagi. 

    “Kak, jadi mudik kan? Jadwalnya gimana?”

    Aku menghela napas panjang, mencoba merangkai kalimat yang terdengar meyakinkan.

    “Maaf, kayaknya aku nggak jadi mudik. Ada urusan mendadak di kampus, aku ditunjuk jadi panitia acara besar.”

    “Hah? Serius? Kok tiba-tiba banget, sih?” tanyanya, jelas terdengar kecewa.

    “Iya, aku juga nggak enak. Tapi mau gimana lagi. Kamu nggak usah repot-repot jemput, ya.”

    Setelah menutup telepon, aku duduk diam menatap tiket kereta yang tergeletak di meja. Bohong pada adikku memang bukan hal yang mudah, tapi aku sengaja melakukannya. Aku tidak ingin merepotkan dia untuk menjemputku di stasiun, aku merasa lebih nyaman pulang sendirian tanpa membuat orang lain terganggu.

    Namun, saat aku menatap koper yang sudah rapi, rasa bersalah mulai menghantui. Apa aku salah?

    Seminggu sebelum rencana mudik, kampusku benar-benar sibuk. Tugas-tugas menumpuk, rapat organisasi berlangsung tanpa henti, dan ada saja hal mendesak yang harus aku selesaikan. Aku hampir tak punya waktu untuk memikirkan kepulanganku. Tiket kereta sudah ku pesan beberapa hari sebelumnya, tersimpan rapi di aplikasi HP, dan aku merasa semuanya sudah siap.

    Namun, seperti Hukum Murphy yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang bisa salah, pasti akan salah, semuanya mulai berantakan di hari keberangkatan.

    Pagi itu, aku baru saja menyelesaikan presentasi tugas kelompok ketika seorang teman mendekat.

    “Eh, kamu ikut bantu acara seminar nanti sore, kan? Kita butuh tambahan orang buat jaga meja registrasi.”

    Aku menghela napas panjang.

    “Tapi aku ada jadwal kereta sore ini.”

    “Cuma sebentar kok, Kak. Kamu masih bisa ngejar kereta,” bujuknya dengan senyum penuh harap. Aku akhirnya mengangguk, merasa tak enak hati untuk menolak.

    Acara seminar itu ternyata lebih kacau dari yang dibayangkan. Pendaftaran terlambat dibuka, pembicara datang terlambat, dan peserta protes soal teknis acara. Aku sibuk mondar-mandir menyelesaikan masalah hingga tanpa sadar waktu terus berjalan. Ketika seminar akhirnya selesai, aku buru-buru mengambil tas dan bergegas keluar kampus.

    Namun, di tengah perjalanan, HP-ku tiba-tiba mati. Layarnya gelap, tak mau menyala meskipun sudah kucoba menekan tombol power berkali-kali. Panik mulai merayap. Tiket kereta ada di aplikasi HP, dan tanpa itu aku tidak bisa naik. Lebih buruk lagi, aku tak bisa memesan ojek online untuk menuju stasiun.

    Aku mencoba mencari ojek pangkalan, tapi tidak ada satu pun yang tersedia. Waktu terus berjalan, dan aku hanya bisa berlari ke arah jalan raya dengan harapan ada taksi lewat. Namun, usahaku sia-sia. Ketika akhirnya aku sampai di stasiun dengan napas terengah-engah, suara pengumuman menyatakan bahwa keretaku sudah berangkat.

    Aku terduduk di kursi tunggu, menggenggam tas dengan lemas. Semua usaha ini terasa sia-sia. Rasanya seperti dipermainkan oleh keadaan.

    Namun, saat itu juga aku sadar, mudik bukan hanya soal tiket atau kereta. Ini tentang niatku untuk bertemu keluarga. Aku memutuskan untuk tidak menyerah. Masih ada jadwal kereta berikutnya, dan aku akan menemukan cara untuk pulang.

    Aku terduduk di kursi tunggu stasiun, menatap kosong ke arah rel yang kini sepi. Kereta yang seharusnya membawaku pulang sudah melaju pergi, meninggalkanku di sini dengan koper yang tak sempat masuk bagasi. Semua ini karena aku terlalu sibuk, terlalu ceroboh, dan mungkin… karena aku pernah membohongi adikku.

