“Awas Lang!!! Di belakangmu!!!”
“Cepat!!!”
“Belok kiri!!!”
Teriakan Zean bagai komando yang mengarahkan Galang menghindar dari gerombolan makhluk bersayap yang siap menyerang dengan nafsunya. Dari balik semak, terdengar suara Dio yang mengarahkan Zean dan Galang untuk bergegas ke arahnya.
“Sebelah sini woi!!!”
Zean terus berlari mengikuti arah suara Dio sambil sesekali menoleh ke belakang melihat perjuangan Galang menghindar dari kejaran makhluk bersayap itu. Begitu melihat Zean dan Galang mendekat, Dio langsung memberi aba-aba.
“Tarik nafas yang dalam.”
Lalu .. BYUURRR…!!!
Ketiganya menceburkan diri ke dalam kolam, menimbulkan gelombang dan riak besar air kolam. Makhluk bersayap yang sedari tadi mengejar mereka dengan murka, berputar-putar di atas permukaan kolam dan siap menyerang kapanpun kepala-kepala bocah itu muncul untuk menghirup oksigen. Untuk beberapa saat, hampir tak ada pergerakan dari dalam kolam. Riak air yang tadinya begitu kuat, perlahan mulai melemah dan menghilang. Gerombolan lebah yang sedari tadi mondar mandir di permukaan kolam akhirnya pergi.
Tak lama setelah gerombolan itu pergi, Galang yang sudah setengah mati menahan nafas, tak mampu bertahan lebih lama lagi di dalam air.
Huhhh !!!
Huhhh !!!
Huhhh !!!
Dia menghirup nafas dalam berusaha memenuhi setiap inci paru-parunya dengan oksigen, begitu kepalanya menyembul di permukaan kolam. Disusul kepala Zean dan Dio. Kondisi keduanya pun tak jauh berbeda.
Setelah mengamati kondisi sekeliling dan memastikan bahwa gerombolan lebah tadi sudah pergi, ketiganya berenang perlahan ke arah pinggir kolam, meraih ranting pohon yang menjulur ke dalam kolam untuk dijadikan pegangan agar bisa naik ke bibir kolam. Kaki yang basah dan tenaga yang mulai habis membuat mereka kesulitan untuk naik. Galang yang badannya paling gembul, selalu merosot kembali ke dalam kolam. Zean dan Dio yang telah berada di pinggir kolam berusaha menarik tubuh gembul Galang sekuat tenaga. Nyaris saja keduanya tercebur kembali ke dalam kolam, jika mereka tidak segera berpegang ke batang kulit manis yang ada di pinggir kolam.
Dengan perjuangan yang tak mudah, akhirnya Galang berhasil naik ke pinggir kolam. Ketiganya merebahkan diri dengan pasrah di rerumputan yang terasa bak permadani. Goresan ranting kayu ketika mereka berlari di semak-semak tadi mulai terasa perih, apalagi setelah terkena air. Namun tak terlalu mereka hiraukan.
Untuk sesaat ketiganya menikmati semilir angin yang meniup pakaian mereka yang basah. Mengatur nafas secara perlahan, menenangkan debaran jantung yang tadi berdetak tak karuan serta mengumpulkan kembali tenaga yang nyaris tak tersisa. Ubi bakar yang mereka makan tadi seakan tak menyisakan energi. Mereka mencoba mengatur nafas yang masih senin-kamis karena terlalu lama menyelam di dalam kolam.
“Untung saja kesabaran lebahnya tak sebesar kesabaran Haji Fudin. Kalau tidak, bisa bonyok tubuh kita dicium sama kawanan lebah itu.” celetuk Galang yang mulai bertenaga.
“Hahaha… !!! Kau ceroboh sekali, Lang. Apa tidak bisa kau bedakan buah mangga dan sarang lebah?” Dio bertanya sambil mengejek.
“Iya nih. Begitu melihat makanan, langsung error penglihatan kau!” timpal Zean.
“Yang ku bidik tadi memang mangga, tapi ternyata lemparan batuku meleset ke sarang lebah. Membuat mereka murka dan memburu kita.” jawabnya sambil tertawa nyengir.
“Huu…dasar kau!”
Ketiganya tertawa, entah menertawakan Galang atau menertawakan nasib apes mereka sore ini.
Zean, Dio dan Galang adalah tiga sahabat yang sudah berteman dari kecil. Mereka satu kelas sejak kelas I SD, dan sekarang mereka sudah duduk di kelas IV. Seperti halnya anak-anak desa, mereka sangat hobi berpetualang. Ada-ada saja kelakuan absurd yang mereka lakukan.
