KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Nok Darsinah

    Nok Darsinah

    BY 29 Jun 2024 Dilihat: 181 kali
    Nok Darsinah_alineaku

    Matahari telah melewati puncak teriknya. Darsinah mengayuh sepeda reotnya mengelilingi gang di sebuah kampung di sudut selatan kabupaten Indramayu. Begitulah hari-harinya, tanpa beban, meski banyak orang membicarakannya dalam berbagai kesempatan ; pada saat para tetangga majengan/ngobeng (membantu menyiapkan segala sesuatu saat ada tetangga hajatan), pada saat orang sedang nangga (berkumpul di rumah tetangga untuk bersantai), pada saat orang sedang bekerja, kapanpun, dimanapun saat ada orang berkumpul, kehadiran Darsinah bak magnet, membicarakannya lebih menarik dibanding mengulas adegan sinetron semalam, bahkan saat ini  sekalipun, ketika para petani sedang menjerit akibat gagal panen Darsinah tak pernah ketinggalan dalam pembicaraan mereka

    Angin kumbang membawa hamburan debu kering, membuat suasana kampung kamididing, keadaan ini tak menghalangi keasyikan Darsinah bermain di luar rumah. daun-daun kering yang berserakan di luasnya pekarangan, di tepi-tepi jalan, di depan rumah-rumah warga membersamai berhektar-hektar hamparan sawah yang padinya mengering mengabarkan musim rendeng (musim penghujan) tahun ini petani  gagal panen membuat suasana hati petani gampang tersulut emosi.

    Matahari semakin condong ke timur saat kaki yang tanpa alas terus mengayuh sepeda, debu yang berhamburan mendarat memenuhi kulit legamnya. Rambutnya yang  semrawut tak mampu menyembunyikan kenyataan bahwa sisir telah lama absen dari kepalanya. Ia mengusap cairan kental dari hidungnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya tetap erat memegang setir sepeda. Betisnya yang kekar seolah penanda, kelak dia akan menjadi tumpuan banyak orang. Dengan wajah yang berkilatan keringat sesekali ia mengayuh sambil berdiri untuk memperbaiki celana melorot yang kolornya sudah tak bisa diandalkan lagi. Suara roda belakang sepeda yang di bagian belakangnya ia pasangi cup bekas minuman teh instan terus berbunyi, sesekali diiringi suara mulutnya menirukan suara sepeda motor, “bremmm bremmm bremmmm.”

    “Darsinah!! 

    Minggir!! 

    Kalesan bocah buangan!! (dasar anak yang terbuang!)” 

    Jangan bermain sepeda di tengah jalan!”

    Teriak seorang pengendara motor yang baru pulang dari sawah. Ia membawa dua karung pad brangkas di depan dan dua karung  lagi di belakang (padi barangkas adalah padi yang diambil bersama batangnya diambil dengan cara dipilih karena hanya ada beberapa saja yang berisi, yang lainnya kosong karena kekeringan, dan serangan hama wereng atau tikus)

     “waduh panen ya mang Sarkum, mecing gah mang ! (meminta jatah atau traktiran)” 

    teriak Darsinah 

    “mecing-mecing ! 

    mana kah telponen mboke sira, dikirab duit Taiwan !!!  

    (telepon saja ibumu, minta uang taiwan ) Teriak mang Sarkum kesal sambil berlalu.

    Sambil tertawa kecut, Darsinah berlalu melanjutkan khayalannya naik motor “bremmmm bremmmm bremmmmm.”

    Darsinah, bocah lugu, ia memang tak begitu mengerti kalau  petani saat ini sedang rungsing (banyak pikiran)

    ***

    Seperti biasa, sebelum pulang ke rumah aku membeli es tijus di warung Bi Koni. Dengan terengah-engah, kurelakan uang seribuan satu-satunya dari saku celanaku.

    “Bi Koni, es tijus ya.” pintaku pada Bi Koni. Dari banyaknya warung di dekat rumahku, hanya Bi Koni lah yang sering memperbolehkan nenek ku hutang, bahkan seringkali aku  dikasih buruan (uang upah atau uang tip) untuk membantunya mengambilkan ini-itu, membelikan kekurangan bahan belanjaan di toko grosir dan lain sebagainya.

    “Nok, serpe-serpe (waktu menjelang maghrib) begini kok masih bermain sepeda sih?” Tanya seorang pembeli, kemudian ia bertanya pada bi Koni. “Yu Koni, emang anaknya siapa sih, Yu?” pembeli itu baru ku lihat di kampung ini, baunya harum, parasnya cantik, menggunakan kaos pendek dan celana sebatas lutut, kulitnya putih, rambutnya diberi pewarna pirang, gelang emas putih di tangannya sangat cantik, cincin di jari manisnya berkelipan semakin terlihat lebih menonjol, tangannya sambil memegang gawai dan loket dompet kecil. Ia terus memandangku keheranan.

    “Lah… Yu Mun! dia ini anaknya Kaswati, teman SD mu dulu… emmmmm….. tapi dia bukan anak kandung.” jawab Bi Koni dengan menutupi setengah mulutnya seolah berbisik. Kemudian Bi Koni menyerahkan plastik berisi es tijus  padaku.

     “Kaswati anaknya mak Jun yu ? dulu terakhir aku ketemu dia, sebelum aku pergi ke hongkong dan dia belum menikah” jawab pembeli itu sambil mengingat. 

