Pukul 05.00 WIB, Tyana bangun tapi enggan beranjak sebab ia merasa malas pergi ke kantor. Tyana merasa pikirannya sedang dipenuhi oleh persoalan di luar kantor hingga dia khawatir kalau hal itu akan bisa mengganggu semua aktivitas kantornya.
Pikiran kacau karena seringnya wajah Arsyanendra muncul sebagai bayangan telah membuat pekerjaannya terbengkalai dan itu menyebabkan Tyana ditegur oleh bu Sandra sebanyak 2 kali.
Kriiingg…. Kriingg….. Suara telepon genggamnya berbunyi hingga beberapa kali, tapi Tyana tidak ingin mengangkat telepon itu. Bahkan melihat siapa peneleponnya, dia juga enggan. Akan tetapi, karena telepon genggamnya terus menerus berbunyi, akhirnya Tyana tidak punya pilihan selain mengangkat walaupun terpaksa.
“Tyana, kamu sakit?” Tanya suara dari seberang sana.
“Ini Bu Sandra? Iya, Bu. Saya merasa kurang enak badan. Kalau tidak keberatan, apakah saya bisa minta tolong Mas Mansyur datang ke apartemen saya untuk ambil file rapat?”
“Baiklah, sebentar lagi saya minta Mansyur kesana.”
“Terima kasih, Bu.” Kata Tyana lalu menyiapkan file untuk Bu Sandra, kemudian mandi dan pakai baju rumah.
Selama menunggu Mansyur, pegawai bagian umum, Tyana terus melamun dan dia merasa hidupnya yang sangat kacau dikarenakan pengalamannya menikah muda karena kecelakaan lalu cerai. Peristiwa saat dia masih SMA itu, selalu terbayang dan itu sangat membuat dia menyesal pada peristiwa tersebut.
Penyesalan yang timbul dan meresahkan hatinya di kala dia merasa jatuh cinta pada Arsyanendra. Ingin rasanya dia kembali ke masa SMA dan bila itu terjadi, dia akan menjaga dirinya baik-baik dengan cara menghindari menyentuh minuman keras hingga dia bisa menghindar dari mabuk dan lupa daratan.
Semula dia selalu acuh pada peristiwa pernikahan karena terpaksa. Akan tetapi, sejak wajah Arsyanendra selalu hadir dalam benaknya, Tyana merasa kalau dirinya adalah sampah masyarakat. Dia merasa takut kalau statusnya sebagai janda yang terpaksa menikah lalu cerai, menjadi suatu penghalang bagi dirinya untuk bersanding dengan Arsyanendra.
Wajah suram dan rambut berantakan karena tidak tersisir rapi membuat rekan kerjanya yaitu Priambodo merasa terpanggil untuk mengurusnya saat dia datang ke apartemen Tyana karena ikut Mansyur mengambil file untuk bahan rapat.
Rasa simpati Priambodo dengan sepenuh hatinya ternyata justru makin membuat Tyana merasa depresi.
Tyana memandang sikap Priambodo terlalu berlebihan. Akan tetapi, sebagai teman lama sejak kuliah, akhirnya Tyana hanya minta agar Priambodo tidak perlu berlebihan. Secara halus Tyana menyindirnya dengan mengatakan kalau Tyana tidak pernah merasakan ada getaran rasa padanya.
“Terima kasih sudah kemari. Maaf ya saya ingin istirahat.” Ujar Tyana agar Priambodo segera pergi.
Sindiran halus itu membuat hati Priambodo kecewa. Dia merasa pendekatannya pada Tyana seolah membentur dinding tebal dan tidak ada celah atau pintu untuk masuk ke hati Tyana.
Namun, Priambodo ternyata lelaki yang tahan banting. Hati kecilnya tetap bertekad terus mengejar Tyana sebab rasa sukanya sudah terpupuk sejak Priambodo, sebagai salah satu seniornya di kampus, ditolong oleh Tyana ketika dia mengalami kecelakaan, saat Priambodo jatuh dari motor karena motornya terserempet kendaraan di depan kampus.
“Mbak Tya, saya pamit ya.” Kata Mansyur.
“Tolong sampaikan ke Bu Sandra saya sakit.” Sahut Tyana.
