JICC, Penutupan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 24 Juni 2025
Langit Jakarta sore itu menggantungkan mendung tipis, seperti enggan benar-benar melepaskan hari. Namun di pelataran luas Jakarta International Convention Center (JICC), kehangatan justru membuncah. Di tengah udara yang lembab dan lalu lalang manusia, ada rasa yang tidak bisa dijelaskan oleh data atau laporan; rasa pulang, rasa diterima kembali oleh kenangan.
Hari itu adalah penutupan Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025. Temanya, “Hentikan Polusi Plastik!”, bukan sekadar seruan. Ia terasa seperti gema yang menyentuh dasar hati. Terutama bagi kami, para pejuang sunyi yang telah puluhan tahun mengabdikan waktu dan tenaga, demi satu harapan sederhana; bumi yang lebih baik. Lalu tiba-tiba terdengar sebuah panggilan.
“Nurul!!”
Suaranya membelah ingatan. Aku menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok yang begitu kukenal.
“Ya Allah, Mbak Retno!”
Pelukan kami menghapus jeda belasan tahun. Tidak ada basa-basi. Hanya pelukan panjang yang menghangatkan, seolah waktu bisa dilipat dan kami kembali ke masa saat kami masih muda, penuh mimpi dan idealisme yang kadang melelahkan.
“Gila, ya… umur kita nambah, tapi semangatnya kok kayak nggak ikut tua?” ujarnya.
Aku tertawa, dan di samping kami, Pak Bayu menyahut dengan gaya khasnya. “Eh, bagi-bagi dong semangat awet mudanya…”
Kami tertawa bersama. Ternyata, rindu itu bukan hanya pada orang, tapi juga pada versi dirimu yang dulu pernah berjuang begitu keras untuk sesuatu yang kau yakini; bumi yang sehat dan berseri.
Di Ruang Nuri, ada diskusi tentang Life Cycle Assessment (LCA) dan resolusi sengketa lingkungan. Moderator muda melontarkan pertanyaan yang membuat ruangan hening.
“Apa yang lebih berat dari menilai daur hidup sebuah produk?”
Seseorang di belakang menjawab, “Menilai keputusan yang pernah kita buat; yang kita kira baik, tapi diam-diam menyakiti bumi.” Kalimat itu menggantung. Seperti cermin. Membuat kami semua diam dan merenung.
Keluar dari ruang diskusi, aku menyusuri stand-stand yang ramai. Hampir semua berbicara tentang plastik; dan bagaimana kita bisa hidup tanpanya.
Ada anak muda yang menjual sedotan dari batang kelapa. Ada ibu-ibu RW dari Bantar Gebang memamerkan tas dari bungkus kopi. Dan aku berdiri lama di depan karya mereka, sambil mengingat masa lalu…
“Nurul, inget nggak lomba daur ulang SD di Cilegon?” suara Mbak Retno mengejutkanku.
“Ingat banget dong. Anak-anak itu sekarang mungkin sudah jadi aktivis lingkungan juga ya…”
Kami terdiam. Ternyata, benih itu tumbuh. Walau tidak selalu terlihat, tapi nyata. Menjelang senja, aku pamit pulang lebih dulu.
“Naik apa, Nurul?” tanya Mbak Retno, suaranya masih sehangat dulu. Mbak Retno adalah sahabat seperjuanganku saat kami masih berkantor di Kementerian Lingkungan Hidup, sebelum aku memutuskan hijrah ke kampus rakyat; IPB. Sudah belasan tahun berlalu, tapi setiap pertemuan dengannya seperti membuka kembali lembar-lembar perjuangan untuk bumi yang kami cintai.
“Naik GoCar ke Stasiun Kota.” jawabku. “Dari sana lanjut naik KRL ke Bogor. Sekalian bernostalgia.”
Ia menggeleng pelan, lalu terkekeh geli. “Romantis banget sih kamu… bahkan sama moda transportasi.”
Aku ikut tertawa, tapi dalam hati mengiyakan. Ya, memang begitu adanya. Bagiku, perjalanan pulang tidak pernah sekadar tentang menuju rumah. Ia adalah ruang sunyi yang mengantar jiwa untuk kembali; membaca ulang hari, meresapi makna, dan diam-diam bersyukur.
Transportasi publik bukan hanya pilihan efisien untuk bumi, tapi juga tempat paling jujur untuk menyaksikan hidup berjalan. Di sana, di balik kaca jendela kereta, aku sering menemukan kembali diriku; yang dulu, yang kini, dan yang terus berjalan.
Jakarta mulai redup, ketika kaki ini sampai di Stasiun Kota. Aku mendengar suara pengumuman dari pengeras suara;
“KRL tujuan Bogor akan tiba di peron dua…”
Aku masuk dan duduk di dekat jendela. Di depanku, nampak seorang anak kecil memegang botol aluminium bertuliskan “Stop Plastic!” dengan bangga.
Sungguh bahagia melihatnya; memang bukan aku yang mengajarinya. Tapi perjuangan kami; yang dulu sering dianggap sepele; telah menemukan jalannya sendiri.
Dan, sore itu, dari balik jendela KRL, aku melihat senja turun perlahan. Lampu-lampu mulai menyala, memantul di mataku.
Terkadang, kita tidak tahu seberapa jauh jejak yang kita tinggalkan. Tapi dunia menyimpan semuanya. Dan saat waktunya tiba, jejak itu akan berubah menjadi jalan bagi generasi berikutnya.
Aku merasa tidak hanya menghadiri penutupan hari lingkungan hidup di JICC. Aku seakan sedang menghadiri peneguhan bahwa perjuangan mencintai bumi tidak pernah sia-sia. Aku bertemu masa lalu, menyentuh masa kini, dan menyematkan harapan untuk masa depan.
Bogor, aku pulang, dengan hati yang kembali menyala. Dan jika suatu hari nanti, bumi akhirnya bisa bernapas lega; aku ingin menyampaikan, bahwa di dalam cerita panjang itu; ada satu halaman penuh yang pernah kutulis dengan cinta. Karena sesungguhnya, mencintai bumi adalah mencintai kehidupan itu sendiri; dan cinta, tidak pernah sia-sia.💝💕💞
Bogor, 25 Juni 2025
Kreator : Nurul Jannah
Comment Closed: Senja, Plastik dan Cinta yang Tak Pernah Usang
Sorry, comment are closed for this post.