Pujian adalah salah satu bentuk penghargaan yang paling mendasar dalam interaksi sosial manusia. Ketika seseorang dipuji atas kebaikan atau kerja kerasnya, ada dorongan alami untuk terus mempertahankan atau bahkan meningkatkan perilaku tersebut. Namun, pujian juga bisa menjadi pedang bermata dua, terutama ketika pujian itu menempatkan seseorang dalam kerangka yang sulit untuk dilepaskan. Ketika seseorang terus-menerus dipuji sebagai “orang baik,” apakah itu memotivasi mereka untuk terus berbuat baik, atau justru menjerat mereka dalam lingkaran harapan sosial yang tak terhindarkan?
Seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah mengatakan, “Mereka yang tahu cara memberikan pujian juga tahu cara menyuntikkan racun ke dalam hati.” Pujian, yang pada awalnya mungkin dimaksudkan untuk memberikan dorongan, bisa menjadi beban yang berat bagi seseorang yang selalu berusaha untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Orang baik sering kali merasa terjebak dalam peran ini, di mana mereka harus selalu menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan mereka sendiri.
Sejak kecil, kita diajarkan untuk patuh kepada orang tua, guru, dan keluarga. Kita diajarkan bahwa menjadi orang baik adalah tentang mengorbankan diri demi orang lain, tentang menahan keinginan pribadi demi kebahagiaan orang lain. Ini adalah nilai-nilai yang mulia, tetapi apakah ada titik di mana kebaikan ini mulai menjadi beban yang tak tertahankan?
Kenyataannya, banyak orang baik yang menderita dalam diam. Mereka sering mengalami tekanan batin, serangan panik, atau gangguan emosional lainnya. Hubungan antar manusia memang rumit, dan menjadi orang baik tidak selalu berarti kebahagiaan yang mutlak. Sering kali, orang baik adalah mereka yang penuh dengan kelembutan, sopan santun, dan perhatian yang besar terhadap orang lain. Mereka rela berkorban demi kepentingan orang lain, mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Namun, di balik semua itu, mereka sering kali menekan perasaan dan keinginan mereka sendiri.
Seorang filsuf Tiongkok, Laozi, mengatakan, “Mereka yang memahami orang lain adalah bijak; mereka yang memahami diri sendiri adalah tercerahkan.” Dalam banyak kasus, orang baik terlalu sibuk memahami dan memenuhi kebutuhan orang lain hingga mereka kehilangan kemampuan untuk memahami dan memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Ketika seseorang dipuji sebagai “orang baik,” mereka sering kali merasa terjebak dalam peran tersebut, di mana mereka harus selalu mematuhi harapan orang lain, bahkan ketika itu berarti mengorbankan kesejahteraan emosional mereka sendiri.
Misalnya, dalam lingkungan akademis, seorang teman yang baik sering kali menerima lebih banyak tugas daripada yang lain. Rekan-rekan kelompok yang lebih pintar atau berkepribadian kuat seringkali memberikan tugas yang tidak ingin mereka kerjakan kepada teman yang baik ini. Pada awalnya, mungkin teman baik tersebut menganggap ini sebagai bentuk tanggung jawab, tetapi seiring waktu, ini bisa menjadi sumber stres yang besar. Mereka merasa tidak dihargai, dan rasa kewajiban yang awalnya mendorong mereka untuk berbuat baik berubah menjadi beban.
Ketika kita menyebut seseorang “baik,” sering kali yang kita maksud adalah bahwa mereka menuruti keinginan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. Mereka menahan keinginan pribadi demi memenuhi harapan orang lain. Namun, apa yang terjadi ketika mereka terlalu sering memikirkan orang lain hingga mereka kehilangan kemampuan untuk menyampaikan keinginan mereka sendiri?
Filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre, menyatakan, “Neraka adalah orang lain.” Pernyataan ini menggambarkan betapa sulitnya bagi seseorang untuk terus-menerus hidup sesuai dengan harapan orang lain. Ketika seseorang tidak dapat menyuarakan keinginan mereka sendiri, mereka akhirnya terjebak dalam neraka yang diciptakan oleh harapan orang lain. Mereka merasa terikat pada peran yang tidak bisa mereka lepaskan, dan ini bisa menjadi sumber penderitaan mental yang serius.
Belajar untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan pribadi tanpa merasa bersalah adalah langkah penting dalam menjaga kesehatan mental. Perasaan yang ditekan dan tidak diungkapkan dapat menjadi sumber masalah psikologis. Seperti yang dikatakan oleh Rollo May, seorang psikolog eksistensialis, “Kebebasan adalah keberanian untuk menjadi diri sendiri.” Ini berarti memiliki keberanian untuk menyuarakan apa yang kita rasakan dan inginkan, bahkan ketika itu mungkin tidak sesuai dengan harapan orang lain.
Bahkan dalam situasi sederhana, seperti memilih minuman, seseorang harus belajar untuk menyuarakan keinginan mereka. Misalnya, ketika semua orang di sekitar mereka memutuskan untuk memesan kopi, tetapi mereka lebih ingin minum teh, tidak ada salahnya mengatakan, “Aku mau minum teh.” Ini mungkin terdengar sepele, tetapi langkah kecil seperti ini bisa menjadi awal dari perubahan besar dalam cara seseorang memperlakukan diri mereka sendiri.
Menjadi orang baik tidak berarti harus selalu mengorbankan diri. Penting untuk diingat bahwa perasaan dan kebutuhan kita juga penting. Kebahagiaan sejati tidak datang dari selalu menyenangkan orang lain, tetapi dari keseimbangan antara memberi dan menerima, antara peduli pada orang lain dan menjaga diri sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, “Kebajikan adalah keseimbangan antara dua ekstrem.” Dalam dunia yang sering kali penuh dengan ekspektasi dan tekanan sosial, orang baik harus belajar bahwa kebaikan sejati dimulai dari dalam, dengan merawat diri mereka sendiri terlebih dahulu sebelum merawat orang lain.
Pada akhirnya, kita perlu memahami bahwa pujian atas kebaikan memang bisa menjadi motivator, tetapi jika tidak diimbangi dengan pemahaman akan kebutuhan diri sendiri, pujian itu bisa berubah menjadi tekanan yang tak terelakkan. Orang baik menderita bukan karena kebaikan mereka, tetapi karena mereka merasa harus selalu memenuhi harapan orang lain, bahkan ketika itu berarti mengabaikan kesejahteraan mereka sendiri. Mengungkapkan perasaan dan kebutuhan pribadi adalah langkah awal untuk mengurangi beban ini dan menemukan kebahagiaan yang lebih autentik.
Kreator : Wista
Comment Closed: Mengapa Orang Baik Sering Menderita?
Sorry, comment are closed for this post.