Mansyur tiba-tiba merasa kasihan pada Priambodo karena dia tadi mendengar beberapa sindiran tentang sikap Priambodo dari Tyana. Selama ini, para pegawai di kantor mengetahui bila Priambodo selalu dekat dengan Wati dan mereka menduga kalau Priambodo adalah berpacaran dengan Wati.
Jadi, pagi ini, baru Mansyur yang mengetahui kalau diam-diam Priambodo jatuh hati pada Tyana yaitu pegawai paling manis yang selalu bersikap dingin pada lelaki yang mendekatinya.
Pukul 11.00 WIB, telepon genggam Tyana sudah berbunyi untuk kesekian kalinya dan saat melihat siapa si penelepon pada siang ini, dia lalu cepat-cepat mengangkatnya.
“Halo, Mbak Isna.”
“Kata kakakmu kamu sakit. Sakit apa?”
“Iya, Mbak Isna. Aku sedang nggak enak badan.”
“Wah……. Sayang sekali.”
“Lho….. Kok sayang sekali? Ada apakah, Mbak?”
“Sayang kamu sakit. Padahal Jum’at sore aku mau mengajak kamu ke Bogor dan menginap disana sampai minggu sore.”
“Ikut!!!. Sekarang aku sudah sembuh!!”
“Hahahaha……. Kamu ini gooombaaaalllll….. “
“Hihihi……. Aku ikut….. Buat menyegarkan pikiran.”
“Gimana kalau nanti malam kita makan di Kemang?”
“Setuju…. Jam berapa?”
“Aku mau beli make up dulu setelah praktek jam tiga sore.”
“Beli dimana? Aku mau ikut juga.”
“Beli di mal kawasan perkantoran Sudirman.”
“Mbak, aku kesana jam dua, kita ketemu di sana, ya.”
Ajakan makan malam dari Isna telah membuat Tyana segar kembali, pikiran suntuk karena merasa minder pada Arsyanendra, tiba-tiba hilang tidak berbekas lagi.
Semangat hidupnya kembali bangkit, karena itu ia berjalan cepat ke kamar mandi, lalu cuci muka kemudian ganti baju kantor lalu bergegas pergi ke kantornya.
Sampai kantor, beberapa rekannya heran atas kedatangan Tyana karena itu Wati yang bertemu di depan lobi bertanya, “Lho….. Mbak Tyana sudah sehat?”
“Sudah. Aku sudah minum obat dan vitamin.” Sahut Tyana sambil tersenyum.
Setelah itu, dia masuk ke ruang rapat dan ikut rapat walaupun sangat terlambat dan beruntunglah, sebab Bu Sandra menghargai usaha Tyana ikut rapat walaupun dia sakit.
**
“Mas, sudah jam 5 pagi.” Kata Naryama.
Arsyanendra terkejut mendengar suara itu lalu dia loncat dari tempat tidur dan lari ke kamar Bu Kus. Namun, dia kecewa setelah berkali-kali mengetuk pintu kamar tetapi tidak mendengar jawaban dari dalam.
Bagi Arsyanendra, hal ini sungguh janggal. Selama ini dia tahu kalau Bu Kus selalu bangun sebelum jam empat lalu menyiapkan sarapan untuk keluarga. Tetapi, bila tidak ada keluarga atau orang lain, Bu Kus selalu memulai kesibukannya dengan mengurus rumah sejak pagi.
“Mas….. Bu Kus pergi sejak jam sembilan malam kemarin.”
“Hah?! Ibu sudah pergi dari kemarin? Pergi kemana?”
“Beliau hanya minta agar saya mengurus segala keperluan Mas Syanen selama Bu Kus nggak ada di rumah.”
“Aku yakin Ibu pasti sedang melakukan hal-hal aneh dan Ibu tahu kalau aku paling nggak suka Ibu melakukan itu.”
“Bu Kus melakukan apa? Kenapa nggak suka?”
“Ah, aku malas cerita tentang kesenangan Ibu, Ayah dan istri Ayah lainnya. Aku nggak suka pada kesenangan mereka.”
“Maaf, Mas…. Seharusnya Mas Syanen nggak boleh gitu. Mereka kan orang tua Mas Syanen.”
