Lolos UTBK tidak membuat Pri menjadi mahasiswi tahun ini. Ayahnya khawatir tidak mampu membiayai. Bulan lalu aku dengar kabar bahwa Pri bekerja dengan gaji dibawah UMR. Ia terjebak dalam pusaran tekanan. Ia terpaksa menunda atau bahkan mungkin harus melepaskan mimpinya jadi mahasiswa. Ternyata nilai-nilai tinggi hasil ujian masuk ke perguruan tinggi negeri tidak menjadi satu-satunya tolok ukur kesuksesan, malah justru mengaburkan kegembiraan dan semangat belajar yang sesungguhnya.
Hari-harinya diwarnai kekecewaan. Pri merasa tidak diperlakukan secara adil oleh dunia. Dia sama-sama lulus dengan rekan-rekannya tapi tak punya kesempatan yang sama untuk melanjutkan studi. Pri sangat kecewa hingga tak punya semangat untuk mencari jalan alternatif. Dia jalani hidup sesuai dengan permintaan ayahnya, yaitu bekerja, mencari uang. Ia merasa dibedakan dari teman-temannya. Mereka terbenam dengan jadwal kuliah mereka, mengejar deadline pengumpulan tugas makalah tentang materi kuliah enam bulan terakhir, sementara dia hanya pulang pergi dari rumah ke toko, sebagai SPG.
Di tengah perjalanan kekecewaannya, entah apa yang memberi Pri inspirasi. Terpikirkan olehnya untuk ikut UT,”Universitas Terbuka. Ya, ini dia,”teriaknya dalam hati. Pri merasa dibukakan pintu keluar dari kepenatannya selama satu semester ini. Pri kemudian mencari informasi lebih detail mengenai ujian masuk, pendaftaran, jenis prodi, pelaksanaan perkuliahan, dan satu hal yang pasti, yaitu biaya. Dari informasi yang ia gali, ia mendapatkan gambaran bahwa ia terhitung masih mumpuni untuk ikut pendaftaran tahun ajaran mendatang, yang artinya masih memiliki kesempatan untuk mengumpulkan uang.
Pri mulai berhitung jumlah biaya yang dibutuhkan setiap semesternya. Ia putuskan akan ikut jalur pembayaran per semester supaya lebih murah daripada harus bayar per mata kuliah. Ia sengaja memiliki jalur perkuliahan Non-TTM agar tak perlu mahal-mahal membayar jasa dosen untuk mengajar secara langsung.
“Tidak usah pergi kemana-mana setiap Sabtu dan Minggu supaya irit duit,”Pri berkomentar sendiri dalam benaknya setelah tahu bahwa perkuliahan melalui pertemuan tatap muka langsung, selalu dijadwalkan setiap akhir minggu. Di kedua hari itu, ia justru ingin menikmati me time-nya dengan setumpuk file-file materi kuliah.
Hari kerja di keesokannya menjadi mendadak terasa lebih berjiwa bagi Pri, dengan semangatnya yang membara untuk mengumpulkan uang demi menumpuk bekal modal kuliah. Dia berpikir untuk mencari tempat kerja baru yang sanggup membayarnya dengan upah diatas UMR. Di waktu istirahatnya, Pri memanfaatkan wifi gratis, menggali informasi tentang lowongan pekerjaan.
Pri menjelma bak robot yang terprogram untuk mencari data, mengolah informasi kemudian membuat kesimpulan. Kesibukannya selain bekerja di luar, Pri membuat jam istirahatnya padat dengan scrolling materi-materi pembahasan terkait ujian masuk perguruan tinggi. Bukan itu saja, Pri juga mempelajari materi-materi mata kuliah pilihannya, sekalipun belum resmi menjadi mahasiswi. Ia tanpa henti, bergerak tanpa mengenal lelah. Tidur larut malam, earphone, musik menginspirasi, kopi krim sachet, mie instan, dan tetesan air mata sudah menjadi hal biasa baginya. Ia masih belum merasa cukup puas sebab merasa tertinggal dari teman-temannya.
Di suatu malam, Pri membuat keputusan,”Ini akan menjadi rahasiaku sampai tahun depan, atau kalau bisa sampai empat tahun mendatang, setelah aku resmi diterima hingga berhasil memperoleh undangan wisuda Sarjana. Ayah tak perlu ikut ambil pusing mengenai pembiayaan. Aku akan serius dengan pekerjaanku, dan aku akan undang Ayah ke wisudaku, pada waktunya.”
Masa yang dilalui memang tidak selalu berjalan mulus sesuai harapan. Pri harus selalu melakukan soft defense agar tetap tegak bersama tekadnya berkuliah dengan biaya sendiri. Godaan dari rekan kerja, ajakan berpacaran, hingga proposal lamaran tetangganya untuk menikah, semuanya mengantri menantang keteguhan hati Pri untuk tetap melanjutkan studi di UT, tanpa sepengetahuan siapapun.
Ramalan beberapa bulan hingga beberapa tahun ke depan, mengarahkan pada gambaran masa depan Pri yang terus bergerak menyeimbangkan tanggung jawab dengan minatnya. Tanggung jawab untuk bekerja, sekaligus mewujudkan mimpinya menjadi seorang Sarjana.
Kisah Pri adalah cerminan dari banyak Gen Z yang dihadapkan pada tekanan mencapai kesuksesan. Tak ada istilah kesuksesan instan. Bila tidak kuat, tekanan ini akan berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional.
Pesan Moral:
Miliki sudut pandang yang benar. Temukan passionmu. Jelajahi minat dan bakatmu, temukan apa yang membuatmu bersemangat dan termotivasi.
Seimbangkan hidupmu. Luangkan waktu untuk belajar, mengejar passion, dan menikmati hidup. Jangan biarkan satu aspek pun mendominasi seluruh kehidupanmu.
Beranilah untuk bereksplorasi. Jangan pernah merasa takut untuk keluar dari zona nyamanmu.
Tetapkan tujuan yang realistis, artinya jangan terpaku pada standar orang lain.
Kelola stres secara baik dengan melakukan kegiatan menenangkan. Binalah hubungan positif dengan orang-orang di lingkungan pergaulanmu yang berkarakter bijak dan mendukung.
Yakinilah kemampuan dan potensimu. Jangan biarkan tekanan dan ekspektasi orang lain mendefinisikan kebahagiaanmu.
Temukan jalanmu sendiri. Dengarkan kata hatimu. Kejarlah mimpimu dengan penuh semangat sebab kerja keras takkan pernah mengkhianati hasil.
Akhirnya, syukurilah segala kebahagiaan dan kesuksesan sejati yang kelak menantimu di ujung perjalanan.
Kreator : Adwanthi
Comment Closed: Kisah Pri dan Tekanan Masa Depan
Sorry, comment are closed for this post.