“Syan, sebentar lagi kita harus berangkat.” Ajak Bu Kus.
“Bu, aku ingin ke Jogja dulu sebelum ke Bogor sebab tadi malam, aku janji mau kenalan dengan ibunya Bu Kus Tiana.”
“Ooooo…… Baiklah, kalau gitu Ibu bersama Angel dan Rya akan langsung ke Bogor.” Kata Bu Kus dan dalam hatinya, Bu Kus berharap Arsyanendra kenal ibunya Naryama.
Pukul 10.00 WIB, Arsyanendra dan Tiana berpisah dengan rombongan Bu Kus yang berangkat ikut kendaraannya Subiantoro. Sedangkan Arsyanendra dan Tiana ke Jogja memakai kendaraan minibus milik Tiana.
Saat Bu Kus membagi rombongan menjadi dua, hati kecil Naryama sangat sedih. Ia kecewa karena harus berpisah dengan Arsyanendra walaupun Naryama tahu kalau kepergian Arsyanendra ke Jogja untuk berkenalan dengan ibunya.
Akan tetapi, Naryama berterima kasih pada kakaknya. Dia menyangka Tiana sengaja memperkenalkan Arsyanendra ke ibunya sebagai calon pendamping, padahal Tiana ingin memperkenalkan Arsyanendra sebagai pemuda yang ada di hatinya.
Perbedaan pandangan ini tidak diketahui siapapun sehingga saat berpisah, masing-masing rombongan melangkah dengan hati gembira. Rombongan Bu Kus, ke utara menuju Semarang lalu naik kereta ke Jakarta, sedangkan Arsyanendra dan Tiana ke arah selatan menuju Jogja.
Perjalanan Arsyanendra dan Tiana menuju Jogja tidak terlalu terburu buru. Karena itu, selama dalam perjalanan, mereka beberapa kali berhenti untuk sekedar melihat keindahan daerah yang dilewati sambil bicara santai tentang potensi wisata sekitar Salatiga dan akibat dari seringnya berhenti di perjalanan, mereka baru sampai di dekat Magelang menjelang pukul 13.00 WIB.
Setibanya di Magelang, Arsyanendra mengatakan kalau dia ingin makan gudeg. Karena itu, Tiana memperlambat kendaraannya untuk mencari tempat makan gudeg.
Setelah beberapa saat di Magelang, Tiana menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah makan yang depannya ada tanda sebagai menjual gudeg.
Selama makan, tidak banyak pembicaraan antar mereka. Akan tetapi, walaupun tanpa banyak berbicara, keduanya selalu saling pandang dan sama-sama tersenyum saat mereka sedang saling pandang.
Saling pandang dan saling senyum itu rupanya membuat hati Tiana berbunga bunga walaupun dia ragu, mengenai perasaan Arsyanendra padanya. Dalam dirinya telah terjadi konflik batin karena rasa sukanya pada Arsyanendra makin kuat.
Konflik batin itu dikarenakan Tiana kembali mengingat keadaan dirinya. Rasa minder pada keadaan dirinya yang sudah tidak suci, kembali menghantui pikirannya hingga wajah manisnya terlihat kurang segar. Wajah seperti itu, rupanya mudah diketahui oleh Arsyanendra. Sebab itu, selesai makan siang, Arsyanendra cepat-cepat mengajak meneruskan perjalanan menuju Jogja.
Dalam perjalanan dari Magelang ke Jogja, Arsyanendra berusaha mengenal Tiana lebih dalam.
“Mbak, apakah Mbak Tiana sedang banyak pikiran? Apakah cutinya Mbak Tiana yang diajukan mendadak karena adanya kami, membuat kantor Mbak Tiana kurang berkenan? Kalau memang seperti itu, sebaiknya kita kembali ke Salatiga.”
Mendengar pertanyaan seperti itu, tentu saja Tiana menjadi sadar kalau dirinya telah membuat suasana menjadi kurang nyaman bagi Arsyanendra. Karena itu, Tiana berkata, “Enggak kok. Saya nggak ada masalah apa-apa.”
