Matahari menyengat membakar permukaan kulit siapa saja yang berada di luar rumah pukul 2 siang. Debu beterbangan, menandakan udara kering telah berlangsung seharian. Di satu pojok tampak jalan raya ditutupi daun kering pohon tanjung yang beterbangan liar mengotori pelataran rumah di sekitarnya.
Di pojok lain Pak Sardi tukang kelapa muda sibuk melayani dua orang tamu yang tampak bercengkrama santai di warung es kelapa sederhananya. Biasanya ia buka pukul 10 pagi. Warungnya hanya menumpang di trotoar pojok jalan kompleks.
Puluhan kelapa berwarna hijau muda hingga kecoklatan bertumpuk di bak kayu yang ia buat seadanya. Kelapa hijau yang dijual agak mahal digantung di sisi kiri kanan meja makan satu-satunya dengan kursi kayu panjang di sisi muka dan belakang meja. Sudah, hanya itu saja. Biasanya para pembeli hanya mampir memesan beberapa bungkus es kelapa untuk dibawa pulang dan dinikmati di rumah.
Jarang ada yang duduk berlama-lama di warung itu. Jika hari panas pembeli akan kepanasan, sedangkan jika musim hujan mereka akan kehujanan karena warung ini hanya mengemper di bawah pohon trembesi tua tanpa atap. Tapi siang ini dua orang pria sekitar 60 tahunan itu asik menikmati es kelapa racikan Pak Sardi.
Pak Madi mengenakan kaus polo bergaris dengan celana selutut asik mengaduk-ngaduk gula jawa di dasar gelas. “Jadi kapan akan pergi ke Vietnam?” tanyanya pada pria di hadapannya.
“Akhir Desember,” kata Pak Rezeki yang masih mengenakan baju koko dan kain sarung. Rupaya sepulang dari shalat zuhur dia langsung bergabung dengan Pak Madi.
“Sudah berapa lama tidak bertemu anak cucu, Ki?” sambung Pak Madi.
“Wah lama yaa.. Mereka berangkat Januari tahun lalu, hampir dua tahun saya nggak ketemu mereka,” ujarnya. “Njenengan enak anak cucu tinggal satu kota.”
“Ah siapa bilang, wong aku juga jarang ketemu anak cucuku,” pungkas Pak Madi.
“Lah kok bisa?” tanya Pak Rezeki sambil memberi tanda ke Pak Sardi untuk minta ditambah gula di es kelapanya.
“Mantuku itu memasukan semua cucu-cucuku ke sekolah plus, sehingga mereka sibuk sekali dengan kegiatan sekolah,” ujar Pak Madi bersungut-sungut.
“Ya tapi paling tidak Sabtu-Minggu kan bisa bertemu mereka,” hibur Pak Rezeki.
“Sabtu les musik, Minggu les berenang. Atau kalau tidak pergi staycatioan di mana mereka suka. Aku dan Indri tinggal dapat sisa-sisa waktu saja,” Pak Madi menunduk. “Entah sadar atau tidak, waktu mereka untukku pelit sekali.”
“Tapi apa cucu-cucu tidak kangen berkunjung ke rumah eyangnya?” Pak Rezeki penasaran.
“Yaaah mereka berkunjung juga kalau saya atau Indri ulang tahun, atau di hari ulang tahun perkawinan kami,” kata Pak Madi pelan.
“Lumayanlah Di, kalau sakit kau kan ada yang menjenguk. Lha aku cuma berdua saja dengan Dewi,” hibur Pak Rezeki pada teman SMA-nya ini.
“Oh jangan salah, Ki. Kalau Aku atau Indri sakit, mereka takut penyakit kami menular ke diri mereka atau anak-anak. Mereka khawatir jatuh sakit dan tidak bisa beraktifitas mengurus bisnisnya,” jawab Pak Madi.
“Eh, apa iya seperti itu Di?” Pak Rezeki keheranan.
“Iya, kalau kau tidak percaya, tanya saja pada Indri. Kadang kami berdua bingung, bagaimana dulu cara kami membesarkan anak-anak. Sekolah kami pilihkan yang terbaik. Semua kebutuhan mereka kami penuhi. Liburan ke mana saja kami turuti. Tapi kini meminta sedikit waktu dari mereka saja kami tak bisa,” Pak Madi semakin sengit. “Paling-paling mengirim supir untuk mengantar kami ke dokter atau membawakan masakan matang.”
Pak Rezeki pun seperti kehabisan kata-kata, matanya tertuju pada tukang asinan yang tampak mendorong gerobak dari kejauhan. Perutnya terasa lapar karena sejak zuhur belum makan. “Pak Sardi, itu Ujang anakmu ya?” Pak Rezeki mengalihkan pembicaraan agar temannya ini tak terus-menerus mengeluhkan kelakuan anaknya.
Pak Sardi yang sedang terngantuk-ngantuk duduk di pos satpam, tersentak dan matanya menuju arah tukang asinan datang. “Iya Pak, itu anak saya. Jam segini suka mangkal di sini karena sebentar lagi sekolah bubar, suka banyak yang beli asinan.”
“Wah aku lapar juga Di, kamu mau asinan?” tanya Pak Rezeki.
“Boleh,” sahut Pak Madi. “Maaf ya aku jadi curhat soal anak-anakku.”