Rona jingga di ufuk barat menandakan bahwa sore telah menjelang. ketiga sahabat itu masih bercerita dengan seru sambil menapaki jalan desa yang belum diaspal. Sesekali tampak Dio menjitak kepala Galang. Galang hanya memasang wajah pura-pura kesal. Karena dia tak pernah bisa kesal kepada sahabat-sahabatnya itu. Terkadang mereka tampak memasang wajah serius mendengarkan cerita Zean. Tapi, kalau Galang yang bercerita, tak ada yang tidak tertawa.
Begitulah mereka. Tiga sahabat dengan karakter yang berbeda. Dio anaknya suka iseng kepada siapapun, tak terkecuali kepada sahabat-sahabatnya. Galang anaknya lucu dan periang. Ada-ada saja ide dan ceritanya yang membuat orang yang mendengarkan tertawa. Sedangkan Zean cenderung lebih serius dan tenang dibandingkan kedua sahabatnya. Meskipun berbeda, mereka terlihat saling melengkapi.
“Assalamualaikum, Pak Haji.” sapa mereka kompak begitu melihat Haji Fudin yang tengah membaca buku di teras rumahnya.
“Waalaikum salam. Kalian dari mana sampai basah kuyup begitu?” tanya Haji Fudin heran.
“Biasa, Pak Haji. Berpetualang.” jawab mereka serempak sambil nyengir kuda.
Haji Fudin yang sudah hafal dengan kelakukan ketiga muridnya menanggapi dengan senyum sambil geleng-geleng kepala.
“Jangan lupa ya, nanti malam kita setoran hafalan.”
“Baik, Pak Haji.” jawab mereka.
“Ya sudah, lekas pulang dan bersih-bersih. Jangan sampai orang tua kalian cemas karena kalian belum pulang.”
“Baik, Pak Haji. Kami pamit dulu. Assalamualaikum.”
Haji Fudin adalah seorang ulama yang karismatik di desa Biaro. Beliau memiliki ilmu agama yang dalam dan penguasaan adat yang sangat baik. Di usia senja, beliau mendedikasikan diri mengajar anak-anak mengaji di surau.
“Bagaimana hafalan kau, Lang ? Apa sudah lancar?” tanya Dio pada Galang.
Galang hanya menjawab dengan mengangkat bahu, menandakan dia tidak yakin dengan hafalannya.
“Kalau kau bagaimana, Yo?” Galang balik bertanya.
“Entahlah. Sepertinya, aku tak yakin bisa menyetor dengan lancar malam ini. Masih ada beberapa ayat yang belum ku hafal.”
Lalu keduanya melihat ke arah Zean. Tanpa mereka tanya pun, mereka sudah tahu jawabannya. Zean selalu siap ketika menyetorkan hafalan.
Zean menjawab dengan tersenyum, “Insya Allah.”
Ketiga sahabat itu akhirnya berpisah di sebuah persimpangan dan saling melambaikan tangan.
“Sampai jumpa nanti malam di surau, ya.”
“Assalamualaikum.” Zean mengucapkan salam sambil mendorong pintu dapur yang tidak terkunci.
“Waalaikumsalam,” Ibu Zean baru saja menyelesaikan masaknya ketika pintu dapur dibuka.
“Kok basah kuyup begitu, Ze? Kalian berenang lagi di sungai? Hati-hati loh, Ze. Air sungai itu sangat deras. Bahaya!” Ibu Zean memberondong dengan pertanyaan tanpa memberi jeda.
“Bukan, Bu. Tadi Galang ga sengaja menimpuk sarang lebah sewaktu kami mengambil mangga di kebun Nek Imah. Lebahnya marah dan berhamburan keluar sarang, lalu mengejar kami tanpa ampun. Kami berlarian sampai akhirnya menyelamatkan diri ke kolam Haji Yahya.” Zean menceritakan kronologisnya kepada Ibu dengan penuh semangat.
“Lalu ?” tanya Ibu panasaran.
“Karena kami tidak kunjung muncul ke permukaan, akhirnya lebah-lebah itu pergi dan kami selamat.” Zean tersenyum mengakhiri ceritanya sembari mengambil handuk yang tergantung di jemuran dekat kamar mandi.
“Alhamdulillah…., lain kali lebih hati-hati lagi, ya.”
“Untung lebahnya tidak menyerang kalian. Bisa demam kalian disengat kawanan lebah seperti itu.”