“Jadi, apa penyebab wajahnya Mbak Tiana muram? Apakah lelah mengantar saya ke Jogja?”
Tiana memejamkan mata hingga mobilnya oleng. Keadaan itu, membuat Arsyanendra terkejut hingga dia berteriak, “Awas!!”
“Maaf…. “
“Sebaiknya kita berhenti dulu.” Pinta Arsyanendra.
“Baiklah, kita berhenti di alun-alun.”
Beberapa saat kemudian Tiana membelokkan mobilnya ke kanan lalu mencari tempat untuk parkir. Setelah parkir mobil, dia mengajak Arsyanendra menyeberang jalan lalu masuk ke tempat kuliner di sebelah utara alun-alun. Di saat melihat keadaan alun-alun yang penuh tenda penjual makanan, Arsyanendra terkejut lalu dia berkomentar, “Waw…… Ternyata disini ada tempat makan juga.”
“Kamu suka makan di tempat begini?”
“Suka sekali, seandainya tahu sejak tadi, saya pasti akan mampir di sini.”
“Maaf, saya kira kamu nggak suka. Maklum, dugaan saya karena Syanen sekolahnya di luar negeri, sukanya makan di tempat bagus.”
“Hahaha…. Mbak Tiana ini gimana sih. Apakah Rya nggak cerita tentang Ibu dan Ayah saya yang hidupnya sederhana?”
“Rya belum sempat cerita.” Sahut Tiana sambil tersenyum.
“Nah…… Mbak…. Mbak Tiana kalau tersenyum ternyata manis sekali, bahkan lebih manis dari Rya.”
Tiana sangat terkejut pada pujian Arsyanendra hingga dia tersipu malu dan menundukkan wajahnya.
Tiba-tiba Arsyanendra merasa bersalah, sampai akhirnya dia berusaha membuat suasana cair.
“Maaf, saya keceplosan. Mbak Tiana tersinggung ya kalau saya mengatakan manis.”
Tiana kembali menundukkan wajah sambil tersipu malu. Namun kali ini dia memberanikan diri menanggapi, “Syan, kamu ini senang menggombal ya.”
“Menggombal? Ya nggak lah, Mbak. Saya tadi mengatakan apa adanya.”
“Awas, ya.” Sahut Tiana sambil mendekati Arsyanendra lalu mencubit lengan Arsyanendra dengan perlahan.
“Hahaha… Mbak Tiana mirip ibu guru yang menghukum muridnya.” ejek Arsyanendra, membuat wajah Tiana kembali merah tetapi kali ini dia tertawa perlahan hingga gigi putihnya yang rata terlihat oleh Arsyanendra. Kini Arsyanendra memastikan kalau pikiran Tiana sudah tak lagi kusut.
“Syan…… Apakah kamu punya pacar?”
“Dulu pernah punya, tapi….. Sudah putus.”
“Terus apakah ada yang sedang didekati?”
“Ada sih. Tapi, kelihatannya dia nggak berminat pada saya.”
“Masak nggak minat? Kenapa? Apakah sudah pasti?”
“Dugaan saya memang gitu.”
“Kenapa menduga seperti itu?”
“Ada kejadian kami janjian untuk bertemu makan malam. Tapi waktu saya sampai, dianya malah sudah nggak ada.”
“Hah?! Kenapa bisa gitu? Mungkin dia sedang ada masalah.”
“Saya nggak tahu. Waktu saya coba telepon beberapa kali, tapi nggak diangkat dan terakhir ponselnya dimatikan.”
“Sekarang gimana? Kenapa nggak dicoba lagi?”
“Saya pikir itu percuma.”
“Kok mikirnya percuma? Kenapa?”
“Harusnya dia telepon ke saya karena saya sudah berkali-kali telpon, tapi nggak ditanggapi. Artinya, kalau dia masih mau berinteraksi dengan saya, sebaiknya dia telepon saya.”