“Iya sih…… Sudahlah…… ” Kata Arsyanendra lalu ia terdiam.
Saat melihat wajah kecewa Arsyanendra, Naryama hanya mengambil nafas panjang. Namun, ia tak menanyakan mengenai hal apa yang membuat Arsyanendra tidak suka. Karena itu, Naryama pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi mereka.
Pukul 06.30 WIB, terdengar suara dari luar rumah memanggil Arsyanendra dengan kencang, lalu Arsyanendra berteriak.
“Masuk, Mo….. Aku di dapur, lagi sarapan.”
Kusparmono masuk dengan membawa sebuah keranjang berisi tahu Kediri lalu dia berkata, “Ini dari ibuku untuk Bu Kus. Ibuku titip salam buat Bu Kus dan untuk kamu.”
“Ibumu sekarang dimana?”
“Ibuku sudah pindah kembali ke Ponorogo. Kemarin pagi Ibu kesini, tapi sorenya pulang ke Ponorogo. Ibu harus mengurus Ayahku di sana. Ibu mengatakan kalau di Ponorogo nggak ada yang ngurus Ayah.
“Wah, padahal aku pingin juga ketemu Ibu dan Ayahmu.”
“Aku sudah mengatakan kalau kamu sedang liburan ke Wates tapi Ibu nggak sempat menengok kemari. Jadi, Ibu sudah titip salam untuk Bu Kus dan kamu.”
“Ayo makan, Mo.” Ajak Arsyanendra.
“Aku sudah makan. Oh iya, ayo kita ke stasiun kereta.”
“Ke stasiun kereta? Mau apa?”
“Ibumu tadi malam minta agar aku mengantarmu pagi ini ke stasiun dan kamu harus pulang ke Surabaya.”
“Lhoooo ….. Kok…… “
“Itulah pesan dari ibumu…..”
“Rya, benarkah ibu minta kita ke Surabaya?”
“Iya, Mas. Kemarin malam, Bu Kus membangunkan saya dan berpesan supaya kita segera ke Surabaya tanpa beliau. Bu Kus ingin meminta kembali butiran karang yang diambil orang dari tangan Mas Syanen kemarin malam.”
“Ibu kenapa nggak bicara langsung padaku?”
“Nen……. Ibumu menganggap kamu orang awam dalam urusan barang yang nggak kelihatan. Jadi, ibumu nggak ingin melibatkanmu dan kemarin malam, ibumu sudah membuatmu tidur cepat dengan lelap.”
“Kalau kamu? Apakah kamu nggak awam?”
“Sebelum ini, aku juga awam. Tapi, ibumu mengajari aku secara perlahan.”
“Jadi, kamu sekarang sudah seperti Ibu?”
“Eeehhh jangan menganggap ibumu seperti itu. Kamu kemarin kalau nggak digendong dan diobati ibumu apakah kamu kira bisa sembuh seperti sekarang?”
“Iya, Mas. Bu Kus kemarin memang aneh. Saya baru sekali ini melihat orang seperti Bu Kus, bisa menyembuhkan orang dengan hanya satu kali usap pada bagian yang sakit atau bengkak.”
“Wah, kamu juga jadi ikut-ikut Ibu….. “
“Iiiih, Mas Syanen ini gimana sih.” Sahut Naryama.
“Aku bukan mengabaikan, tapi sulit menerima hal itu.”
“Sudahlah, sebaiknya bersyukur punya Ibu seperti itu.”
Arsyanendra diam, lalu bersiap menuju ke stasiun kereta. Dan, dengan tidak lanjutnya pembicaraan tentang kemampuan Bu Kus yang dianggap aneh, Naryama langsung menangkap kalau Arsyanendra tidak suka bicara masalah itu. Karena itu, Naryama berkemas kemudian mereka berangkat menuju ke stasiun.
*
Hamparan sawah di kanan dan kiri jalan kereta, membuat Arsyanendra kagum. Beberapa kali ia mengangguk serta tersenyum, seolah sedang memuji keindahan alam tanpa mengeluarkan suara.
Pemandangan itu membuat Arsyanendra merasa selama ini sering mengabaikannya, padahal keindahan seperti itu sangatlah membuat orang merasa tentram.
