Pilihan Yang Sulit
Pada suatu sore, Alya bertemu Raka di studio Raka. Di tengah obrolan santai, Alya akhirnya memberanikan diri untuk membicarakan tawaran dari galeri.
“Raka, aku ingin menawarkan sesuatu,” katanya dengan hati-hati. “Galeri tempatku bekerja ingin memamerkan karyamu. Dengan syarat beberapa hal yang harus diubah.”
Raka terdiam sejenak, tatapannya serius. “Apa maksudmu, Alya?”
“Mereka ingin karyamu lebih formal. Mungkin ada sedikit perubahan dalam cara kamu menyajikan karya. Ini kesempatan besar untukmu, Raka. Kamu bisa dikenal oleh banyak orang.”
Wajah Raka berubah. “Aku tidak melukis untuk itu, Alya. Aku tidak bisa berubah hanya demi menyenangkan orang-orang yang tidak mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan saat melukis.”
Alya merasa kecewa, baik pada dirinya sendiri maupun pada situasi ini. Dia tahu apa yang dia lakukan tidak benar, tapi di sisi lain, dia ingin membantu Raka mencapai kesuksesan yang lebih besar.
“Ini bukan tentang merusak karya senimu, Raka,” Alya mencoba membujuknya. “Ini tentang kesempatan untuk menunjukkan pada dunia apa yang bisa kamu lakukan.”
Tapi Raka menggeleng pelan. “Aku tidak butuh dunia, Alya. Aku hanya butuh melukis apa yang aku rasakan. Jika itu tidak cukup untuk mereka, maka biarlah.”
Alya terdiam. Di saat itu, dia sadar bahwa cinta dan hubungan tidak selalu bisa mengatasi perbedaan visi yang begitu besar. Cinta mereka, sekuat apapun, mungkin tidak bisa menyatukan dua dunia yang sangat berbeda.
Cinta di Tengah Kegelisahan
Alya pulang malam itu dengan pikiran kacau. Pertemuannya dengan Raka di studio meninggalkan perasaan hampa. Dia memahami prinsip Raka, tapi dia juga merasa gagal. Di satu sisi, dia tidak ingin menekan Raka untuk berubah, namun di sisi lain, dia terikat oleh tuntutan pekerjaan dan ekspektasi Aditya. Malam itu, untuk pertama kalinya, Alya mempertanyakan tujuan hidupnya.
Di rumahnya yang minimalis namun elegan, Alya duduk di meja kerja dan memandang koleksi catatan kerjanya. Tawaran Aditya untuk mengorbitkan Raka tampak menggoda. Tapi hatinya tak bisa tenang.
Sinta, yang biasanya menjadi pendamping Alya dalam menghadapi kebingungan seperti ini, meneleponnya.
“Alya, kamu kelihatan gelisah sejak bertemu Raka. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Sinta dengan nada perhatian.
Alya menceritakan semua yang ada di pikirannya. “Aku merasa terjebak. Aku ingin Raka dikenal lebih banyak orang. Karyanya indah, Sinta, tapi dia tidak mau berkompromi. Aku mulai berpikir, mungkin kita terlalu berbeda.”
Sinta tersenyum tipis di ujung telepon. “Kamu jatuh cinta, Alya. Tapi cinta itu memang selalu menguji kita. Mungkin ini saatnya kamu mempertimbangkan apa yang benar-benar kamu inginkan dalam hidup bukan cuma soal pekerjaan, tapi juga soal perasaan.”
Perasaan yang dipendam selama ini mulai mengemuka di hati Alya. Apakah dia lebih peduli pada pekerjaannya, atau pada cinta yang sedang tumbuh? Pikirannya terus berputar hingga larut malam, dan dia tak bisa memejamkan mata dengan tenang.
Di Antara Dua Dunia
Beberapa hari berlalu. Alya mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan untuk melupakan kegelisahannya, tapi setiap kali dia berada di galeri, bayangan Raka dan percakapan mereka terus menghantui pikirannya. Bahkan lukisan-lukisan di galeri yang biasanya membuatnya merasa bangga kini terlihat kosong dan tanpa jiwa.
Aditya, yang menyadari kegelisahan Alya, memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri. Dia menghubungi Raka tanpa sepengetahuan Alya, menawarkan pameran besar dan menjanjikan penghasilan besar dari karyanya. Bagi Aditya, seni adalah bisnis dan dia tahu potensi komersial Raka.
Suatu sore, ketika Alya sedang bekerja di galeri, Raka muncul di sana. Alya kaget melihatnya, terutama karena wajah Raka tampak tegang, sesuatu yang jarang ia lihat pada pria itu.
“Aku bicara dengan bosmu tadi,” kata Raka, tanpa basa-basi. “Dia bilang aku bisa mengadakan pameran di sini, tapi dengan syarat aku harus mengubah gayaku, harus menyesuaikan karya-karyaku dengan selera pasar.”
Alya terkejut, sekaligus marah. “Aditya tidak seharusnya menghubungimu tanpa memberitahuku.”