“Saya mengerti maksudmu. Terus, setelah kamu menganggap kalau dia nggak mau, apakah ada perempuan lain?”
“Sampai sekarang masih belum.”
“Kalau Rya gimana? Kalau saya amati, Rya suka padamu.”
“Rya? Saya memang merasa dekat dengan Rya terutama waktu kami sama-sama pergi ke Wates. Dan, Rya memang nekat kalau punya kemauan.”
“Maksudnya? Nekat gimana?”
“Eeehh… Maaf….. Saya nggak enak untuk cerita.”
“Baiklah. Syan, kalian sudah ada kontak batin ya…. ”
“Saya nggak tahu apakah kedekatan kami karena saya jatuh cinta padanya atau kedekatan seperti saudara tiri.”
“Lho… Kenapa lagi?”
“Rya sudah mengenal beberapa saudara tiri saya dan dia cukup dekat dengan mereka. Bahkan, Rya juga sudah mengenal beberapa saudara Ayah saya. Jadi, saya menganggap Rya seperti saudara tiri saya.”
“Kata Ibu, Rya disukai oleh Eyang, keluarga kakaknya Ayah, saudara sepupu Ayah yang tinggalnya dekat Eyang dan Rya juga dekat dengan Ibu saya.”
Tiana tak lagi bertanya. Ia hanya memandang Arsyanendra dengan senyuman manis dan itu membuat hati Arsyanendra terusik hingga Arsyanendra merasa kalau dia sedang berhadapan dengan seorang yang membutuhkan belaian kasih sayang.
“Syan….. Bolehkan saya tahu tentang kamu?”
“Tentang saya? Tentang apanya?”
“Tentang kuliah dan tentang kegiatan atau pekerjaan.”
“Wah…… Rupanya saya sedang diinterogasi.”
“Hihihihihi…….. “
“Lho….. Kok saya di tertawakan….”
“Eh…. Maaf ya…. Ayolah, cerita tentang kegiatanmu.”
“Saya ambil master bidang finance. Setelah menyelesaikan sekolah ekonomi di undergraduate-nya.”
“Sudah kerja? Kalau sudah, apakah kerjanya di Jakarta?”
“Saya kerja di perusahaan yang bergerak pada pengelolaan dana untuk diinvestasikan di bursa efek, di Jakarta.”
“Lho…. Kalau gitu, sekarang sedang membolos ya.”
“Hahaha….. Enggak lah…. Saya minta cuti sebulan.”
“Hah?! Cuti sebulan? Enak sekali bisa cuti selama itu”
“Hahahaha… Saya mencari tempat kerja yang enak.”
Tawa keras Arsyanendra membuat Tiana tersenyum. Tetapi senyum manis Tiana yang enak dipandang itu sebenarnya sangat berlawanan dengan isi hatinya. Hati Tiana sebenarnya sedih dan minder akan statusnya serta rasa kasihan pada adiknya.
Namun siang ini, dia ingin merealisasi isi hatinya untuk bersanding dengan Arsyanendra. Karena itu Tiana berpikir keras mencari cara agar bisa mendapatkan balasan rasa hati Arsyanendra.
“Syan…… Kita jalan lagi yuk…. “
“Ayo, tapi berikan kunci kontaknya.”
“Kamu mau nyetir?”
“Iya. Takut kalau Mbak Tiana melamun lagi, hahaha….”
“Ah, kamu ini…. “ Sahut Tiana sambil tersenyum.
Sejak dari Magelang, Arsyanendra mengambil alih kemudi mobilnya, hingga Tiana mempunyai banyak kesempatan melihat wajah Arsyanendra. Dalam perjalanan menuju Jogja, keduanya bicara ringan seperti hobi dan kesukaan makanan.
Setibanya di Jogja mereka langsung ke rumah Tiana, yaitu sebuah rumah yang berlokasi tidak jauh dari pasar Beringharjo.