    Saat itu, aku dengan mudah mengatakan kepadanya bahwa aku tidak jadi mudik karena acara kampus. Kebohongan kecil yang kukira tidak akan berdampak apa-apa. Aku hanya tidak ingin membuatnya repot menjemputku di stasiun. Namun kini, setelah semua kekacauan hari ini, aku mulai merasa ini bukan sekadar kebetulan.

    “Ucapan itu doa,” kata-kata Ibu tiba-tiba terngiang di kepala. 

    Waktu kecil, beliau selalu mengingatkanku untuk berhati-hati dengan apa yang aku ucapkan. Aku tidak pernah terlalu memikirkannya. Tapi sekarang, aku bertanya-tanya, apakah karena aku pernah mengatakan tidak jadi mudik, Tuhan justru menguji niatku?

    Aku menghela napas panjang. Rasanya sesak membayangkan adikku di rumah, yang pasti sudah menganggapku benar-benar tidak akan pulang tahun ini. Mungkin dia akan merasa kesepian, mungkin dia sudah menyiapkan banyak hal untuk menyambutku, hanya untuk kecewa karena aku tidak muncul.

    Satu hal yang pasti, aku menyesal telah membohonginya. Niatku untuk menghindari kerepotan justru berbalik menyulitkanku sendiri. Aku berjanji dalam hati, mulai sekarang aku harus menjaga ucapan. Aku harus jujur, tidak hanya pada orang lain, tapi juga pada diriku sendiri.

    Aku memutuskan untuk tidak menyerah. Tiket kereta berikutnya mungkin masih bisa kubeli, dan meskipun perjalanan kali ini terasa penuh rintangan, aku tetap ingin pulang. Untuk memperbaiki semuanya, untuk membuktikan bahwa niatku tetap tulus, meski sempat ternoda oleh kebohongan kecil.

    Aku berdiri, menarik koperku, dan berjalan ke loket tiket. Tak ada yang tahu apakah aku akan sampai di rumah tepat waktu, tapi satu hal yang kutahu: aku harus menjaga janji ini, dimulai dengan langkah kecil untuk tidak menyerah.

    Kereta yang kunaiki melaju dengan kecepatan stabil, membelah hamparan sawah hijau yang memanjakan mata. Kupandangi tiket di tanganku, memastikan stasiun tujuan sudah benar. Aku tersenyum kecil, membayangkan wajah adikku ketika tahu aku tetap pulang tanpa memberitahunya.

    Di telepon terakhir, aku memang membohonginya. Aku tak mau dia repot-repot menjemputku, rasanya lebih baik seperti ini—datang diam-diam dan memberi kejutan.

    Ketika kereta berhenti di salah satu stasiun, seorang penjual makanan khas daerah masuk ke gerbong. Aroma makanan itu langsung membangkitkan kenangan masa kecil. Aku teringat perjalanan mudik bersama keluarga dulu, ketika kami semua naik kereta yang sama, berebut tempat duduk dekat jendela, dan menikmati bekal dari ibu.

    Lamunanku buyar ketika suara pengumuman terdengar. 

    “Stasiun berikutnya, Stasiun Kota…” 

    Aku merapikan barang-barangku, memastikan koper siap untuk ditarik keluar.

    Setelah tiba di stasiun, suasana ramai khas musim mudik langsung menyambutku. Kulangkahkan kaki keluar peron dengan koper bergulir di belakangku. Tidak ada sosok adikku yang biasa menyapaku dengan pelukan atau canda. Kali ini, aku harus mencari taksi atau ojek sendiri.

    Namun, langkahku terhenti ketika sebuah suara familiar memanggil. 

    “Kak?”

    Aku menoleh cepat. Di antara kerumunan orang, adikku berdiri dengan wajah tercengang, jelas tak menyangka melihatku di sini.

    “Aku kira kamu nggak jadi pulang.” tanyanya dengan nada protes.

    Aku hanya tersenyum, berusaha terlihat tenang meskipun sedikit gugup.

    “Kejutan!!!”

    Dia mendekat, memandangku dengan tatapan setengah sebal, setengah lega.

    “Bilang aja bohong. Tapi ya udah, aku seneng kamu akhirnya pulang.”

    Aku tertawa kecil, menarik kopernya untuk berjalan berdampingan. Ada rasa hangat di dada. Meskipun sempat membohonginya, aku tahu satu hal—mudik kali ini tetap akan menjadi cerita yang tak terlupakan.

     

     

    Kreator : Safitri Pramei Hastuti

    Bagikan ke

    Comment Closed: Janji Pulang dan Pelajaran dari Sebuah Kebohongan

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021