“Kayaknya tahun ini aku jadi mudik, deh. Kangen banget sama kalian,” ucapku di telepon dengan semangat. Suara adikku di seberang terdengar penuh antusias.
“Asyik! Aku bisa jemput di stasiun. Jangan lupa kabarin jadwal keretanya, ya!”
Aku tersenyum kecil. “Iya, nanti aku kasih tahu.”
Percakapan itu berakhir dengan nada riang, tapi jauh di dalam hati, aku merasa gelisah. Tiket kereta sudah ada di tanganku, koper juga sudah mulai aku kemas. Rencana pulang ini memang sungguh-sungguh ingin aku jalani. Namun, sebuah ide mendadak muncul di kepalaku.
Beberapa hari kemudian, adikku menelepon lagi.
“Kak, jadi mudik kan? Jadwalnya gimana?”
Aku menghela napas panjang, mencoba merangkai kalimat yang terdengar meyakinkan.
“Maaf, kayaknya aku nggak jadi mudik. Ada urusan mendadak di kampus, aku ditunjuk jadi panitia acara besar.”
“Hah? Serius? Kok tiba-tiba banget, sih?” tanyanya, jelas terdengar kecewa.
“Iya, aku juga nggak enak. Tapi mau gimana lagi. Kamu nggak usah repot-repot jemput, ya.”
Setelah menutup telepon, aku duduk diam menatap tiket kereta yang tergeletak di meja. Bohong pada adikku memang bukan hal yang mudah, tapi aku sengaja melakukannya. Aku tidak ingin merepotkan dia untuk menjemputku di stasiun, aku merasa lebih nyaman pulang sendirian tanpa membuat orang lain terganggu.
Namun, saat aku menatap koper yang sudah rapi, rasa bersalah mulai menghantui. Apa aku salah?
Seminggu sebelum rencana mudik, kampusku benar-benar sibuk. Tugas-tugas menumpuk, rapat organisasi berlangsung tanpa henti, dan ada saja hal mendesak yang harus aku selesaikan. Aku hampir tak punya waktu untuk memikirkan kepulanganku. Tiket kereta sudah ku pesan beberapa hari sebelumnya, tersimpan rapi di aplikasi HP, dan aku merasa semuanya sudah siap.
Namun, seperti Hukum Murphy yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang bisa salah, pasti akan salah, semuanya mulai berantakan di hari keberangkatan.
Pagi itu, aku baru saja menyelesaikan presentasi tugas kelompok ketika seorang teman mendekat.
“Eh, kamu ikut bantu acara seminar nanti sore, kan? Kita butuh tambahan orang buat jaga meja registrasi.”
Aku menghela napas panjang.
“Tapi aku ada jadwal kereta sore ini.”
“Cuma sebentar kok, Kak. Kamu masih bisa ngejar kereta,” bujuknya dengan senyum penuh harap. Aku akhirnya mengangguk, merasa tak enak hati untuk menolak.
Acara seminar itu ternyata lebih kacau dari yang dibayangkan. Pendaftaran terlambat dibuka, pembicara datang terlambat, dan peserta protes soal teknis acara. Aku sibuk mondar-mandir menyelesaikan masalah hingga tanpa sadar waktu terus berjalan. Ketika seminar akhirnya selesai, aku buru-buru mengambil tas dan bergegas keluar kampus.
Namun, di tengah perjalanan, HP-ku tiba-tiba mati. Layarnya gelap, tak mau menyala meskipun sudah kucoba menekan tombol power berkali-kali. Panik mulai merayap. Tiket kereta ada di aplikasi HP, dan tanpa itu aku tidak bisa naik. Lebih buruk lagi, aku tak bisa memesan ojek online untuk menuju stasiun.
Aku mencoba mencari ojek pangkalan, tapi tidak ada satu pun yang tersedia. Waktu terus berjalan, dan aku hanya bisa berlari ke arah jalan raya dengan harapan ada taksi lewat. Namun, usahaku sia-sia. Ketika akhirnya aku sampai di stasiun dengan napas terengah-engah, suara pengumuman menyatakan bahwa keretaku sudah berangkat.
Aku terduduk di kursi tunggu, menggenggam tas dengan lemas. Semua usaha ini terasa sia-sia. Rasanya seperti dipermainkan oleh keadaan.
Namun, saat itu juga aku sadar, mudik bukan hanya soal tiket atau kereta. Ini tentang niatku untuk bertemu keluarga. Aku memutuskan untuk tidak menyerah. Masih ada jadwal kereta berikutnya, dan aku akan menemukan cara untuk pulang.
