Ada satu keluarga yang terdiri ayah, ibu, dan 2 anak laki-laki. Mereka tinggal di sebuah kota. Anak yang pertama baru lulus kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri fakultas kependidikan. Anak yang kedua sudah 2 tahun lulus dari sebuah SMA negeri. Lulusan waktu pandemic covid.
“De, mau kuliah ke mana?” tanya ibunya.
“Gak… Ade malas mikir, Ma,” jawabnya.
“ Daftar ke TNI saja. Sejak kecil Ade cita-citanya ingin jadi tentara,” kata ibunya
“Gak… Ade belum siap fisik maupun mental,” jawabnya
Ibunya hanya mengelus dada. Memang Ade berbeda dengan masnya. Dia agak santai belajarnya. Mungkin dampak lama belajar jarak jauh saat pandemic covid.
Sehari-hari dia hanya pegang hp, diam di kamar, tidak pernah main dengan temannya. Ke luar rumah, waktu mau jajan saja. Saat ibunya kerja, dia menemani bapaknya yang sedang sakit. Dan ada tugas tambahan lain yaitu mencuci piring sedangkan masnya mencuci baju.
Setahun kemudian ibunya berbicara lagi padanya,”De mau kuliah atau kerja. Ini semua untuk kebaikan Ade ke depannya.”
“Ade gak mau kuliah. Juga belum siap bekerja. Ade mau menemani bapak saat mama kerja,” jawabnya.
Ibunya terharu. Hampir 6 tahun suaminya sakit stroke. Setahun ini dia tidak bisa jalan maupun bicara. Waktu ibunya bekerja Adelah yang menemani bapaknya. Kadang bareng dengan masnya. Seminggu 2 kali bapaknya terapi ke rumah sakit. Ade dan masnya yang mengantarnya. Kecuali kontrol sebulan 2 kali yaitu ke poli saraf dan poli ginjal dengan ibunya.
Ade lebih telaten merawat bapaknya, dibandingkan masnya. Dia dengan sabar menemani dan melayani bapaknya. Saat mau dimandikan, Adelah yang menggendong ke kamar mandi. Lalu dimandikan oleh ibunya. Setiap pagi, Adelah yang menjemurkan bapaknya. Saat makan siang, adelah yang memasak lauknya dan menyiapkannya. Karena bapaknya ingin lauknya yang baru dimasak.
Suatu waktu, pulang dari rumah sakit mengantar bapaknya, di agak pucat dan masnya juga batuk-batuk.
“Ma, Ade gak enak badan. Ade minta paracetamol,” katanya.
Mamanya khawatir, saat dipegang kening dan badannya panas sekali. Mamanya memberi paracetamol. Masnya juga batuk-batuk terus. Mamanya menyuruh kedua anaknya untuk istirahat.
Badan Ade semakin panas. Dia minta jaket dan celana panjang/training karena demam. Masnya sibuk mencarikan susu beruang dan obat kompres yang ditempelkan di kening. Biasanya kalau minum susu beruang, panasnya turun.
Setelah makan pagi, dia buru-buru ke kamar mandi. Katanya mual, pingin muntah. Ibunya tambah khawatir.
“Nanti sore Ade dan Mas berobat ke dokter!” kata ibunya.
“Gak, Ade saja. Mas hanya batuk dan flu biasa,” jawab masnya.
Selama bekerja, ibunya tak tenang. Sebentar-bentar nelpon masnya, menanyakan keadaan Ade dan Mas. Bapaknya juga libur terapi, karena tidak ada yang ngantar.
Ade diantar masnya ke dokter. Kata dokter kalau 3 hari tidak turun panasnya , harus cek darah takut DBD. Ibunya tambah khawatir. Semalaman ibunya kurang tidur. Ade belum turun-turun panasnya. Dia pucat sekali. Makan bubur pun sedikit.
“Ma…maaf Ade gak bisa cuci piring,” katanya.
Pada saat sakit, dia masih memikirkan tugasnya. Ibunya terharu dan bangga. Ternyata Ade memiliki tanggung jawab yang tinggi.
Selama 2 hari Ade tiduran saja di kamar. Panasnya mulai turun, makan pun mulai enak katanya. Ibunya bersyukur, Ade hanya panas biasa bukan DBD. Kata masnya bahwa Ade sudah sehat, sudah bisa main hp lagi. Bapak dan ibunya tersenyum dan bersyukur karena kedua anaknya sudah sehat.
Saat berduaan, ibunya kembali bertanya pada Ade tentang masa depannya. Ade tetap belum mau kuliah, juga bekerja. Ibunya menyadari bahwa pembelajaran itu bukan hanya di bangku sekolah atau kuliah. Bekerja itu bukan di sebuah perkantoran atau perusahaan.
Saat suaminya sakit, ini juga pembelajaran bagi dia dan anak-anaknya. Banyak pembelajaran yang mereka dapatkan. Yang paling berharga adalah belajar sabar dan pandai bersyukur.
Kreator : N. Ai Kusumawati
Comment Closed: Sebuah Pembelajaran
Sorry, comment are closed for this post.