Deretan rumah penduduk, serta hamparan padi di sawah yang menguning telah mengkikis hati resahnya akibat khawatir soal ibunya yang pergi tanpa pamit.
“Mas Syanen dari tadi kenapa diam saja?”
“Aku kagum pada keindahan alam di sekitar Kediri.”
“Lho, kenapa baru sekarang?”
“Iya, sih. Waktu berangkat kita lewat sini, tapi waktu itu aku fokus pada rombongan sinden, terus kagum melihat kecantikanmu dari dekat.” Ujar Arsyanendra sambil tersenyum menggoda.
“Iiihh…… Mas Syanen ini sudah pinter menggombal ya.”
“Kok menggombal. Aku mengatakan apa adanya, lho.”
“Apa benar Mas Syanen kagum pada saya?”
“Iya, makin lama dilihat kamu semakin mengagumkan.”
Wajah Naryama merah dan ia menundukkan kepala karena jadi salah tingkah. Naryama tidak menyangka sama sekali kalau Arsyanendra mengatakan hal seperti itu padanya.
Dalam benak Naryama, dia berpikiran kalau Arsyanendra menyukai Tyana. Jadi, bagi Naryama, perkataan Arsyanendra seperti itu sangat membuatnya berbunga-bunga.
Naryama berpikir, apakah karena kenekatannya mencium Arsyanendra jadi penyebab atau Naryama memang menarik bagi Arsyanendra? Dalam benak Naryama berkecamuk, perasaannya tidak menentu antara senang dan ragu pada sosok Arsyanendra.
Ia senang karena merasa seperti sudah mendapat perhatian, tetapi ragu apakah Arsyanendra memujinya karena dia berlaku agresif pada Arsyanendra.
Di sisi lain, saat Arsyanendra sadar kalau ucapannya telah membuat Naryama salah tingkah, karena itu ia berusaha membuat suasana kembali netral dengan bertanya hal lain.
“Kamu ujian dokter gigi kapan? Apakah sudah siap?”
“Tiga bulan lagi, Mas. Jadi, mulai sekarang sudah harus mulai mempersiapkan mental.”
“Mudah-mudahan lulus.”
“Terima kasih doanya.” Sahut Naryama dengan senyuman, pertanda dia sudah bisa menguasai diri lagi.
Keduanya lalu saling pandang kemudian saling senyum dan ternyata senyuman Naryama kali ini telah membuat Arsyanendra bingung sebab senyuman itu membuat pikirannya terpecah pada dua orang yaitu pada Tyana dan Naryama.
Adanya senyuman itu membuat rasa sukanya pada Tyana mulai tergerus oleh pemikirannya tentang besarnya atensi Naryama pada keluarga dan dirinya seperti cara Naryama memperlakukan kakek, nenek dan ibunya.
Atensi Naryama tiba-tiba membuat Arsyanendra gelisah dan bimbang pada pemikiran apakah sebaiknya dia ambil keputusan mendekati Naryama daripada memikirkan Tyana yang menghilang.
Ciuman mendadak dari Naryama juga merupakan suatu hal yang membuat dia merasa kalau Naryama menyukainya. Karena itu, Arsyanendra mulai berpikir apakah akan mengatakan kalau hatinya akan diberikan pada Naryama.
Namun, tiba-tiba dia ragu saat teringat Faustina. Dalam hatinya, sebenarnya ia masih mencintai Faustina walaupun Faustina sudah menikah dengan sahabat baiknya selama di Amerika Serikat.
“Mas Syanen kenapa?”
“Enggak apa-apa.” Jawabnya lalu ia ambil nafas panjang.
“Mas Syanen sedang kepikiran Bu Kus, ya? Saya yakin Bu Kus akan baik-baik saja. Menurut Mbak Frisanti, Bu Kus adalah perempuan yang mandiri dan sangat hebat dalam mengatasi segala masalah sejak belum sekolah.”
“Apa iya? Kenapa Mbak Frisanti cerita itu padamu?”
“Mbak Frisanti cerita karena ingin saya dapat gambaran tentang siapa eyang di Surabaya dan siapakah Bu Kus, menantu kesayangan beliau yang harus saya urus sambil saya kuliah.”
“Rya, apakah kamu tahu keluarga Frisanti?”