Aku terduduk di kursi tunggu stasiun, menatap kosong ke arah rel yang kini sepi. Kereta yang seharusnya membawaku pulang sudah melaju pergi, meninggalkanku di sini dengan koper yang tak sempat masuk bagasi. Semua ini karena aku terlalu sibuk, terlalu ceroboh, dan mungkin… karena aku pernah membohongi adikku.
Saat itu, aku dengan mudah mengatakan kepadanya bahwa aku tidak jadi mudik karena acara kampus. Kebohongan kecil yang kukira tidak akan berdampak apa-apa. Aku hanya tidak ingin membuatnya repot menjemputku di stasiun. Namun kini, setelah semua kekacauan hari ini, aku mulai merasa ini bukan sekadar kebetulan.
“Ucapan itu doa,” kata-kata Ibu tiba-tiba terngiang di kepala.
Waktu kecil, beliau selalu mengingatkanku untuk berhati-hati dengan apa yang aku ucapkan. Aku tidak pernah terlalu memikirkannya. Tapi sekarang, aku bertanya-tanya, apakah karena aku pernah mengatakan tidak jadi mudik, Tuhan justru menguji niatku?
Aku menghela napas panjang. Rasanya sesak membayangkan adikku di rumah, yang pasti sudah menganggapku benar-benar tidak akan pulang tahun ini. Mungkin dia akan merasa kesepian, mungkin dia sudah menyiapkan banyak hal untuk menyambutku, hanya untuk kecewa karena aku tidak muncul.
Satu hal yang pasti, aku menyesal telah membohonginya. Niatku untuk menghindari kerepotan justru berbalik menyulitkanku sendiri. Aku berjanji dalam hati, mulai sekarang aku harus menjaga ucapan. Aku harus jujur, tidak hanya pada orang lain, tapi juga pada diriku sendiri.
Aku memutuskan untuk tidak menyerah. Tiket kereta berikutnya mungkin masih bisa kubeli, dan meskipun perjalanan kali ini terasa penuh rintangan, aku tetap ingin pulang. Untuk memperbaiki semuanya, untuk membuktikan bahwa niatku tetap tulus, meski sempat ternoda oleh kebohongan kecil.
Aku berdiri, menarik koperku, dan berjalan ke loket tiket. Tak ada yang tahu apakah aku akan sampai di rumah tepat waktu, tapi satu hal yang kutahu: aku harus menjaga janji ini, dimulai dengan langkah kecil untuk tidak menyerah.
Kereta yang kunaiki melaju dengan kecepatan stabil, membelah hamparan sawah hijau yang memanjakan mata. Kupandangi tiket di tanganku, memastikan stasiun tujuan sudah benar. Aku tersenyum kecil, membayangkan wajah adikku ketika tahu aku tetap pulang tanpa memberitahunya.
Di telepon terakhir, aku memang membohonginya. Aku tak mau dia repot-repot menjemputku, rasanya lebih baik seperti ini—datang diam-diam dan memberi kejutan.
Ketika kereta berhenti di salah satu stasiun, seorang penjual makanan khas daerah masuk ke gerbong. Aroma makanan itu langsung membangkitkan kenangan masa kecil. Aku teringat perjalanan mudik bersama keluarga dulu, ketika kami semua naik kereta yang sama, berebut tempat duduk dekat jendela, dan menikmati bekal dari ibu.
Lamunanku buyar ketika suara pengumuman terdengar.
“Stasiun berikutnya, Stasiun Kota…”
Aku merapikan barang-barangku, memastikan koper siap untuk ditarik keluar.
Setelah tiba di stasiun, suasana ramai khas musim mudik langsung menyambutku. Kulangkahkan kaki keluar peron dengan koper bergulir di belakangku. Tidak ada sosok adikku yang biasa menyapaku dengan pelukan atau canda. Kali ini, aku harus mencari taksi atau ojek sendiri.
Namun, langkahku terhenti ketika sebuah suara familiar memanggil.
“Kak?”
Aku menoleh cepat. Di antara kerumunan orang, adikku berdiri dengan wajah tercengang, jelas tak menyangka melihatku di sini.
“Aku kira kamu nggak jadi pulang.” tanyanya dengan nada protes.
Aku hanya tersenyum, berusaha terlihat tenang meskipun sedikit gugup.
“Kejutan!!!”
Dia mendekat, memandangku dengan tatapan setengah sebal, setengah lega.
“Bilang aja bohong. Tapi ya udah, aku seneng kamu akhirnya pulang.”
Aku tertawa kecil, menarik kopernya untuk berjalan berdampingan. Ada rasa hangat di dada. Meskipun sempat membohonginya, aku tahu satu hal—mudik kali ini tetap akan menjadi cerita yang tak terlupakan.
Kreator : Safitri Pramei Hastuti
Comment Closed: Janji Pulang dan Pelajaran dari Sebuah Kebohongan
Sorry, comment are closed for this post.