Pagi itu, udara masih segar. Matahari belum terlalu tinggi, dan halaman madrasah masih sepi dari riuh siswa. Suara burung sesekali terdengar, menari bersama desir angin yang menggerakkan daun-daun pohon kurma di belakang ruang perpustakaan.
Di bawah pohon itulah aku melihatnya. Seorang anak laki-laki duduk menyendiri, membungkuk, seolah tengah memeluk dirinya sendiri dari dingin yang tak kasatmata. Matanya kosong, menatap tanah, dan wajahnya seperti kehilangan cahaya kehidupan.
Aku mengenalnya. Namanya Raihan, siswa kelas X IPA. Selama ini ia bukan tipe anak yang menonjol pendiam, cenderung menghindari perhatian. Tapi pagi itu, ada yang berbeda. Bukan hanya diamnya. Tapi sorot matanya……seperti orang yang terdampar, tak tahu harus ke mana lagi.
Aku mendekatinya perlahan. Ada dorongan kuat untuk tidak membiarkannya sendiri dalam kehampaan itu.
“Assalamu’alaikum,” sapaku perlahan, mencoba tidak mengejutkannya.
Tidak ada respons.
Aku melangkah lebih dekat, lalu menepuk pundaknya pelan. Seketika tubuhnya menegang, matanya membelalak, dan wajahnya memerah. Reaksi refleks yang membuatku terhenyak. Seolah tubuh itu terlalu terbiasa hidup dalam kewaspadaan, dalam ketakutan.
“Maaf, Ibu tidak bermaksud mengejutkan,” ucapku sambil tersenyum. “Boleh Ibu duduk di sini?”
Ia mengangguk tanpa suara. Aku duduk di sampingnya, membiarkan hening menenangkan suasana sebelum mencoba membuka percakapan lagi.
“Kamu tidak sedang baik-baik saja, ya?”
Ia menoleh, pelan. Matanya mulai berair, tapi tak ada air mata yang jatuh. Seolah ia sudah lupa bagaimana cara menangis.
“Bu… rumah itu harusnya tempat paling aman, kan?” tanyanya lirih.
“Iya… harusnya begitu.”
“Tapi buat aku, rumah itu seperti… neraka.”
Aku terdiam. Biarkan ia bicara. Biarkan semuanya mengalir.
“Setiap hari… ada teriakan. Gelas pecah, piring dibanting. Ayah dan Ibu bertengkar seperti musuh. Kalau aku bersuara, mereka marah. Kalau aku diam, mereka tetap marah. Aku… gak tahu harus bagaimana.”
Ia mengusap matanya, masih tanpa tangis.
“Dari kecil aku gak boleh nangis. Bahkan waktu aku jatuh dan lututku berdarah, mereka bilang aku cengeng.”
Aku menelan ludah, menahan emosi yang mulai naik ke kerongkongan.
“Pernah aku tanya ke Ibu, ‘Kenapa aku lahir di keluarga ini?’ Tapi yang keluar cuma bentakan: ‘Diam! Gak usah banyak nanya!’”
Aku menyentuh pundaknya pelan. “Raihan… kamu bukan salah. Kamu hanya belum mendapat tempat yang benar.”
Ia menunduk.
“Aku pernah mikir, Bu… kalau aku gak ada, mungkin semuanya lebih tenang.”
“Jangan bilang begitu,” potongku, suara tertahan. “Kamu itu berharga. Bahkan kalau kamu gak bisa lihat nilaimu sendiri sekarang, bukan berarti kamu gak punya nilai. Ibu yakin, Tuhan kirim kamu ke dunia ini dengan tujuan.”
Ia masih diam, tapi aku tahu ia mendengar.
“Raihan…” lanjutku, “boleh Ibu kasih usul?”
Perlahan ia mengangguk.
“Pertama, kamu harus tahu, menangis itu bukan tanda kelemahan. Itu cara tubuh mengeluarkan luka dari dalam. Kamu boleh menangis. Kamu boleh marah. Tapi jangan simpan semuanya sendiri, ya.”
Ia menoleh padaku untuk pertama kalinya, matanya berkaca-kaca.