“Ya, sudah. Ayo cepat mandi sana, sudah mau maghrib.”
Di ruang tengah Pak Rizal sedang asik membaca buku yang baru beliau beli tadi siang.
“Buku apa itu, Yah?”
Pak Rizal mengalihkan pandangannya kepada sang istri yang telah duduk di sampingnya sambil mengusap kepala Nida yang tertidur lelap di pangkuan ayahnya.
“Buku karya Buya Hamka, Bu. Isinya menarik sekali. Cerita tentang perjuangan dan adat istiadat Minangkabau. Begitu dalam pemahaman beliau tentang agama dan adat, membuat ayah semakin kagum.”
Bu Retno melihat sepintas buku di tangan suaminya.
“Ooo…buku ini. Ibu pernah dengar dari teman pengajian tentang buku ini. Kata teman Ibu isinya sangat inspiratif. Nanti ibu mau baca juga lah kalau ayah sudah selesai membacanya.” Ucap Ibu.
“Sini, biar Nida ibu pindahkan ke ayunan saja. Ayah siap-siap shalat maghrib sana. Sebentar lagi Zean juga sudah selesai mandinya.”
“Iya, Bu. Ayah tadi sudah wudhu, tinggal ganti baju saja.” jawab Ayah lembut.
Tak lama, Zean yang sudah selesai mandi dan masih berbalut handuk masuk dan duduk disamping ayahnya. Ayah, tadi Zean punya pengalaman seru. Zean bercerita dengan penuh antusias kepada ayahnya tentang kejadian tadi sore. Ayahnya tampak menyimak cerita Zean dengan ekspresi yang tak kalah antusias, membuat Zean tambah semangat bercerita. Sesekali Ayah juga ikut tertawa mendengar cerita Zean.
“Ya sudah, lain kali kalian lebih hati-hati lagi ya biar tidak terulang lagi kejadian seperti tadi.” nasehat Ayah sambil mengusap kepala sulungnya.
“Ayo sana pakai baju dulu. Hafalannya gimana, Ze? Sudah lancar kan?”
“Insya Allah, Ayah.”
Setelah berpakaian rapi, ayah dan anak itu segera menuju surau untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah.
“Bu, doakan Zean agar lancar nanti saat setoran.” pamit Zean sambil mencium tangan ibunya.
“Iya, Nak. Insyaallah Ibu selalu doakan Zean. Semoga Allah berikan kelancaran buat Zean saat setoran nanti.”
Ternyata surau cukup ramai malam ini. Setiap santri yang akan mengikuti ujian didampingi oleh ayah, ibu atau keluarga lainnya. Di kampung Biaro, ujian tahfiz seperti ini merupakan kegiatan yang penting dan menjadi bagian dari tradisi yang terus dijaga dan dilestarikan penduduknya. Semakin banyak hafalan santri, semakin bangga keluarga besarnya.
Setelah menunaikan shalat Magrib berjamaah, sambil menunggu waktu Isya, para santri sibuk mengulang dan memperlancar hafalannya. Berbagai macam gaya dan ekspresi santri dalam menghadapi ujian tahfidz ini. Ada yang gugup bahkan menangis karena tak kunjung hafal ayat yang telah dibaca berulang-ulang. Ada yang komat kamit mengulang ayat sampai beberapa kali. Ada yang tenang dan berdiam diri di pojok surau. Namun, ada juga yang tetap santai sambil menggoda temannya yang sedang menghafal.
Lalu bagaimana dengan ketiga bocah itu ?
Zean duduk disamping ayahnya. Sesekali Zean menatap wajah ayahnya, ada keteduhan dan kekuatan yang Zean rasakan ketika memandangnya. Ayahnya membalas dengan senyum. Merangkul dan mengusap kepala Zean. Dia tahu anaknya gugup menghadapi ujian ini.
“Ayah yakin Zean mampu melewati ujian ini dengan baik.”
Zean tersenyum lebar dibisiki seperti itu oleh Ayah. Zean membalas dengan memeluk erat tubuh Ayah. Ia berusaha tetap tenang dan tak banyak beraktifitas agar hafalannya tidak hilang.
Berbeda dengan Zean, Dio tampak sibuk komat kamit di pojok surau. Dia memanfaatkan waktu dengan mengulang kembali ayat ayat yang masih diragukannya. Sesekali dia melirik ke arah Zean. Ketika mata mereka saling bertatapan, Zean mengacungkan tinju untuk menyemangati sahabatnya itu. Semua santri berusaha melakukan yang terbaik malam itu.