“Kami bertetangga dengan keluarga Bu Dokter Ningrum sejak saya bayi.”
“Kamu sering bertemu mereka? Seberapa sering?”
“Pokoknya sering sekali, sejak belum sekolah, bu dokter Ningrum dan mbak Frisanti suka mengajak saya kalau ke pasar.”
“Oh iya…… Berarti kalian dekat ya?”
“Iya, Mas. Kami dekat. Mbak Frisanti sering mengajari saya dan kakak saya sampai kami lulus SMA. Mas Syanen apakah tahu kalau Mbak Frisanti selalu menjadi juara di sekolah sejak kelas satu sekolah dasar sampai jadi dokter spesialis penyakit dalam.”
Arsyanendra tidak bertanya lagi dan dia mulai mengingat wajah kakak tirinya yaitu Frisanti dan Bu Ningrum yaitu ibunya Frisanti. Kini, timbullah kenangan masa kecilnya ketika dia dan seluruh saudara tirinya bertemu saat libur sekolah.
Kenangan masa kecil bersama saudara tirinya di Jogja, di Wates, di Mojokerto, di Surabaya dan di Bogor seolah membawa Arsyanendra pada sebuah gedung bioskop yang tergambar setiap kejadian demi kejadian saat mereka kecil.
Dia tiba-tiba tersenyum saat ingat wajah cantik Frisanti dan saudara tiri lainnya saat mereka ramai-ramai menggotong dirinya ke rumah Bu Ningrum ketika Arsyanendra jatuh dari pohon jambu di rumah teman sekolah Frisanti yang dekat dengan rumahnya.
“Mas Syanen kenapa tersenyum sendiri?”
“Aku teringat saat liburan sekolah di Jogja, aku jatuh dari pohon jambu dan Mbak Frisanti memimpin semua saudara tiriku untuk membawa pulang, kemudian ibunya dijemput dari rumah sakit ketika ibunya sedang praktek demi menolongku.”
“Mas…….. Sejak kita bertemu, saya coba mengingat ingat lagi tentang siapa Mas Syanen. Sekarang rasanya saya sudah mulai mengingat tentang Mas Syanen.”
“Maksudmu?”
“Saya dulu suka sekali datang ke rumah Mbak Frisanti kalau saudara tirinya datang ke Jogja pada saat liburan sekolah. Saya juga ingat kalau sebagian besar saudara tiri Mbak Frisanti adalah laki-laki.” Ujar Naryama sambil tersenyum.
“Hahaha… Kamu suka pada salah satu dari saudara tirinya Mbak Frisanti ya?”
“Hihihihi…… Iya, tapi saya……. Malu……. “
“Kamu suka pada siapa?”
“Hihihi….. Saya malu, Mas….. “
“Mbak Frisanti tahu?”
“Tahu juga, Mas. Kakak laki-lakinya Mbak Frisanti juga tahu bahkan Bu Ningrum juga tahu…. “
“Terus, mereka gimana?”
“Mereka mengatakan kalau mereka berdoa semoga saya berjodoh dengan saudara tirinya Mbak Frisanti.”
“Siapakah dia? Hayo….. Nanti akan kutanya pada Bu Ningrum tentang kamu.” Kata Arsyanendra dengan tersenyum sambil melirik Naryama.
“Hihihi…… Saya malu dan….. Saya juga sudah lupa. “
Arsyanendra berusaha mengingat kembali saat dia jatuh dari pohon jambu ketika dia berlibur sekolah di Jogja. Akan tetapi, seingatnya yang jatuh dari pohon jambu ada beberapa saudara tirinya yaitu tiga lelaki dan dua perempuan.
Ketika ingat peristiwa tersebut, Arsyanendra mengangguk tanda dia bahagia pada masa-masa masih di sekolah dasar.
Sedangkan, Naryama mencoba untuk mengingat kembali masa-masa kecilnya saat dia sering ikut bermain dengan saudara-saudara tiri tetangganya di Jogja.
Naryama merasa yakin kalau Arsyanendra di waktu kecil selalu mengajaknya bermain sedangkan saudara tiri laki-laki dari Frisanti lainnya lebih senang bermain di rumahnya. Ia juga ingat kalau kakak Naryama suka pada anak itu dan anak itu juga sangat menyukai kakaknya Naryama walaupun saudara tiri laki-laki Frisanti lebih muda dari kakaknya.
