KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Rupiah dari Butir-butir Pasir di Sungai

    Rupiah dari Butir-butir Pasir di Sungai

    BY 28 Jun 2024 Dilihat: 250 kali
    Rupiah dari Butir-butir Pasir di Sungai_alineaku

    Rumahku tidak jauh dari sungai. Sekitar satu kilometer saja. Dengan berjalan kaki, tak sampai 15 menit sudah sampai di Kali Progo. Di Kali Progo inilah kami mengambil butir-butir pasir untuk dijual ke warga dusun. Kami pun mendapatkan sejumlah rupiah yang dapat kami gunakan untuk jajan atau iuran membeli bola kaki. 

    Kali Progo mengalir dari utara ke selatan, dari wilayah Provinsi Jawa Tengah ke DIY, dan bermuara ke Samudra Indonesia. Sungai sepanjang 140 km ini membatasi secara alamiah wilayah Kabupaten Kulon Progo di sisi barat, dan Kabupaten Sleman dan Bantul di sisi timur. 

     

    Setahuku, Kali Progo ini berhulu di Gunung Merapi. Namun, ternyata, menurut artikel di Wikipedia, air yang mengalir di Kali Progo ini berhulu di lima gunung, yaitu Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, dan Pegunungan utara hingga timur Temanggung. Layak di sepanjang tahun, air Kali Progo tak pernah mengering. Kali Progo selalu mengalirkan air, dan pada musim kemarau hanya surut saja. 

     

    Aku tinggal di sisi barat Kali Progo, sehingga sering diledek berasal dari west prog. Ha ha, ya diledek seperti itu, aku malah senang, seolah-olah aku berasal dari mancanegara. 

     

    Sejak aku masih anak-anak hingga saat ini berusia kepala lima, debit air di Kali Progo selalu terjaga. Jika musim penghujan, seringkali air berwarna coklat mengalir deras dan melebar menggapai ketinggian tebing di kanan dan kiri DAS. Dan jika musim kemarau, air mengalir jernih, menyusut ke tengah, tetapi tidak pernah sampai benar-benar mengering. Di saat seperti inilah, masyarakat sekitar DAS mengambil pasir dan bebatuan untuk membangun pondasi dan tembok rumah. 

     

    Saat ini, tahun 2024 ini, aku menyempatkan diri ke Kali Progo tempatku bermain dulu pada masa anak-anak. Sampai di tepi barat Kali Progo, di dusun Dukuh, Desa Wijimulyo, Kapanewon Nanggulan, aku melihat topografi sungai, wooo  telah jauh berubah. Benar-benar aku dibuat pangling. Bukit pasir (gumuk) setinggi 10 meter yang memanjang sejauh 50 an meter, tempat aku dulu bermain perang-perangan, sudah berubah menjadi rata dengan permukaan tanah di sekitarnya. Benar-benar pasir di tepi sungai ini telah dieksploitasi hingga habis. Rupanya, pengerukan pasir secara gede-gedean di Kali Progo marak pasca erupsi gunung Merapi pada 26 Oktober 2010. Erupsi Gunung Merapi yang menimbulkan banyak korban itu telah memberi berkah berupa pasir sungai yang berlimpah di Kali Progo. Konon, pasir dari Kali Progo merupakan yang terbaik di Pulau Jawa ini, sehingga banyak diburu para penambang. 

     

    Selama beberapa bulan, tampak di daerah itu, tiap hari ratusan truk hilir mudik masuk keluar jalan dusun mengangkut pasir dari sungai ini. Tiap dusun memasang portal dan memberlakukan retribusi sebesar Rp 10 ribu untuk setiap truk yang lewat. Dampak positifnya, kas dusun berlimpah. Dana yang ada dipergunakan untuk memperbaiki jalan-jalan lingkungan, dan membiayai berbagai event dusun, dan pengadaan peralatan hajatan seperti tenda, kursi, sound system, meja kursi, dan sendok, piring, gelas, taplak dan lain-lain. 

     

    Roda ekonomi pun berputar lebih cepat. Banyak warga dusun yang terjun sebagai penambang di Sungai Progo mampu membangun rumah baru yang bagus. Yang sudah punya rumah direnovasi menjadi lebih mentereng. Demikian pula kendaraan motor dan mobil baru tampak berseliweran di dusun itu.   

     

    Warga di tiga dusun itu pun dapat hidup dengan  lebih sejahtera. Kondisi ini hanya bertahan sampai beberapa tahun. Saat ini roda ekonomi kembali melemah. Tidak ada lagi penambang pasir. Selain karena dilarang pemerintah, juga material pasir dan batu sudah tidak ada lagi. 

     

    Yang tersisa adalah dampak dari penambangan pasir yang menggila saat itu. Permukaan sungai pun menurun beberapa meter. Tidak ada lagi pantai berupa hamparan pasir yang luas tempat aku dan teman-temanku dulu bermain bola di sore hari. Saat ini, permukaan air menurun sampai beberapa meter. Di dinding-dinding tebing tampak garis putih bekas permukaan air pada masa lalu. Dan di satu titik tepian sungai, aku lihat ada bongkahan batu besar. Dulu batu ini tidak tampak, menyembul dengan sendirinya ke permukaan setelah pasir di atasnya dan di sekelilingnya habis dikeruk sampai beberapa meter ke dalam sungai. 

