Secuplik kisah yang membawaku kembali ke masa itu, belasan tahun yang lalu.
“Halo, Bu. Selamat pagi.”
Suara sapaan yang terdengar ceria dari seorang gadis berambut sebahu, terdengar di depan pintu kelasku. Saat itu aku sedang menyiapkan ruang kelas untuk tahun ajaran baru. Aku menoleh seraya mengembangkan senyuman.
“Hai, selamat pagi.”
Si gadis balas tersenyum, menghampiri untuk mengulurkan tangan dan bersalaman.
“Ibu pasti Bu Rina. Saya murid pindahan di kelas lima, Bu. Nama saya Dini.”
Wah, ini yang namanya Dini yang akan menjadi murid baru di kelas. Kami pun melanjutkan obrolan singkat pagi itu. Dini datang bersama ibu dan adik perempuannya untuk melakukan pendaftaran ulang. Dini adalah salah satu muridku di kelas 5 tahun ini. Dia adalah siswa pindahan dari sekolah lain.
“Sampai jumpa hari Senin di kelas ini ya, Din.”
Dini pun berpamitan dan berlalu dari pandanganku. Awal pertemuan yang sangat mengesankan.
Senin pagi yang cerah. Seorang anak laki-laki bertubuh tinggi dan gempal, berkulit putih, bermata sipit, berjalan menuju ruang kelas 5. Senyuman manis tersungging dan menarik mata sipitnya sehingga tampak sedikit terpejam, sambil menyapaku dan mengulurkan tangan untuk bersalaman layaknya murid kepada guru.
“Assalamu’alaikum, Ibu.”
“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi wa barakatuh. Kamu Kale, kan?” tanyaku sembari memperhatikan wajahnya yang nampak sama dengan yang tertera di dokumen pendaftaran.
Kale, anak yang juga ceria, penuh semangat, dan murah senyum. Dia juga adalah murid pindahan dari sekolah lain. Sebelum Kale resmi diterima di sekolah ini, kami sudah mengetahui ia memiliki hambatan akademik.
Menjadi guru kelas lima adalah pengalaman pertamaku menjadi wali kelas di sekolah ini. Kisah ini adalah salah satu perjalananku menjadi seorang pendidik. Memahami, menjalani dan memaknai peran sebagai guru di sebuah sekolah yang masih sangat baru. Sebuah peran yang patut aku syukuri. Menjadi guru untuk enam orang murid yang memiliki keunikan yang beragam, serta menjadi bagian dalam perjalanan masa remaja mereka yang penuh dengan warna.
Satu per satu, murid lainnya berdatangan. Ada Musa, dengan gaya khasnya yang kelem, punya cita-cita menjadi seorang ustad. SeIain santun, ia juga memiliki kecerdasan akademik yang cukup baik. Lintang, si ceriwis dan cerdas yang selalu berpenampilan rapi. Adam, si pendiam yang jago bahasa Inggris dan senang membantu teman. Dan Rafi, meskipun gayanya terlihat cuek tapi ia selalu menceritakan bagaimana ia memberikan perhatian kepada adiknya di rumah. Rafi juga selalu bersemangat jika menceritakan hal-hal yang berbau otomotif.
Mereka tampak menegur dan mengobrol dengan Kale sang murid baru. Lega rasanya melihat mereka cepat berbaur. Dini menyusul datang, persis 5 menit sebelum bel berbunyi. Melihat Dini, Lintang menghampiri dan berkenalan dengan Dini. Tentu saja binar bahagia terlihat di wajah Lintang, karena akhirnya dia memiliki teman perempuan. Keenam muridku langsung bisa berbaur. Tahun ini aku akan membersamai mereka di ruang kelas istimewa kami dengan cerita yang tak kalah istimewa.
Setiap hari, ada saja kisah yang mengisi ruang kelas ini. Dini dan Lintang seringkali membantuku mengingatkan teman-temannya yang mulai tidak tertib di kelas. Di pelajaran matematika, Kale sering sekali tampak ingin menangis, tertunduk dan enggan mengikuti kegiatan. Sejak awal aku sadar, Kale masih sangat membutuhkan bimbingan dalam memahami dan mencerna informasi. Adam, diam-diam sering memotivasi Kale sambil sesekali membantunya memahami materi. Akhirnya khusus pelajaran ini, Kale diberikan cara yang berbeda tanpa memaksakannya mencapai kompetensi akademik yang sama dengan teman-teman lainnya. Di waktu lain saat Pelajaran musik, Kale lah yang paling cepat menunjukkan kemahirannya bermain seruling. Dari situlah aku menyampaikan kepada orangtuanya, musik bisa menjadi salah satu minat yang ia kembangkan.
Dengan kelas berisi enam orang murid, bukan berarti lantas semua berjalan mulus. Konflik antar teman, masalah identitas diri, hingga krisis percaya diri juga mewarnai kondisi kelas ini. Meski Lintang dan Dini tampak akrab, namun sebagai sesama perempuan tak jarang mereka saling beradu pendapat hingga pernah terjadi perang dingin di antara mereka. Kale sangat berproses dalam menumbuhkan percaya diri di tengah teman-teman yang menurutnya lebih hebat darinya. Adam, Rafa, dan Musa lebih sering bersikap netral jika konflik sudah terjadi. Banyak sekali kisah yang terukir di kelas 5 ini. Di saat kesulitan mereka pantang menyerah dan saling menguatkan. Di saat berhasil mereka tetap rendah hati. Di saat marah dan sedih, mereka belajar mengontrol emosi. Ya, sebuah kelas tidak hanya melulu soal mengajarkan materi pelajaran, tapi bagaimana murid-murid bisa belajar untuk menyelesaikan masalah kehidupan mereka.
Aku bukanlah guru yang sempurna, namun keenam muridku telah mengajariku bagaimana menjadi seorang guru. Mereka telah membuat kelas yang sederhana menjadi sangat mewah dengan menunjukkan nilai-nilai kebaikan. Mereka telah mengisi ruang Istimewa di hatiku.
Kreator : Tina Sugiharti
Comment Closed: Ruang Istimewa
Sorry, comment are closed for this post.