“Ah ngga apa-apa. Aku juga tidak bisa leluasa bertemu anak-anakku. Walaupun sekarang fasilitas telekomunikasi serba canggih dan murah, anak-anakku jarang sekali menghubungi kami di Jakarta,” Pak Rezeki mulai menceritakan pengalamannya dengan anak yang tinggal jauh di luar negeri. “Kadang aku merasa ada sedikit penyesalan menyekolahkan mereka jauh-jauh ke luar negeri. Akibatnya tak ada yang menemani kami di hari tua.”
“Dulu waktu muda aku selalu berpikir bahwa anak adalah investasi. Tak ragu aku keluarkan uang puluhan juta untuk membiayai pendidikan mereka. Tapi aku lupa satu hal yang penting. Jiwa mereka tak aku isi dengan pengetahuan agama,” sesal Pak Madi.
“Hehe bagaimana mau mendidik anak dengan ilmu agama, kita berdua saja masih bahlul,” tawa Pak Rezeki menggema sendirian.
Pak Madi hanya termangu memperhatikan Pak Sardi yang menyambut Ujang si Tukang Asinan. Ujang mencium tangan Pak Sardi sebelum kemudian sibuk menyiapkan dua piring asinan pesanan Pak Madi dan Pak Rezeki.
“Jang, kau sekolah sampai apa?” tanya Pak Madi.
“Saya tamat SMA Pak,” tangan Ujang asik meracik sawi, kol, wortel, tauge, tahu, menyiraminya dengan kuah kacang dan membubuhi kacang goreng di atasnya. Dua piring asinan siap dinikmati.
“Pernah bekerja kantoran?” tanya Pak Madi lagi.
“Setamat SMA saya coba melamar-lamar kerjaan Pak, tapi semuanya jauh-jauh. Saya tidak bisa jauh-jauh meninggalkan Bapak saya, Ibu kan sudah tidak ada Pak,” jawab Ujang sambil melap meja gerobaknya siap menyambut pelanggan lain.
“Oh begitu ya,” Pak Madi bergumam membayangkan betapa beruntungnya Pak Sardi hidup ditunggui puteranya.
“Puteramu berapa Jang?” tanya Pak Rezeki.
“Baru satu Pak, laki-laki masih usia TK,” jawab Ujang yang tiba-tiba dikejutkan dengan teriakan anak kecil berlari-lari riang dari kejauhan.
“Kakeeek… Kakeeeek…. Lihat aku beli keong hidup Kek!” tampak bocah kecil dengan kulit kecoklatan dan rambut kemerahan pertanda sering terpapar matahari berlari riang menuju warung Pak Sardi.
“Waaah.. mana coba sini Kakek lihat,” Pak Sardi girang menyambut cucunya. Mereka langsung asik dengan sepasang keong yang diletakan di plastik bening.
“Hey sini dulu coba salam sama saya,” kata Pak Rezeki. “Siapa namamu?”
“Ismail,” jawab bocah itu sambil menuruti isyarat ayahnya untuk bersalaman dan mencium tangan Pak Madi dan Pak Rezeki.
“Ini buat beli keong lagi ya besok,” Pak Rezeki menyisipkan uang lima puluh ribu ke tangan Ismail yang tidak langsung mau menerima pemberian itu. Ia mundur tersipu malu. Matanya melirik ke arah Ujang.
“Sudah ini ambil saja, boleh kok sama Bapak,” bujuk Pak Madi disertai anggukan si Ujang.
Ismail masih ragu-ragu, namun mau menerima pemberian itu.
“Hayo Mail bilang apa sama Bapaknya?” sesosok perempuan muda membawa sebungkus pisang goreng mengucapkan terima kasih pada Pak Madi.
Setelah membuka bungkusannya, pertama perempuan itu menawarkan kepada Pak Sardi. Orang tua ini malah memintanya menyuguhkan pada dua orang tamu di hadapannya.
“Waduh sudah minum es kelapa, makan asinan, kini disuguhi pisang goreng. Betah saya di sini Pak Sardi,” kelekar Pak Rezeki.
“Monggo Pak, kalau lagi sepi-sepi di rumah silahkan mampir ke sini. Kalau kangen makan asinan Ujang dia jam segini baru datang. Kalau kangen pisang goreng, nah ini pisang goreng si Puteri menantu saya paling enak Pak,” pujian Pak Sardi disambut senyum malu Puteri.
Pak Rezeki dan Pak Madi dalam diam menikmati pisang goreng hangat buatan menantu Pak Sardi. Ada rasa iri menyelinap di relung hati keduanya melihat kehangatan keluarga sederhana ini.
Si Kakek leluasa bermain dengan cucu semata wayang di pelataran jalan didampingi anak dan menantu yang siap sedia menjaga orang tua yang hidup sebatang kara.
Setelah puas mengobrol, Pak Rezeki membayar lebih tagihan es kelapa dan asinan siang ini. Sangat berlebih hingga air mata menitik dari ujung pelupuk mata Pak Sardi.
Kedua pria itu pun berlalu sambil memikirkan satu hal yang sama. Mungkin Pak Sardi dan Ujang tak memiliki banyak uang, tapi mereka memiliki segudang kasih sayang yang selalu dapat dibagikan, tidak seperti Pak Rezeki dan Pak Madi yang defisit perhatian dari anak-mantu dan cucu mereka.
Kreator : Dini Masitah
Comment Closed: Obrolan di warung kelapa
Sorry, comment are closed for this post.