Menjadi diri sendiri dan mendapat amanah untuk membimbing murid sebagai wali kelas dalam sebuah sekolah adalah kepercayaan pimpinan yang tiada terhingga. Wali kelas ibarat Kepala Sekolah di kelas yang dipimpinnya. Apalagi sebuah sekolah yang mendeklarasikan bahwa wali kelas berkantor di kelas. Selama seharian dalam jam belajar di sekolah mendampingi serta membimbing anak-anak didik di kelas, selain bertugas mengajar di kelas lain sesuai jadwal kegiatan belajar mengajar.
Begitu pula yang aku jalani sebagai guru di sebuah Sekolah Menengah Pertama Swasta ternama di Kota Semarang. Baru dua tahun bergabung menjadi guru, aku mendapat kesempatan menjadi wali kelas. Segala pernak-pernik tentang wali kelas menjadi bagian tugas yang tidak terelakkan lagi.
Tugas pendidik atau guru harus mendidik, mengajar, membimbing, melatih, menilai, dan mengevaluasi anak didik adalah kewajiban utama yang komprehensif. Pun ketika mendapat tugas tambahan sebagai wali kelas menjadi narahubung atau mediator yang bijaksana antara pihak sekolah juga orang tua anak didik sebagai konsumen yang mendapat layanan jasa pendidikan. Kerjasama harmonis semua pihak menjadi kunci keberlangsungan kemitraan ini.
Aku bersyukur menjadi pribadi guru yang dikenal ramah dan selalu menebarkan senyuman.
“Bu Dwi, bolehkah saya minta izin ke kamar kecil?” celetuk anak didik sewaktu sedang serius belajar di kelas.
“Oh, ya. Silakan Sandi! Bersegera kembali ke kelas, ya!” sahutku sambil mengembangkan senyuman meskipun sedang sibuk melayani anak didik lain yang menanyakan sesuatu saat kegiatan belajar berlangsung.
“Ya, Bu. Terima kasih.” jawab Sandi sambil berlalu meninggalkan kelas.
Itu salah satu pembiasaan memberikan feedback komunikasi dengan anak didik di kelas dengan baik. Hal sederhana yang berpengaruh luar biasa. Hingga suatu masa ketika anak didik telah lulus dari sekolah, sudah selesai kuliah, akhirnya bekerja dan membangun keluarga berjumpa kembali di suatu momen pernikahan keluarga jauh. Tiba-tiba muncul dan menyapa.
”Assalamualaikum, Bu Dwi!” seorang pemuda tampan ada di hadapanku.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” jawabku dengan cepat.
“Siapa, ya?” tanyaku.
“Sandi, Bu. Murid Bu Dwi saat SMP.” begitu lugas pula ia menimpali pertanyaanku.
“Masya Allah. Mas Sandi putranya Bu Dwi Astuti”, selorohku pula. Karena kebetulan nama ibunya sama dengan namaku.
“Kamu masih ingat Bu Dwi, ya!” lanjutan pertanyaanku tanpa memberi kesempatan dia mengekspresikan hal lain.
“Ya, tentu, Bu. Saya selalu ingat dengan nasihat dan senyuman Ibu.” tanpa canggung Sandi menyampaikan hal itu.
Berbunga-bunga aku rasanya, menjadikanku selalu bersemangat dan berasa awet muda. Meskipun rentang waktu aku mengajarnya sudah dua puluhan tahun lalu. Begitulah nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepadaku. Dalam situasi sesulit apa pun, tantangan seberat apa pun selalu kuhadapi dengan senyuman.
Menjadi wali kelas dengan dua puluh lima anak didik maka akan berkaitan pula dengan dua puluh lima pasangan orang tua mereka. Karakter anak didik yang bervariasi juga terkait dengan karakter orang tua mereka yang kompleks. Dan kesan baik sebagai wali kelas masih membekas pula di benak para orang tua alumni anak didikku. Ketika bertemu di forum kemasyarakatan lainnya masih ada yang mengenaliku sebagai guru putra-putrinya. Itulah hikmah terbaik sebagai guru, tidak akan pernah ada mantan guru walau ada mantan murid. Semoga ini menjadi pemantik yang menguatkan profesi guru. Guru jasamu tiada tara. Tak akan tergantikan oleh apa pun, teknologi secanggih apa pun. Hadirnya para guru akan ada sepanjang zaman.
Guru menebar kebaikan meskipun hanya lewat senyuman. Karena senyum seorang guru bagaikan air yang menyirami keringnya musim kemarau panjang. Bahkan agama mengajarkan bahwa senyuman adalah sebagian dari sedekah.
Kreator : Dwi Astuti
Comment Closed: Menebar Senyuman
Sorry, comment are closed for this post.