Sesampainya dirumah Tiana, Arsyanendra menjadi terkejut ketika tahu kalau rumahnya Tiana ternyata berhalaman luas dan bergaya arsitektur rumah lama, hingga Arsyanendra tidak pernah menyangka kalau ternyata tempat tinggal ibunya Tiana cukup besar untuk ditempati seorang diri.
Selain itu, rumah tersebut seperti sedang membangkitkan kenangan lama bagi Arsyanendra. Ia seperti sedang melihat sesuatu ketika melihat pendopo dihadapannya.
“Ibumu tinggal di sini? Hanya sendiri?” Tanya Arsyanendra sambil menoleh kanan dan kiri.
“Iya…… Kenapa?”
“Rumah dan halaman terawat, saya suka.”
“Terima kasih, mudah-mudahan kamu senang disini.”
“Mmm…… Mbak, rasanya waktu kecil, saya pernah kemari. Kalau nggak salah, dua atau tiga rumah sebelah kanan dari rumah ini adalah rumahnya Ibu Ningrum. Saya ingat waktu masa kecil, saya suka main-main di pendopo depan ini. Nah, saya dulu suka membawa cat air lalu menggambar disini bersama ayahmu.”
“Benar. Sebelah kanan, rumahnya Bu dokter Ningrum dan ayahku memang senang sekali melukis. Jadi rupanya, kamu yang disenangi ayah karena suka melukis. Saya sebenarnya nggak ingat kalau kamu dulu suka melukis dengan ayahku disini.
Syan….. Ayahku dulu pernah mengatakan kalau almarhum suka pada anak tiri bu dokter Ningrum yang senang melukis.”
“Waw…… Sayang beliau telah tiada. Mbak, saya tiba-tiba rindu pada Mbak Frisanti. Rasanya saya jadi pingin kesana sekalian bertemu dengan ibu Ningrum.”
“Kamu mau kesana? Bu Ningrum biasanya baru pulang sore atau malam dari rumah sakit.”
“Kalau Mbak Frisanti?”
“Mbak Frisanti bukannya pindah ke Semarang.”
“Oiya, Ibu juga sudah mengatakan itu. Tapi, nggak apa-apalah kalau kita lihat kesana dulu. Lagipula, ibunya Mbak Tiana kan belum ada juga.”
“Tavi, kamu pulang? Kamu dengan siapa?” Tanya seorang perempuan tua.
“Lho……. Ibu kok ada di rumah? Bu, aku datang dengan Arsyanendra. Dia cucunya Eyang Ayu dari Surabaya.” Jawab Tiana.
“Oooo…. Mari masuk, Nak.. Saya senang sekali ketemu cucu Dokter Ayu dari Surabaya. Maaf, apakah ini cucu dari putra Bu Ayu, sebab cucu yang dari putri beliau saya kenal semua.”
“Iya Bu, ini putranya Bu Kustini.”
“Ooooo…… Ayo masuk, Nak.” Ajak ibunya Tiana.
Arsyanendra masuk melalui bagian depan atau pendoponya. Padahal sebelum ini, dia dan Tiana hendak masuk ke rumah joglo tersebut melalui pintu samping.
Saat di tengah pendopo, Arsyanendra coba mengingat siapa ibunya Tiana dan yang muncul adalah sosok perempuan cantik, berkulit kuning langsat, hidungnya mancung, dan wajahnya bulat.
Ia lalu membandingkan dengan ibunya Tiana yang ada di depannya dan saat membuat perbandingan terbayanglah seorang ibu muda menggendong anak laki-laki kecil lalu anak laki-laki kecil itu di dudukan di kursi di tengah pendopo, kemudian diberi obat luka luar karena lututnya berdarah. Anak laki kecil itu diam setelah ibu muda itu menghiburnya dengan nyanyian langgam Jawa.
“Apakah Ibu bernama Bu Andamari?” Tanya Arsyanendra.
“Iya, nama saya Andamari.” Jawab ibunya Tiana.
“Kamu tahu nama ibuku dari Rya?” Tanya Tiana.
