Aku pernah berada di titik nol, di lembah yang paling dalam dan gelap, penyesalan yang tiada habisnya. Pergumulan batinku yang hebat. Semua itu terkait peran gandaku, sebagai seorang ibu juga dituntut sebagai wanita karir yang sempurna. Tapi semua kesempurnaan dan kesuksesanku sebagai wanita karir harus mengorbankan permata yang tidak bisa dibeli dengan apapun, yaitu anak.
Sebagai seorang manusia yang penuh dengan kekurangan, aku tidak bisa menggapai kesuksesan dalam dua hal dalam satu genggaman tangan. Sangat Mustahil! Pada suatu ketika, aku dihadapkan dengan permasalahan keluarga yang sangat pelik, sehingga aku harus memutuskan mana yang harus aku pilih dalam waktu yang sangat mendesak. Anakku atau karirku.
Kebimbangan dan kegalauan merajai relung hatiku. Permohonan dan doa kupanjatkan kepada sang pencipta untuk menuntun langkahku. Bismillah, aku memantapkan diri dengan pilihan : pulang! dan merengkuh buah cintaku.
Keputusan tersebut sangatlah berat, namun begitulah Perempuan. Selalu dihadapkan antara dua pilihan : anak atau karir. Dan Sebagian besar perempuan akan memilih “anak.” Tidak bisa dipungkiri hal tersebut adalah dilema yang dihadapi setiap wanita yang memutuskan untuk berkarir tapi di lain sisi harus meninggalkan anak mereka dengan orang tua atau pengasuh atau mertua atau saudara.
Keputusanku untuk resign dan kembali merengkuh tubuh – tubuh mungil anakku membawa dampak yang sangat luar biasa bagi jiwa dan ragaku. Melihat wajah tak berdosa anakku, rasanya hati ini teriris pilu, ketika mereka harus menjadi korban permasalahan orang dewasa. Mereka makhluk tak berdosa yang seharusnya tidak ikut terseret – seret oleh urusan orang dewasa.
Dua malaikat tak bersayapku, sekarang berada dalam dekapan hangatku. Hatiku damai. Tapi disisi lain, Aku belum bisa menerima ketika harus mengubur mimpi dan cita – citaku untuk berkarir.
Kehidupanku sebagai wanita karir yang super sibuk dengan berbagai tuntutan kerja, bertemu dengan banyak orang baru, bisa berkarya dan berekspresi sebebas mungkin digantikan dengan rutinitas pekerjaan yang sama setiap hari. Perbedaan signifikan itu membuat aku oleng. Aku depresi. Belum lagi menghadapi anak – anakku yang masih berusia 4 tahun dan 1 tahun yang tantrum membuat pikiranku semakin stress. Semua itu aku lakukan sendiri karena harus LDM (Long Distance Marriage) dengan suami.
Jiwaku rapuh, sehingga ragaku ikut terpengaruh. Aku menderita GERD parah. GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) yaitu penyakit yang terjadi pada saluran pencernaan atau lebih tepatnya terjadi akibat asam lambung naik. Penyakit ini bisa disebabkan karena pola makan dan tingkat stress yang tinggi.
Aku sangat tersiksa. Jika asam lambungku naik, maka tenggorokanku tercekat, ritme jantungku menjadi tak beraturan. Malam – malam seperti biasa kulalui sendiri tanpa kehadiran suamiku. Tiba – tiba aku mendengar bunyi “nging” panjang di kedua telingaku. Dadaku berhenti tiba-tiba. Aku merasa bahwa hari itu adalah saatnya. Mataku sudah terpejam, jiwaku sudah melayang entah kemana.
Tangisan dan jeritan si kecil menyadarkanku. Setengah sadar aku melihat mereka berdua sedang mengguncang – guncang tubuhku. Air mataku meleleh di kedua pipi. “Ya Allah, jangan sekarang kau panggil aku! Anakku masih kecil dan mereka masih membutuhkanku disisinya.” Hatiku berdoa lirih kepada sang khalik.
Dengan tubuh yang lemah, aku berusaha bangkit kemudian memeluk kedua anakku. “Aku harus sembuh! Aku tidak boleh kalah dengan penyakit ini! Aku perempuan kuat!” tekadku untuk sembuh membara.
Dua tahun aku melawan penyakit itu sendiri. Berbagai jenis obat aku minum. Bahkan dokter memberikan aku obat jantung, karena GERD yang aku alami sudah sampai mempengaruhi denyut jantungku. Tidurku tidak pernah nyenyak selama dua tahun itu. Kecemasan dan ketakutan akan kematian terus menyergap.
Aku mulai banyak mengaji dan mendekatkan diri pada Allah. Aku merubah semua penyesalan dalam hidupku menjadi rasa syukur, itu kuncinya. Penyesalan yang bertumpuk dalam hati ternyata bisa menjadi racun bagi tubuh kita dan penawarnya hanya satu yaitu rasa syukur.
Sekarang aku lebih enjoy menikmati hidupku bersama keluarga. Dengan aku bersyukur ternyata rejeki bisa datang dari arah manapun. Mendapatkan pekerjaan tanpa harus meninggalkan anak-anak lagi. Walaupun yang didapat tidak seberapa, tapi di dalamnya tersimpan barokah yang luar biasa.
Aku kini bisa berdiri tegar, tubuhku sehat dan bisa menjalankan dua peranku secara beriringan tanpa dilema lagi. Melihat secara langsung tumbuh kembang anak – anak yang semakin hari makin bertambah pintar dan membanggakan. Sudah tidak ada lagi rasa sesal dalam sanubariku. Senyum dan tawa buah hatiku adalah rasa syukur terbesarku.
Kreator : Roro Nawang Wulan
Comment Closed: Merubah Penyesalan Menjadi Rasa Syukur “Kembali Bangkit Demi Sang Buah Hati”
Sorry, comment are closed for this post.