“Kalau kamu merasa gak aman di rumah, kamu bisa cari tempat aman di luar yang sehat untuk jiwamu bukan melarikan diri, tapi menenangkan diri. Bisa lewat menulis, gambar, olahraga, atau ngobrol sama orang yang bisa dipercaya.”
Ia menggigit bibir, berusaha tidak menangis, tapi air matanya tetap jatuh.
“Satu lagi,” kataku lembut, “Ibu tahu kamu kuat. Tapi orang kuat juga butuh sandaran. Kalau kamu mau, Ibu bisa bantu carikan konselor sekolah atau guru BP yang kamu nyaman ajak bicara. Kadang butuh waktu untuk menyembuhkan luka, tapi kamu gak harus jalan sendiri.”
Raihan menyeka air matanya dengan punggung tangan.
“Kalau aku cerita… aku gak bakal nyusahin, Bu?”
Aku tersenyum. “Justru kamu bantu diri kamu sendiri. Dan Ibu… senang bisa dengerin. Kadang, yang kita butuhkan bukan solusi cepat, tapi tempat aman untuk menjadi diri sendiri.”
Ia menggigit bibir, lalu untuk pertama kalinya sejak tadi, air matanya jatuh. Sedikit. Tapi itu cukup. Itu tandanya ia mulai membuka pintu hatinya, sedikit demi sedikit.
“Kalau kamu mau, kamu bisa cerita ke Ibu kapan pun. Gak perlu takut dihakimi. Ibu cuma ingin bantu.”
Ia mengangguk pelan.
Hari-hari setelah itu, ada yang berubah dari Raihan. Ia masih pendiam, tapi mulai sering ke perpustakaan. Meminjam buku-buku cerita kadang membaca, kadang hanya duduk di sudut dengan buku catatan kecil di tangannya. Tapi aku tahu, ia sedang menyembuhkan dirinya perlahan. dan yang paling membuatku bahagia ia mulai tersenyum.
Suatu hari, saat istirahat, aku melihat pemandangan yang selama ini tak pernah kulihat: Raihan duduk di kantin bersama tiga teman sekelasnya. Mereka tertawa kecil sambil memakan gorengan, dan salah satu temannya menepuk pundaknya sambil bercanda.
Sore itu, ia datang menghampiriku dengan wajah lebih cerah dari biasanya.
“Bu Rara,” katanya, “Aku… tadi ikut diskusi kelompok di kelas. Dan… rasanya gak seburuk yang aku kira.”
Aku tersenyum, menepuk pundaknya dengan bangga. “Kamu luar biasa, Raihan. Langit itu memang sering mendung… tapi lihat, sekarang kamu sudah bisa merasakan sinarnya, kan?”
.Suatu hari, ia datang padaku sambil membawa secarik kertas.
“Bu Rara… aku tulis sesuatu. Gak tahu ini bagus atau nggak. Tapi ini yang aku rasain.”
Aku membacanya. Sebuah puisi sederhana, tapi mengandung kedalaman yang tak biasa:
Aku mungkin retak, tapi aku tidak pecah.
Aku mungkin jatuh, tapi aku akan bangun.
Karena aku tahu, luka ini bukan akhirku—
Tapi awal aku menemukan diriku.
Aku menahan napas. Menatap wajah Raihan yang tampak malu-malu, tapi juga sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
Aku tersenyum dan mengusap pundaknya pelan.
“Terima kasih, Nak. Kamu sudah luar biasa sejauh ini. Dan Ibu yakin, ke depan… kamu akan jauh lebih kuat dari yang kamu pikirkan.”
Ia mengangguk pelan, lalu pamit pulang. Tapi kali ini bukan dengan langkah gontai, melainkan langkah ringan dan kepala sedikit lebih tegak.
Pohon kurma itu tetap berdiri di tempatnya. Tapi sejak hari itu, ia tak lagi hanya menjadi saksi bisu. Ia menjadi penanda bahwa bahkan dari luka yang dalam, harapan masih bisa tumbuh. Dan ketika langit mulai cerah, seorang anak pun bisa belajar kembali untuk percaya
Kreator : Siti Murdiyati
Comment Closed: Luka yang Belajar Tersenyum
Sorry, comment are closed for this post.