     

    Berada di tempat dengan topografi yang sudah berubah drastis itu, membuatku  seperti kehilangan masa laluku di tempat ini. Segala polah tingkah di pesisir kali ini sontak menyembul kembali, seperti bongkahan batu besar yang tiba-tiba nongol di permukaan tepi sungai.  

     

    Saat itu aku masih kelas 4-6 Sekolah Dasar, aku dan teman-temanku sebaya ikut-ikutan orang dewasa dan orang tua di kampungku, mengumpulkan pasir atau bebatuan di Kali Progo, lalu menjualnya ke tetangga atau warga dusun yang membutuhkan pasir atau batu kali. Entah untuk membangun pondasi rumah, tembok rumah, atau sedang memperbaiki rumah.  

     

    Kegiatan ini bisa kami biasa lakukan pada pagi atau sore hari, bergantung sekolah masuk pagi atau siang. Dan kami tidak pernah merasa malu melakukan pekerjaan ini. Hampir semua anak-anak di kampungku melakukan pekerjaan ini. Ya, pada masa itu, hampir tidak ada anak-anak dari keluarga berada. Sepertinya, keluarga-keluarga di kampungku kondisinya sama, kemampuan ekonominya rata-rata sama rendah. Hanya satu dua keluarga yang cukup berada, yaitu bos tenun setagen atau pegawai negeri.   

     

    Pasir yang kami kumpulkan itu lalu dijual kepada keluarga-keluarga yang sedang membangun rumah atau memperbaiki rumahnya. Dari berjualan itu kami memperoleh uang. Lalu uang itu kami pakai untuk jajan, atau kadang kami iuran untuk membeli bola kaki. Dengan demikian kami bisa bermain bola di pantai kali Progo pada setiap sore hari. 

     

    Sore itu beberapa anak sudah berkumpul di sungai. Di bawah pohon mangga yang rindang kami duduk-duduk sambil bercanda dan mengobrol. Tidak hanya anak laki-laki, juga ada anak-anak perempuan. Setiap anak memegang peralatan masing-masing, yaitu satu kandi atau karung dari plastik atau tenggok dari anyaman bambu. Sedang untuk menyerok pasir lalu dimasukkan ke karung kandi atau tenggok, ada yang menggunakan cangkul, sekop atau serokan dari batok kelapa. 

     

    Mentari sudah condong ke barat. Angin terasa sepoi-sepoi, bertiup kencang menyisir rambut anak-anak gadis yang terurai panjang melebihi bahu. Kami tidak lagi memakai seragam sekolah, tapi mengenakan kaos dan celana pendek. Anak-anak perempuan memakai rok atau celana pendek dan kaos. Setelah anak-anak berkumpul semua, kami mulai bekerja, memasukkan pasir ceruk demi ceruk  ke dalam karung masing-masing. Setelah dirasa cukup, tidak terlalu berat, masing-masing memanggul karung atau tenggok masing-masing. 

     

    Jarak sungai dengan tempat pengumpulan pasir sekitar 200 meter. Di bawah rumpun bambu, di situlah masing-masing anak mengepul pasir masing-masing onggok per onggok. Onggokan-onggokan pasir kami biarkan  di tempat pengepulan sampai beberapa hari. Setelah dirasa cukup banyak akan dibawa naik ke rumah keluarga yang memesannya. Kami biasa membawanya dengan cara memanggul atau dinaikkan sepeda. Di rumah pembeli, setiap anak menaruh pasir di onggokan masing-masing. Lalu ditakar dengan blek. Satu blek dihargai Rp 30,- (harga saat itu tahun 1980-an).  

     

    Biasanya aku bisa mengumpulkan pasir sampai 10-an blek. Berarti aku dapat uang Rp 300,-. Wooo senangnya. Uang itu aku kantongi, bisa buat jajan atau uang saku jika ada tontonan di desa. Biasanya ada pertunjukan sorot (layer tancep) di lapangan desa. Atau nonton ketoprak jika ada tanggapan dari keluarga yang sedang punya hajat. Di tontonan itu, aku mencari rumpun bambu terdekat. Sudah pasti, di tempat itulah permainan judi ‘dadu atau celiwik’ digelar. Aku pun ikut memasang. Walau tak pernah menang, ya lumayan, terhibur juga. 

     

    Seperti itulah kehidupan anak-anak di desaku. Termasuk aku yang berasal dari keluarga berjuang ini. Kami tidak bergelimang harta dan perhatian orangtua. Orangtua kami kebanyakan bertani dan buruh tani. Yang bertani pun tidak memiliki lahan luas berhektar-hektar. Paling hanya setengah hektar itu sudah yang paling luas. Anak-anak petani ya akrab dengan sawah ladang dan sungai. Jika butuh uang untuk jajan, kami mesti fight, berjuang memeras keringat, dengan cara mencari-cari kesempatan untuk bisa mencari uang sendiri. 

     

    Bukannya kami atau aku tidak pernah minta ke orangtua. Minta pun kami sudah tahu, tidak akan diberi, karena memang orangtua tidak punya uang. Dengan kami mengumpulkan pasir Kali Progo, lalu menjualnya ke keluarga-keluarga yang sedang membutuhkannya, kami bisa mendapatkan rupiah dari mengambil dan menjual butir-butir pasir di Kali Progo. “Asik” ucapku saat aku menerima uang pembayaran pasir. Puas deh, aku punya uang dari hasil keringat sendiri.  

     

    Kreator : Breska

    Bagikan ke

    Comment Closed: Rupiah dari Butir-butir Pasir di Sungai

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021