“Bukan, dari tamu yang dulu pernah tanya Bu Mari.”
“Tamu? Siapa?” Tanya Tiana, namun Bu Andamari, yaitu ibunya Tiana hanya memandang Arsyanendra dengan wajah sedih.
“Saya sedang mengingat waktu kecil ada seorang tamu datang menanyakan Ibu Andamari ketika ibumu sedang mengobati luka anak laki-lakinya.”
“Anak laki-lakinya?” Tanya Tania.
“Mungkin Syanen salah. Anak laki-laki itu namanya Dino Prakoso. Dia adalah anak tetangga yang juga sering main di sini, dan tamunya adalah ayahnya Dino. Beliau mencari Dino karena ayahnya mendengar kalau Dino jatuh dari pohon Jambu di rumah kami.” Kata Bu Andamari dengan tersenyum lalu menoleh ke Tiana.
“Ibu kenapa melihat aku?”
Bu Andamari tak menjawab. Beliau tetap tersenyum lalu membalikkan badan dan masuk ke dalam rumahnya. Sedangkan Arsyanendra heran ketika dia melihat wajahnya Tiana cemberut mendengar nama Dino.
“Bolehkah saya ikut memanggil nama Mbak Tavia?”
Tiana menoleh lalu tersenyum, kemudian ia berkata, “Itu panggilan untuk keluarga dekat atau sahabat ketika masih sekolah dan kuliah. Saya lebih senang Syanen memanggil nama saya Ana..”
“Kenapa begitu?”
“Saya ingin dapat nama panggilan berbeda dari Syanen…. Tavia… adalah panggilan dari teman lama.” Kata Tiana.
“Baiklah, saya akan memanggil dengan nama Mbak Ana.”
*
Selesai makan malam, Arsyanendra mengatakan kalau dia ingin mengunjungi bu Ningrum. Saat berpamitan pada Bu Andamari, Tiana mengatakan dia ingin ikut juga ke rumah bu Ningrum.
Tiana berharap dia bertemu bu Ningrum dan minta tolong untuk mendukungnya dekat dengan Arsyanendra. Dalam benaknya, Tiana bertekad hendak mengadakan pendekatan pada Arsyanendra.
Akan tetapi, saat Arsyanendra dan Tiana akan melangkah ke jalan, dari pintu gerbang rumah Tiana, muncul seorang lelaki tampan dan berdandan rapi lalu dia menyapa, “Halo Tavia, selamat malam? Mau kemana? Sudah lama ya datang ke Jogja?”
“Eh, Dino….. Apa kabar? Saya akan kerumah bu dokter Ningrum, mengantar Syanen.” Jawab Tiana.
“Ke rumah Bu Ningrum? Saya ikut ya. Saya juga sudah lama nggak bertemu dengan bu Ningrum.” Kata Dino.
“Kamu bukannya kerja di Surabaya? Kenapa ada di Jogja?”
“Saya sedang ada tugas kantor dari Surabaya.” Sahut Dino.
Ketiga orang itu lalu berjalan bersama menuju rumah bu Ningrum yang hanya berselang dua rumah dari rumah Tiana.
Setelah Arsyanendra berkenalan dengan Dino, Tiana lalu menerangkan bila saat masih kecil, Dino dan Arsyanendra pernah bertemu dan pernah main bersama, hingga keduanya lalu sama-sama mencoba mengingat masa kecil mereka.
Karena itu, dalam perjalanan menuju ke rumah bu Ningrum, ketiganya saling mengingatkan masa-masa kecil mereka ketika sama-sama senang bermain di halaman rumah Bu Andamari.
Pada kesempatan itu, Dino mengingatkan kalau pusat bertemunya mereka sebenarnya di rumah Bu Ningrum. Sebab, Frisanti yaitu anak bungsunya bu Ningrum adalah anak baik dan selalu membuat para tetangga senang bermain dengannya.