Naryama tiba-tiba merasa bingung, siapakah saudara lelaki Frisanti yang suka padanya dan siapa saudara tiri Frisanti yang suka pada kakaknya.
Keraguan pada diri Naryama timbul. Dia lupa dan juga tidak pasti siapakah nama saudara tiri Frisanti. Keraguan itu terlihat jelas oleh Arsyanendra. Hal itu dikarenakan wajah Naryama berubah dari tersenyum tiba-tiba diam dan dahinya berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu masalah sulit.
“Kamu kenapa?” Tanya Arsyanendra.
“Enggak…… Saya nggak kenapa-kenapa, Mas.”
“Nggak kenapa-kenapa tapi wajahnya mencureng.”
“Mas… ” Ucap Naryama sambil memandang Arsyanendra.
Rupanya, ia ingin memastikan apakah Arsyanendra adalah anak yang dulu selalu menjemput di rumah dan mengajak bermain bersama saudara-saudara tirinya atau bukan. Akan tetapi, setelah beberapa saat mereka saling pandang, Naryama tidak juga dapat gambaran tentang kebenaran pikirannya.
Lain halnya Arsyanendra. Dia terlihat tidak terlalu peduli dengan peristiwa masa kecilnya. Karena itu, pikiran Arsyanendra tidak fokus pada masa kecilnya. Ia lebih fokus pada masa sekarang.
Bagi Arsyanendra, perasaan pada Tyana adalah perasaan cinta dan perasaan pada Naryama adalah perasaan kekaguman pada sikap lembut dan peduli pada keluarga termasuk cara Naryama melayaninya.
Bibit rasa suka pada Naryama yang tumbuh dari lubuk hati Arsyanendra secara perlahan, kembali membuat Arsyanendra jadi bingung dan itu membuat dia makin kelihatan gelisah dan itu terus berlanjut hingga mereka tiba di stasiun Gubeng, Surabaya.
“Yuk, kita naik taksi.” Ajak Arsyanendra.
“Baik, Mas.”
Keduanya lalu menuju pangkalan taksi setelah keluar dari stasiun. Selama dalam perjalanan, keduanya tidak banyak bicara, tetapi saat taksinya sampai di tengah jalan Sudirman, tangan mereka bersentuhan karena taksi itu belok ke kanan memutari bundaran patung bambu runcing di pertengahan jalan.
Ketidaksengajaan saling bersentuhan tangan antar mereka, membuat hati Arsyanendra dan Naryama sama-sama berdetak amat kencang. Namun, keduanya berusaha menguasai diri.
Setibanya di rumah, keduanya sangat terkejut ketika mereka melihat Bu Kus di ruang tamu duduk seorang diri sambil memegang pundi-pundi butiran karang.
“Lho…… Ibu kok sudah di sini?”
“Iya, Ibu kemarin malam mengejar orang yang mengambil butiran karang ini dan memintanya kembali.”
“Ibu ternyata sangat peduli pada barang nggak jelas.”
“Syan…… Butiran karang ini bukan barang nggak jelas. Percayalah pada Ibu kalau butiran karang ini penting buat kamu. Mulai sekarang, kamu harus menyimpan baik-baik sebagai kenang-kenangan dari sesepuh kita.”
“Ya sudah, terserah Ibu…… “
“Sekarang, kalian istirahat…. Besok kita ke Gresik.”
“Iya, Bu…. Eh, gimana Ibu tahu siapa yang meminta butiran karang dariku?”
“Awalnya tidak. Karena itu, Ibu tanya pada Ayahmu siapa yang mengambil paksa butiran karang ini dari kesayangan Ibu.” Ujar Bu Kus dengan senyuman lebar.
“Ibu ini……. Bu, aku malu kalau diperlakukan seperti anak kecil terus.”
“Hihihihi…… Kamu memang anak Ibu yang masih imut.”
“Ibu ini, bikin aku malu aja.”
Kreator : Hepto santoso
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: Rahasia Butiran Karang Bab 7
Sorry, comment are closed for this post.