Langit pagi di kampung kecil itu selalu tampak sama bagi Citra: biru pucat, dengan awan tipis yang berarak pelan seolah mengerti betapa berat hidup yang dijalaninya. Ia melangkah pelan di jalanan tanah, membawa keranjang berisi kue-kue sederhana buatan Ibunya yang sakit-sakitan. Ibunya, sosok lemah yang tetap berusaha tersenyum meski tubuhnya terus didera penyakit sejak melahirkan adik Citra yang tak sempat melihat dunia lebih lama.
Ayah mereka sudah lama pergi, meninggalkan Citra, kakaknya Bedul, dan Ibu mereka tanpa kabar. Perceraian itu seperti membelah dunia kecil Citra menjadi dua: masa lalu yang penuh tawa dan masa kini yang penuh perjuangan. Bedul, kakaknya yang keras kepala namun penyayang, menjadi satu-satunya sandaran Citra. Mereka berdua membantu Ibu berdagang beras saat kondisi Ibu membaik, atau berjualan cemilan di pasar saat liburan sekolah. Untuk mencukupi kebutuhan, Ibu juga menerima pekerjaan cuci gosok di rumah sepupunya.
Namun, takdir kembali menguji Citra. Saat ia duduk di bangku kelas 10 SMA, Ibunya menghembuskan nafas terakhir. Dunia Citra runtuh seketika. Ia dan Bedul harus tinggal bersama Bibi Ratna, saudara jauh dari pihak Ayah. Bibi Ratna bukan tipe orang yang hangat. Ia menganggap pendidikan untuk anak perempuan tak lebih dari sekadar formalitas. “Perempuan cukup bisa masak, beres-beres. Toh, nanti juga nikah.” katanya suatu sore, saat Citra mencoba membahas keinginannya untuk melanjutkan sekolah di kota.
Namun, Citra punya mimpi yang tak bisa dibungkam. Meski sering merasa diremehkan, ia percaya bahwa pendidikan adalah kunci keluar dari lingkaran kemiskinan. Dengan berat hati, ia memutuskan merantau ke kota besar, mengikuti seorang kenalan yang bersedia menampungnya. Citra bekerja sambil sekolah, menjadi asisten rumah tangga di pagi hari dan belajar di malam hari. Hidupnya keras, tapi semangatnya lebih keras lagi.
Setelah lulus SMA, ia melanjutkan ke jenjang diploma. Tak berhenti di situ, Citra bekerja keras hingga berhasil meraih gelar S1 dan bahkan S2. Setiap tantangan yang datang justru membentuknya menjadi pribadi yang tangguh. Ia belajar bahwa masa lalu bukanlah belenggu, melainkan pondasi untuk melompat lebih tinggi.
Bertahun-tahun kemudian, Citra kembali ke kampung halamannya. Ia turun dari mobil sederhana, mengenakan pakaian rapi dengan senyum tenang di wajahnya. Warga kampung menatapnya dengan takjub, termasuk Bibi Ratna dan Sri, putrinya yang dulu sering mengejek Citra karena mimpinya yang dianggap terlalu tinggi.
Di hadapan mereka, Citra berdiri tegak.
“Saya hanya ingin membuktikan, Bi, bahwa perempuan juga bisa sukses lewat pendidikan. Bukan soal gengsi, tapi soal hak untuk bermimpi dan berjuang,” ucapnya, suaranya tenang namun penuh makna.
Bibi Ratna terdiam, mungkin menyesali pandangannya dulu. Namun, bagi Citra, penyesalan itu bukan yang terpenting. Yang terpenting adalah ia telah membuktikan kepada dunia, dan terutama kepada dirinya sendiri, bahwa langit di ujung harapan itu nyata. Asal kita berani terbang, seberat apa pun sayap kita terluka.
Kreator : Mia Ramlan Gayo
Comment Closed: Langit Di Ujung Harapan
Sorry, comment are closed for this post.