Ada banyak hal dalam pendidikan anak-anak yang harus kami lakukan dengan kompak. Tidak sak karepe dewe (semau gue aja). Yang satu maunya begitu, yang satu maunya begini. Memang awalnya, semua perlu didiskusikan. Saling mengemukakan argumen dulu baru diputuskan yang paling maslahat untuk keluarga. Kalau ada perbedaan pendapat, aku sebagai istri lebih berusaha merenungkan dan memikirkan pendapat suami. Aku yakin, beliau yang lebih panjang pemikiran dan pertimbangannya. Maklum, wanita kan 9 perasaan satu akal. Sebaliknya, laki-laki, 9 akal satu perasaan. Wanita tugas utamanya mendampingi suami, mengurus keluarga, membesarkan dan mendidik anak. Semuanya butuh kekayaan perasaan. Laki-laki menjadi kepala keluarga, pencari nafkah, dan pengayom keluarga. Semuanya butuh keterampilan berpikir tingkat tinggi selain kekuatan fisik.
Nah, ada satu hal dalam pendidikan anak yang sudah menjadi kesepakatan kami, yaitu harus kompak dalam bersikap. Contohnya, dalam hal menyikapi pelanggaran aturan yang dilakukan anak-anak. Dalam keluarga kami, ada beberapa aturan yang sudah disepakati antara kami dengan anak-anak. Jika aturan ini dilanggar, kami boleh marah dalam koridor untuk mendidik anak-anak. Anak-anak sudah memahami dan siap berproses atas semua konsekuensi yang akan muncul.
Kalau ada anak yang melanggar aturan keluarga sehingga membuat abinya terpaksa marah, maka aku tidak boleh membela anak-anak walau sebenarnya hatiku sebagai seorang Ibu juga nggak tega melihat mereka mendapat marah dari Abi mereka. Sebaliknya, jika aku sebagai Umi anak-anak yang terpaksa harus ‘marah’, maka Abi pun harus tetap netral. Sama sekali tidak membela. Jadi, kami tidak boleh melakukan aksi pembelaan pada anak terhadap kasus pelanggaran aturan. Harus total baik dalam ekspresi wajah, ucapan maupun bahasa tubuh kami.
Ada pengalaman. Saat itu, Bang Kamal (putra pertama kami) masih duduk di bangku TK, pernah membuat marah Abi. Naluri anak, ia langsung berlari memeluk kakiku sambil mengadu kalau dapat marah dari Abi. Aku hanya memeluk dan memandang bola matanya. Tidak mengasihani dan membela.
Aku hanya berkata, “Abang tahu kesalahan abang?”
Ia pun menganggukkan kepalanya.
“Ya sudah, Abang segera minta maaf ke Abi,” lanjutku.
“Abang takut,” jawabnya.
“Mau Umi antar ke Abi?” tanyaku.
“Mau, Umi,” jawabnya lagi.
Lalu kami berdua menemui Abi. Setelah Abang minta maaf dan mencium tangan Abi, baru Abi duduk dan memangku Abang, dilanjutkan dengan membahas duduk persoalan yang sebenarnya terjadi. Abang ikut menyimak pembicaraan Abi. Jadi, ia pun paham mengapa Abi sampai marah. Yang ingin kutekankan di sini adalah, saat anak melakukan aksi mencari pembelaan kepada salah satu dari kami, maka kami tak boleh menunjukkan pro kepadanya baik dalam ucapan, ekspresi wajah, maupun bahasa tubuh. Harus selaras. Begitu tidak selaras, anak akan menangkap bahwa ada pembelaan dari kami. So, jangan sampai membela anak ya karena nanti bisa-bisa kita sendiri yang gegeran di depan anak. Hubungan kita bisa jadi merenggang sedang anak menjadi besar kepala karena merasa ada yang membela walau melakukan kesalahan (melanggar aturan yang sudah disepakati).
Biasanya, kalau sudah Abi atau Umi marah, paling-paling kami hanya mengatakan, “Sampeyan pasti sudah tahu toh mengapa Abi sampai marah. Gih sana ke Abi. Cium tangan dan minta maaf.” Atau …
“Kalian pasti ya sudah tahu mengapa Umi kalian sampai marah begitu pada kalian. Ya sudah, cepat minta maaf sana ke Umi.”
Akhirnya, anak-anak pun paham dan akhirnya terbiasa bahwa tidak akan ada pembelaan jika melanggar aturan dan mereka harus merenungkan sendiri apa kesalahan yang sudah diperbuat dan segera minta maaf. Kami pun tidak akan membiarkan hal ini berlarut-larut. Paling lama, malam itu, sebelum anak-anak terlelap tidur, kami sudah saling berpelukan dan saling memaafkan. Tidak ada lagi ganjalan atau kemarahan yang masih terpendam dalam hati. Clear semuanya. Berangkat tidur dengan senyum tetap tersungging di bibir mereka. Have a nice dream yaa, sayang. Kami pun tersenyum bahagia demi melihat wajah mereka yang selalu menggemaskan dan tanpa dosa itu. He he he …
Kreator : Maryam Damayanti Payapo
Comment Closed: Kompak Dalam Mendidik Anak
Sorry, comment are closed for this post.