“Tapi, itulah kenyataan di dunia kalian, kan?” Raka berkata dengan nada sinis. “Segalanya harus sesuai dengan keinginan orang lain, harus laku dijual, bukan tentang apa yang seniman rasakan.”
Alya merasa tersudut. “Aku tidak pernah ingin memaksamu, Raka. Tapi aku juga ingin kamu bisa mencapai lebih banyak orang, agar dunia bisa melihat betapa hebatnya karyamu.”
Raka menatap Alya dengan mata penuh kekecewaan. “Kamu benar-benar tidak mengerti, ya? Aku tidak melukis untuk pengakuan orang. Kalau aku harus kehilangan jiwaku demi itu, aku lebih baik tetap berada di jalanan.”
Alya terdiam, hatinya tersayat. Dalam kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti mereka, dia sadar bahwa ada jurang besar yang memisahkan mereka, yang mungkin tidak bisa dijembatani.
Luka yang Terbuka
Setelah pertengkaran itu, Raka menjauh dari Alya. Dia berhenti membalas pesan-pesannya, dan Alya pun merasa kehilangan. Hatinya berat, dan dia tidak bisa fokus pada apa pun. Hari-harinya di galeri terasa kosong tanpa kehadiran Raka dalam hidupnya.
Suatu malam, Sinta datang berkunjung ke apartemen Alya dengan membawa sebotol anggur dan pizza. “Kamu terlihat kacau,” kata Sinta sambil duduk di sofa, memandang Alya yang duduk lesu di sebelahnya.
“Aku merasa semuanya salah,” jawab Alya, memandang keluar jendela yang memperlihatkan gemerlap kota. “Raka menjauh. Aku tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.”
Sinta menghela napas dan menatap Alya dalam-dalam. “Kadang, cinta itu soal memberi ruang. Kamu dan Raka punya jalan hidup yang berbeda, tapi bukan berarti kalian tidak bisa saling menemukan lagi. Mungkin sekarang saatnya kamu juga menemukan apa yang benar-benar kamu inginkan.”
Alya terdiam. Kata-kata Sinta menusuk dalam, karena ia tahu apa yang dimaksud temannya. Mungkin selama ini dia terlalu fokus pada karir dan pada apa yang diharapkan oleh orang lain Aditya, galeri, dunia seni komersial hingga dia lupa pada dirinya sendiri.
Di tengah malam itu, Alya memutuskan sesuatu. Esok harinya, dia mengirimkan surat pengunduran diri ke Aditya. Dia tahu bahwa dunia galeri bukan lagi tempatnya, bukan ketika seni yang dia yakini tak lagi tentang kebebasan dan perasaan, tetapi tentang angka dan keuntungan.
Mencari Diri Sendiri
Setelah meninggalkan pekerjaannya di galeri, Alya merasa bebas untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Namun, kebebasan ini juga membawa kebingungan. Dia tidak tahu harus mulai dari mana, atau apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Tapi dia tahu satu hal: dia tidak bisa membiarkan hubungannya dengan Raka berakhir begitu saja.
Di suatu pagi yang cerah, Alya memutuskan untuk mengunjungi studio Raka. Hatinya berdebar, tidak tahu apa yang akan terjadi. Ketika dia tiba di sana, Raka sedang duduk di depan sebuah kanvas kosong, tatapannya kosong.
Raka menoleh saat mendengar langkah Alya, tapi tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya kelelahan. “Kamu di sini,” katanya dengan nada datar.
“Ya, aku di sini,” jawab Alya sambil berjalan mendekat. “Aku sudah berhenti dari galeri.”
Raka menatapnya, jelas terkejut. “Kenapa?”
Alya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Karena aku ingin menemukan kembali apa yang benar-benar aku cintai. Selama ini aku bekerja untuk kepentingan orang lain, dan aku lupa bahwa seni seharusnya membawa kebebasan, bukan tekanan.”
Raka terdiam, merenungkan kata-kata Alya. “Aku tidak pernah ingin kamu memilih antara aku atau karirmu, Alya.”
“Aku tahu,” jawab Alya dengan lembut.
“Tapi ini bukan tentang memilih antara kamu dan pekerjaanku. Ini tentang menemukan jati diriku lagi. Dan dunia yang kamu tunjukkan padaku membuatku sadar bahwa hidup ini lebih dari sekadar kesuksesan atau pengakuan.”
Suasana hening di antara mereka, namun kali ini bukan karena perbedaan, melainkan karena pemahaman. Raka berdiri dan berjalan mendekati Alya. Tatapannya lembut, dan senyum tipis terbentuk di wajahnya.
“Mungkin kita bisa mulai dari awal lagi,” kata Raka dengan nada rendah. “Tanpa tekanan, tanpa ekspektasi.”
Alya tersenyum, matanya mulai berembun. “Aku ingin itu lebih dari apapun.”
To be Continued.
Kreator : Ihsan Mulia Siregar
Comment Closed: Rona Rasa Dibalik Kanvas Chapter 2
Sorry, comment are closed for this post.