Tiba dirumah Bu Ningrum, Arsyanendra sangat terkejut melihat bu Ningrum di pendopo depan rumah utama. Beliau sedang duduk santai bersama Frisanti yaitu kakak tirinya Arsyanendra dan seorang anak laki-laki kecil, berusia sekitar dua tahun yang duduk manis di pangkuan Frisanti. Saat melihat keadaan itu, Arsyanendra langsung menebak kalau itu adalah anaknya Frisanti.
“Arsya… Kamu sudah besar dan ganteng… Mirip ayah.”
“Lho….. Kenapa pada di pendopo? Apakah akan ada tamu? Halo, Bu Ningrum. Halo, Mbak Santi.” Sahut Arsyanendra.
“Tamu? Kalianlah tamu istimewa kami.” Kata Frisanti.
“Aku?” Sahut Arsyanendra.
“Iya, kamu adalah tamunya.” Sahut Frisanti.
“Hahaha……. Mbak Santi ini selalu suka bercanda sejak aku kecil.” Sahut Dino dengan wajah gembira.
“Dino, Tavi, kalian gimana kabarnya?”
“Kami baik-baik, Mbak….. ” Jawab Dino dan Tiana.
“Arsya, kemarilah. Ibu ingin bicara berdua denganmu.” Panggil Bu Ningrum.
Setelah berbasa basi dengan Frisanti, Arsyanendra masuk ke dalam rumah utama lalu duduk di ruang makan.
Beberapa saat setelah mereka duduk, Bu Ningrum berkata, “Tolong keluarkan pundi-pundi butiran karang.”
Arsyanendra langsung mengeluarkan pundi-pundi berisi butiran karang dari kantong celananya, kemudian diberikan pada bu Ningrum. Tak lama kemudian, bu Ningrum mengeluarkan seluruh isi pundi-pundi tersebut.
Arsyanendra terkejut melihat semua butiran karangnya jadi bercahaya, hingga menerangi seluruh ruangan, sampai Arsyanendra bertanya, “Bu, kenapa butiran karang ini semua bercahaya? Padahal, waktu di sekitar gunung Merbabu hanya satu yang cahaya.”
“Ibumu hebat. Artinya dia bisa mengendalikan diri dengan baik. Jadi, dia bisa membuat hanya benda yang diinginkan saja yang bisa bercahaya.”
“Maksud ibu Ningrum?”
“Kehebatan ibumu, dia mampu menahan butiran karang ini agar tidak mengeluarkan cahaya kecuali memang diinginkan. Jadi, saat ibumu hanya ingin satu saja butiran karang yang bercahaya, maka hanya satu butir saja yang mengeluarkan cahaya, sedangkan lainnya tidak mengeluarkan apa-apa.”
“Ooooo.. Apakah ibu Ningrum nggak bisa seperti ibu?”
“Enggak bisa. Ternyata ibu Marialah yang sangat hebat dan rasanya beliau yang sekarang paling tinggi kemampuannya, bila dibandingkan dengan istri ayah lainnya.” Sahut Frisanti saat dia baru masuk ruang makan.
“Eh….. Mbak Santi…. Mereka masih diluar?”
“Biarlah mereka bicara dari hati ke hati.” Kata Frisanti.
“Maksudnya?” Tanya Arsyanendra.
“Sejak kecil, Dino suka pada Tavi. Tapi, Tavi sukanya pada mas Pandya dan mas Pandya menganggap Tavi sebagai adik tirinya seperti aku dan saudara lainnya. Syan….Sekarang di hatinya Tavi ada wajahmu…. Kamu gimana? Apakah kamu suka padanya?”
“HAH?! Wah…. Mbak Tiana kan seumuran dengan Mbak Santi, jadi dia lebih tua tujuh tahun dari aku…. Coba bayangkan, Mbak. Rasanya dia lebih pantas jadi kakak seperti Mbak Santi.”
“Arsya…… Rasa suka atau cinta tidak mengenal umur dan status, jadi bisa saja terjadi pada setiap manusia.” Sahut Frisanti.