Tapi dimana Galang ?
Bocah gembul itu tak tampak di tengah ataupun di pojok surau. Ternyata Galang menghafal di luar surau. Tadinya dia menghafal di dalam surau, tapi karena cara dia menghafal dengan suara yang nyaring, sehingga mengganggu santri lain yang juga tengah sibuk mengulang hafalan. Akibatnya Galang diusir untuk menghafal di luar surau. Meskipun awalnya kesal, namun Galang tampak happy. Dia bisa bebas bersuara nyaring yang dia mau tanpa ada yang merasa terganggu.
Setelah isya, satu per satu nama santri dipanggil untuk menyetorkan hafalannya. Setelah berlalu beberapa santri, kini tiba giliran Zean. Dia maju mengambil posisi berhadapan dengan gurunya. Guru membacakan sepotong ayat dan Zean diminta menyambung ayat yang dibaca sang guru. Ayah Zean menyimak dengan harap harap cemas. Bibirnya tampak bergerak pelan, melantunkan doa agar anaknya lulus ujian.
Zean baru saja menuntaskan hafalannya dengan predikat Mumtaz. Air mata haru tak bisa ditahan Zean. Dia berjalan menuju ayahnya dan menumpahkan air mata bahagia atas capaiannya malam ini.
“Terima kasih, Ayah. Zean lulus!!”
Ayah Zean pun sangat terharu, membalas pelukan Zean dan mencium ubun-ubunnya.
“Selamat ya, Nak. Semoga Allah mengukuhkan hafalan itu dipikiranmu.”
Dio dan galang sudah menunggu dari tadi di luar surau. Mereka juga lulus dengan predikat “Jayyid Jiddan”. Meskipun tak sesempurna Zean, namun mereka sangat puas dengan hasil ujian mareka malam ini. Semua tampak bahagia dengan perjuangan mereka malam ini. Pak Rizal mengucapkan selamat kepada kedua sahabat putranya itu.
“Karena kalian sudah berjuang dengan sangat hebat malam ini, bagaimana kalau kita rayakan kesuksesan kalian dengan makan sate? Setuju ??”
“Setuju !!!” sorak mereka kompak.
Mereka berjalan sambil bercerita tentang pengalaman ujian tahfiz yang dialami masing-masing. Kadangkala, mereka saling berebut untuk bicara, namun terkadang mereka diam menyimak dengan wajah empati.
Mereka merasa bintang-bintang malam ini bersinar lebih terang dari biasanya 🙂
Kreator : PESMA DIANA
Part 15: Warung Kopi Klotok Sesampainya di tempat tujuan, Rama mencari tempat ternyaman untuk parkir. Bude langsung mengajak Rani dan Rama segera masuk ke warung Kopi Klotok. Rama sudah reservasi tempat terlebih dahulu karena tempat ini selalu banyak pengunjung dan saling berebut tempat yang ternyaman dan posisi view yang pas bagi pengunjung. Bude langsung memesan […]
Part 16 : Alun – Alun Kidul Keesokan paginya seperti biasa Bude sudah bangun dan melaksanakan ibadah sholat subuh. Begitupun dengan Rani yang juga melaksanakan sholat subuh. Rani langsung ke dapur setelah menunaikan ibadah sholat subuh. Tidak lama disusul oleh Bude dan langsung mengambil bahan masakan serta mengiris bahan untuk memasak. Rani dan Bude sangat […]
Part 14: Kopi Klotok Pagi hari yang cerah, secerah hati Rani dan semangat yang tinggi menyambut keseruan hari ini. Ia bersenandung dan tersenyum sambil mengiris bahan untuk membuat nasi goreng. Tante, yang berada di dekat Rani, ikut tersenyum melihat Rani yang bersenandung dengan bahagia. “Rani, kamu ada rasa tidak sama Rama? Awas, ya. Jangan suka […]
Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]
Part 12 : Cemburu Rama langsung memukul Jaka saat Jaka baru saja masuk ke ruang kerjanya Rama. Jaka yang meringis bukannya marah namun malah tersenyum terhadap Rama karena Jaka tahu bahwa Rama lagi cemburu terhadapnya. Rama males menjawab salam dari Jaka namun sebagai orang yang punya adab Rama harus menjawab salam dari Jaka dengan sopan. […]
Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]
Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]
Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,, begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]
Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]
Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]
Comment Closed: SERUNYA MASA ITU (BAGIAN 1)
Sorry, comment are closed for this post.