KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Catatan Harian
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kisah Inspiratif
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • Manajemen
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Opini
  • Organisasi
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • SDM
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Artikel » Senja, Plastik dan Cinta yang Tak Pernah Usang

    Senja, Plastik dan Cinta yang Tak Pernah Usang

    BY 07 Jul 2025 Dilihat: 11 kali
    Senja, Plastik dan Cinta yang Tak Pernah Usang_alineaku

    JICC, Penutupan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 24 Juni 2025

    Langit Jakarta sore itu menggantungkan mendung tipis, seperti enggan benar-benar melepaskan hari. Namun di pelataran luas Jakarta International Convention Center (JICC), kehangatan justru membuncah. Di tengah udara yang lembab dan lalu lalang manusia, ada rasa yang tidak bisa dijelaskan oleh data atau laporan; rasa pulang, rasa diterima kembali oleh kenangan.

    Hari itu adalah penutupan Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025. Temanya, “Hentikan Polusi Plastik!”, bukan sekadar seruan. Ia terasa seperti gema yang menyentuh dasar hati. Terutama bagi kami, para pejuang sunyi yang telah puluhan tahun mengabdikan waktu dan tenaga, demi satu harapan sederhana; bumi yang lebih baik. Lalu tiba-tiba terdengar sebuah panggilan.

    “Nurul!!”

    Suaranya membelah ingatan. Aku menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok yang begitu kukenal.

    “Ya Allah, Mbak Retno!”

    Pelukan kami menghapus jeda belasan tahun. Tidak ada basa-basi. Hanya pelukan panjang yang menghangatkan, seolah waktu bisa dilipat dan kami kembali ke masa saat kami masih muda, penuh mimpi dan idealisme yang kadang melelahkan.

    “Gila, ya… umur kita nambah, tapi semangatnya kok kayak nggak ikut tua?” ujarnya.

    Aku tertawa, dan di samping kami, Pak Bayu menyahut dengan gaya khasnya. “Eh, bagi-bagi dong semangat awet mudanya…”

    Kami tertawa bersama. Ternyata, rindu itu bukan hanya pada orang, tapi juga pada versi dirimu yang dulu pernah berjuang begitu keras untuk sesuatu yang kau yakini; bumi yang sehat dan berseri.

    Di Ruang Nuri, ada diskusi tentang Life Cycle Assessment (LCA) dan resolusi sengketa lingkungan. Moderator muda melontarkan pertanyaan yang membuat ruangan hening.

    “Apa yang lebih berat dari menilai daur hidup sebuah produk?”

    Seseorang di belakang menjawab, “Menilai keputusan yang pernah kita buat; yang kita kira baik, tapi diam-diam menyakiti bumi.” Kalimat itu menggantung. Seperti cermin. Membuat kami semua diam dan merenung.

    Keluar dari ruang diskusi, aku menyusuri stand-stand yang ramai. Hampir semua berbicara tentang plastik; dan bagaimana kita bisa hidup tanpanya. 

    Ada anak muda yang menjual sedotan dari batang kelapa. Ada ibu-ibu RW dari Bantar Gebang memamerkan tas dari bungkus kopi. Dan aku berdiri lama di depan karya mereka, sambil mengingat masa lalu…

    “Nurul, inget nggak lomba daur ulang SD di Cilegon?” suara Mbak Retno mengejutkanku.

    “Ingat banget dong. Anak-anak itu sekarang mungkin sudah jadi aktivis lingkungan juga ya…”

    Kami terdiam. Ternyata, benih itu tumbuh. Walau tidak selalu terlihat, tapi nyata. Menjelang senja, aku pamit pulang lebih dulu.

    “Naik apa, Nurul?” tanya Mbak Retno, suaranya masih sehangat dulu. Mbak Retno adalah sahabat seperjuanganku saat kami masih berkantor di Kementerian Lingkungan Hidup, sebelum aku memutuskan hijrah ke kampus rakyat; IPB. Sudah belasan tahun berlalu, tapi setiap pertemuan dengannya seperti membuka kembali lembar-lembar perjuangan untuk bumi yang kami cintai.

    “Naik GoCar ke Stasiun Kota.” jawabku. “Dari sana lanjut naik KRL ke Bogor. Sekalian bernostalgia.”

    Ia menggeleng pelan, lalu terkekeh geli. “Romantis banget sih kamu… bahkan sama moda transportasi.”

    Aku ikut tertawa, tapi dalam hati mengiyakan. Ya, memang begitu adanya. Bagiku, perjalanan pulang tidak pernah sekadar tentang menuju rumah. Ia adalah ruang sunyi yang mengantar jiwa untuk kembali; membaca ulang hari, meresapi makna, dan diam-diam bersyukur.

    Transportasi publik bukan hanya pilihan efisien untuk bumi, tapi juga tempat paling jujur untuk menyaksikan hidup berjalan. Di sana, di balik kaca jendela kereta, aku sering menemukan kembali diriku; yang dulu, yang kini, dan yang terus berjalan.

    Jakarta mulai redup, ketika kaki ini sampai di Stasiun Kota. Aku mendengar suara pengumuman dari pengeras suara;

    “KRL tujuan Bogor akan tiba di peron dua…”

    Aku masuk dan duduk di dekat jendela. Di depanku, nampak seorang anak kecil memegang botol aluminium bertuliskan “Stop Plastic!” dengan bangga. 

    Sungguh bahagia melihatnya; memang bukan aku yang mengajarinya. Tapi perjuangan kami; yang dulu sering dianggap sepele; telah menemukan jalannya sendiri.

    Dan, sore itu, dari balik jendela KRL, aku melihat senja turun perlahan. Lampu-lampu mulai menyala, memantul di mataku.

    Terkadang, kita tidak tahu seberapa jauh jejak yang kita tinggalkan. Tapi dunia menyimpan semuanya. Dan saat waktunya tiba, jejak itu akan berubah menjadi jalan bagi generasi berikutnya.

    Aku merasa tidak hanya menghadiri penutupan hari lingkungan hidup di JICC. Aku seakan sedang menghadiri peneguhan bahwa perjuangan mencintai bumi tidak pernah sia-sia. Aku bertemu masa lalu, menyentuh masa kini, dan menyematkan harapan untuk masa depan.

    Bogor, aku pulang, dengan hati yang kembali menyala. Dan jika suatu hari nanti, bumi akhirnya bisa bernapas lega; aku ingin menyampaikan, bahwa di dalam cerita panjang itu; ada satu halaman penuh yang pernah kutulis dengan cinta. Karena sesungguhnya, mencintai bumi adalah mencintai kehidupan itu sendiri; dan cinta, tidak pernah sia-sia.💝💕💞

     

    Bogor, 25 Juni 2025

     

     

    Kreator : Nurul Jannah

    Bagikan ke

    Comment Closed: Senja, Plastik dan Cinta yang Tak Pernah Usang

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Part 15: Warung Kopi Klotok  Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]

      Okt 01, 2024
    • Part 16 : Alun – Alun  Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]

      Okt 16, 2024
    • Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]

      Sep 18, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024
    • Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]

      Sep 05, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021