“Aku tahu sih, Mbak. Tapi… di hatiku sekarang sudah ada…”
“Ada Tyana? Psikolog yang kenal di Lombok?”
“Kok Mbak Santi tahu?”
“Hihihi…… Apa benar kamu masih tanya kenapa aku tahu?”
“Oiya…… Hehehehe….. Aku lupa kalau Mbak Frisanti suka ditelepon Ibu dan Ibu pasti sudah cerita panjang lebar tentang aku.”
“Nah, sudah tahu kan? Sekarang kamu sudah pasti bisa menebak kenapa aku ada di Jogja, bukan di Semarang.”
“Hahaha…… Pasti Ibu yang minta Mbak Santi pulang ke Jogja sebab aku ada di Jogja dan sebentar lagi, pasti Bu Ningrum dan Mbak Santi menyuruh aku ambil tas di rumah Mbak Tiana lalu menyuruhku pindah kemari dan tidur di sini.”
“Hihihi……. Kamu sudah pinter sekarang.” Ujar Frisanti.
“San….. Sebaiknya kamu temani Dino dan Tavi diruang tamu. Ibu ingin bicara dengan Arsya.” Ujar Bu Ningrum.
“Iya, Bu… ” Sahut Frisanti.
Setelah Frisanti keluar, Bu Ningrum berkata, “Kamu harus rajin berlatih kesabaran, sebab itu penting untuk kehidupanmu.”
“Iya… Tapi, kata teman-temanku, aku orangnya sabar.”
“Maksud Ibu bukan sabar seperti itu… Tapi, sabar dalam arti tidak menyimpan marah atau dendam dan keinginan membalas orang yang menyakiti hati kita.”
Arsyanendra merasa perkataan Bu Ningrum memukul tepat di hati terdalamnya. Selama ini Arsyanendra tidak menyadari bila dalam hatinya ada rasa marah, tidak suka dan rasa selalu ingin membalas Faustina.
Rasa itu selalu terpendam dan tidak nampak dipermukaan, tapi, rasa itu tak dapat disembunyikan dari Ibu dan Bu Ningrum.
Sejak Arsyanendra diputus oleh Faustina karena dianggap sebagai orang tak mampu secara ekonomi, Arsyanendra berusaha membalas dengan cara minta kerja di tempat ibu tirinya yaitu bu Wati yang memegang keuangan keluarga dan ayahnya, sebab dia ingin menunjukkan kalau dia orang berada dan punya kekayaaan jauh melebihi kekayaan Faustina.
Awalnya, Bu Kus ingin mengingatkan agar Arsyanendra tidak bernafsu pada harta kekayaan, namun saudara sepupu ibunya yang juga ibu tirinya yaitu Bu Ningrum, mengingatkan Bu Kus agar ketersinggungan pada Faustina hendaknya ditangani dengan cara lembut dan soal bagaimana caranya, Bu Ningrum minta pada ibu Arsyanendra, agar beliaulah yang mengurusnya.
Arsyanendra memandang Bu Ningrum sambil mengambil nafas panjang.
“Ibu Ningrum benar. Aku memang sangat tersinggung waktu Faustina mengatakan kalau Ibu dan Ayah adalah orang yang tidak bertanggung jawab dan menggantungkan hidup anak-anaknya pada adik kembarnya.”
“Ibu tahu Syan….. Tapi, anggapan itu tidak perlu dibalas.”
“Tapi, Bu…. Dia sangat menghina Ayah.”
“Syan…. Kamu harus belajar mengendalikan diri.”
Arsyanendra mengambil nafas lalu mendekati Bu Ningrum.
“Bu, aku sekarang gampang tersinggung.”
“Sudahlah. Yang terpenting adalah kamu segera menyadari ketersinggungan itu lalu cepat membuang rasa tersinggung tersebut.”
“Baiklah, Bu.” Sahut Arsyanendra dengan penyesalan.
Kreator : Hepto santoso
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 10
Sorry, comment are closed for this post.