    “ Yu, apa benar  Yu Kaswati ke Taiwan?” Belum juga aku beranjak pergi, orang yang dipanggil Yu Mun  melanjutkan, “duh…. kasihan sekali ya Mak Jun itu, katanya Kaswati  dinikahi duda yang bawa anak tiri masih balita, terus setelah menikah suaminya kerja di kapal, kebroboan anak walon (ketitipan anak tiri), sudah lima tahun tidak tahu kabarnya. Ditambah Kaswati terbang ke Taiwan kabarnya malah tidak dapat apa-apa.”

    “Eh, ya Yu Mun, kabarnya Kaswati uangnya habis dikirim ke laki-laki yang baru ia kenal lewat pesbuk. Katanya laki-laki itu menjanjikan setelah Kaswati habis kontrak  akan dinikahi, dan uang yang dikirimkan itu digunakan itu bilangnya untuk bangun rumah. Eh taunya, pas Kaswati mau habis kontrak, laki-laki itu sudah tidak bisa dihubungi lagi.” Jawab bi Koni dengan mata melotot ke kanan ke kiri.

    “Sial sekali ya Mak Jun,” ujar Yu Mun.

    “Husst ! Jangan begitu. Untung Mak jun yang ketiban ujian begitu, sabar sekali. Coba kalau bukan Mak Jun, mungkin Darsinah sudah dibuang dari kecil. Gak tahu ibunya siapa, bapaknya di mana. Di sini itu kan karena dibawa bapak tirinya,” jawab bi Koni.

    Deg… !!!! Mendengar kalimat bi Koni yang ini hatiku ambyar. Sebelumnya hatiku sudah kebas mendengar percakapan demikian. Tapi entah kenapa kali ini aku begitu hancur. Mungkin karena sekarang umurku sudah 10 tahun, jadi aku mulai mengerti, atau memang kalimat terakhir Bi Koni ini begitu menyakitkan sehingga mengoyak-ngoyak perasaanku begini.

    Sambil mengayuh sepeda, air mataku berderai lepas. Sampai depan rumah, ku lempar saja sepedaku. 

    Mendengar tangisanku, Mak Jun tergopoh-gopoh keluar dari padangan (dapur),

     “Dang! Kenapa, Nok?” tanya Mak Jun penasaran. Alih-alih menjawab tangisku malah semakin membuncah, ku peluk saja Mak Jun.

    “Mak… Mak….

     Aku ini anak siapa, Mak….

     Mimi Kaswati dudu mboke kita ! (bukan ibu kandung saya!)

    Mak… Mboke kita sapa…..? (ibu kandung saya siapa?),” tanyaku memaksa. Mak Jun terisak. Ia usap air matanya dengan ujung kain tapih (jarik) lusuh.

    “Nok wong ayu…. Senok cucunya emak. Anaknya Kaswati.”

    “Bohong…. Emak selalu bohong sama Dang,” protesku.

    Lagi dan lagi, tanyaku pada Mak Jun tak juga terjawab. sebenarnya ku tau dari entah kapan bahwa yang dikatakan semua orang benar adanya, karena asal-usulku selalu menjadi bahan pembicaraan mereka, dan setiap aku berusaha menanyakannya pada Mak Jun, tanya itu selalu menguap dengan sendirinya.

    Dalam pangkuan Mak Jun, rambutku dibelainya. Dalam tangisku yang mulai lirih, aku masih saja bertanya, siapa ibu kandungku, siapa bapak kandungku, kenapa aku dibawa ayah tiriku, kenapa ayah tiriku satu-satunya orang yang mengetahui asal-usulku pergi dan tak pernah pulang lagi.

    “Mimi…”

    “Mimi…

             Yang kuingat tentang Mimi Kaswati hanyalah ketika ada pesawat melintas di atas rumahku dan aku teriak, “Kapal njaluk duite (kapal minta uangnya).” Terus Mak Jun bilang, itu mimi yang sedang naik pesawat. Nanti mimi datang bawa uang banyak. dan setelah itu, setiap pesawat melintas di atas kepalaku, aku pun teriak, “Mimi jaluk duite!” setiap orang yang kebetulan menyaksikan aksiku pasti menertawakan ku, “ayo Dar! panggil ibumu! biar dia cepat pulang dan membawakan mu uang yang banyak !” awalnya kukira mereka sedang mendukungku, belakangan aku paham, kalau mereka ternyata mengolok-olokku. Dan sejak itu, aku benci mendengar suara pesawat melintas di langit kampung ku.

    “Mimi Kaswati……”

    “Bagaimana rupamu sekarang?” Entahlah. Hanya melalui foto yang dijepit di dinding bambu rumahku saja wajahnya kupatri dalam ingatan.

    “Dang,  nok wong ayu. Emak cuma punya Nok Dang. Tidak perlu memikirkan apa yang sudah lewat, jangan pedulikan siapa dan bagaimana asal-usulmu. Mulai saat ini hiduplah untuk masa depanmu, sekolah yang bener, kelak besar bisa cari uang sendiri, jadi orang kaya, biar dihormati. Sekarang Nok Dang jadi pembicaraan karena kemalangan hidup, suatu saat nanti Nok Dang jadi pembicaraan karena Nok Dang jadi orang sukses yang suka menolong orang lain.”

    Petuah Mak Jun menenangkanku, engkaulah pahlawanku, engkaulah kebanggaanku, Mak. Biar aku tidak ada Mimi, biar aku tak tahu siapa bapakku, biar aku tak tahu siapa ibuku, engkaulah kebanggaanku, Mak. Suara Mak Jun semakin terdengar sayup-sayup. Aku mengangguk dan ku tekadkan dalam hati mengamini perkataannya. Akupun lelap dalam pangkuannya.

     

    Kreator : Uus Hasanah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Nok Darsinah

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021