Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki posisi strategis yang unik dalam peta politik nasional karena latar belakang sejarahnya yang sangat erat dengan proses lahirnya dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika republik ini baru berdiri pada 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia dan menyatukan wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman ke dalam struktur negara baru.
Langkah ini bukan hanya simbolik, tetapi strategis secara politik. Saat Ibu Kota negara direbut oleh Belanda dalam Agresi Militer II pada 1948, Yogyakarta menjadi ibu kota sementara Republik Indonesia. Selama periode itu, Yogyakarta bukan hanya pusat pemerintahan darurat, tetapi juga pusat perlawanan diplomatik dan militer.
Karena jasanya tersebut, negara mengakui status istimewa Yogyakarta melalui berbagai regulasi. Saat ini, keistimewaan tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-undang ini memberikan pengakuan dan kewenangan khusus bagi DIY dalam lima urusan:
- Tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur,
- Kelembagaan Pemerintah Daerah,
- Kebudayaan,
- Pertanahan,
- Tata ruang.
Kondisi inilah yang menjadikan DIY bukan hanya daerah otonom biasa, tetapi juga entitas politik-budaya yang memiliki pengaruh strategis secara nasional.
Secara geografis, DIY hanya memiliki luas wilayah sekitar 3.185,80 km², menjadikannya provinsi terkecil kedua setelah DKI Jakarta. Namun, dari sisi pengaruh politik, sosial, dan budaya, Yogyakarta memiliki bobot yang jauh lebih besar.
Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, rumah bagi lebih dari 100 perguruan tinggi dan ratusan ribu mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Kampus-kampus seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) telah lama menjadi inkubator pemikiran politik progresif dan gerakan masyarakat sipil.
Pada masa Orde Baru, Yogyakarta menjadi salah satu pusat perlawanan terhadap otoritarianisme. Gerakan mahasiswa seperti Suara Ibu Peduli, Forum Kota, dan Aliansi Rakyat untuk Demokrasi kerap menyuarakan protes politik yang menginspirasi gerakan serupa di daerah lain.
Kehadiran Kesultanan Yogyakarta bukan hanya berfungsi simbolik, tetapi juga memiliki efek psikologis dan politik terhadap masyarakat. Sultan sebagai Gubernur DIY bukan berasal dari pemilu, tetapi ditetapkan melalui penetapan langsung berdasarkan garis keturunan. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 18 ayat (1c) UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU Keistimewaan DIY Pasal 18.
Pengangkatan ini mencerminkan bentuk demokrasi yang berakar pada tradisi lokal. Stabilitas politik di DIY, termasuk minimnya konflik sosial menjelang dan pasca pemilu, banyak dikaitkan dengan peran simbolik Sultan sebagai figur pemersatu.
Secara elektoral, DIY bukan provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak. Data KPU RI mencatat bahwa pada Pemilu 2024, jumlah pemilih DIY sebanyak 2.870.974 jiwa, tersebar di 5 kabupaten/kota. Meski demikian, DIY dianggap sebagai barometer moral dan intelektual pemilih Indonesia.
Berbagai survei menunjukkan bahwa pemilih DIY cenderung rasional dan mempertimbangkan isu serta rekam jejak kandidat, bukan sekadar identitas atau uang. Data LSI tahun 2019 menyebut bahwa DIY dan DKI Jakarta merupakan dua daerah dengan tingkat pemilih kritis tertinggi, terutama di kalangan pemilih muda dan terdidik.
Yogyakarta telah melahirkan banyak tokoh nasional, dari presiden hingga aktivis dan pemikir. Hal ini menunjukkan bahwa DIY bukan hanya tempat lahir pemilih, tetapi juga pembentuk pemimpin.
Dengan seluruh kompleksitas sosial-budaya dan latar sejarahnya, pengawasan pemilu di DIY memiliki dimensi yang sangat khas:
- Tingkat pelaporan dan partisipasi masyarakat yang relatif tinggi,
- Keterlibatan aktif kampus dan akademisi dalam mendorong pengawasan partisipatif,
- Kolaborasi antara Bawaslu, organisasi kemahasiswaan, serta komunitas lokal.
Data Bawaslu DIY pada Pemilu 2019, tercatat 66 temuan dan laporan dugaan pelanggaran terdiri dari dugaan pelanggaran kode etik, pidana, administrasi, pelanggaram hukum lainnya. Dari jumlah tersebut yang dilakukan registrasi sejumlah 54 dugaan pelanggaran, 12 sisanya tidak diregistrasi karena tidak memenuhi unsur pelanggaran.
DIY menjadi contoh unik dalam mengelola hubungan antara tradisi lokal (monarki) dan demokrasi modern (pemilu dan partisipasi publik). Kombinasi ini memunculkan model demokrasi hibrida, yang justru menghasilkan stabilitas politik yang relatif tinggi dan tingkat partisipasi pemilih yang konsisten.
Pada Pilpres 2019, misalnya, tingkat partisipasi pemilih di DIY mencapai 81,62%, sedikit di bawah rata-rata nasional (81,97%), tetapi dengan lebih sedikit laporan pelanggaran dibanding provinsi lain. Hal ini menunjukkan bahwa sistem sosial dan nilai budaya lokal yang menekankan etika, tata krama, dan keharmonisan turut memperkuat proses politik yang sehat.
Posisi strategis Daerah Istimewa Yogyakarta dalam politik nasional dan lokal bukan hanya terletak pada sejarahnya yang heroik, tetapi juga pada perannya sebagai pusat intelektual, budaya, dan penggerak moral bangsa. Meski tidak besar secara jumlah pemilih, pengaruh Yogyakarta dalam diskursus demokrasi dan pengawasan pemilu sangat besar. Dari kampus hingga keraton, dari mahasiswa hingga Sultan, DIY terus memainkan peran penting dalam menjaga dan merawat demokrasi Indonesia.
Sebagai daerah istimewa, Yogyakarta menunjukkan bahwa demokrasi bisa berkembang berdampingan dengan nilai-nilai lokal. Dalam konteks pengawasan pemilu, ini berarti membangun mekanisme yang tidak hanya patuh pada regulasi, tetapi juga mengakar kuat pada budaya masyarakatnya.
Kreator : Hastotomo
Comment Closed: Posisi Strategis Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Konteks Politik Nasional dan Lokal
Sorry, comment are closed for this post.