KATEGORI
  • Adat & Budaya
  • Agrikultur
  • Aksi
  • Arsitektur
  • Artikel
  • Asmara
  • Autobiografi
  • autobiography
  • Bahasa & Sastra
  • Berita Alineaku
  • Bisnis
  • Branding
  • Cerita Anak
  • Cerita Pendek
  • Cerita Rakyat
  • Cerpen
  • Cinta
  • Cita – Cita dan Harapan
  • Dongeng
  • Drama
  • Ekonomi
  • Epos
  • Event
  • Fabel
  • Fantasi
  • Fiksi
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Hobi
  • Hubungan Antarpribadi
  • Hukum
  • Humanis
  • Humor
  • Ilmu Manajemen
  • Inspirasi
  • Istri
  • Kampus
  • Karir dan Kewirausahaan
  • Keagamaan
  • Keluarga
  • Kesehatan & Kecantikan
  • Kesehatan Mental
  • Ketenagakerjaan
  • Kisa Masa Kecil
  • Kritik Media
  • Kuliner
  • Legenda
  • Lifestyle
  • Lingkungan Hidup
  • mengelola toko
  • Mental Health
  • Moralitas
  • Motivasi
  • Novel
  • Nutrisi
  • Nutrition
  • Otomotif
  • Parenting
  • Pendidikan
  • Pendidikan Karir
  • Pendidikan Keuangan
  • pengalaman hidup
  • Pengembangan Diri
  • Perjalanan Hidup
  • Pernikahan
  • Persahabatan
  • Pertemanan
  • Petualangan
  • Petualangan Alam
  • Pilih Kategori
  • Pilih Menu
  • Politik
  • Psikologi
  • Psikologi Sosial
  • Puisi
  • Romansa
  • Romantisme kehidupan
  • Rumah Tangga
  • Satir
  • Sejarah
  • Self-Acceptance
  • Self-Awareness
  • Seni & Budaya
  • Sosial
  • spiritual journey
  • Strategi
  • Teknologi
  • Tempat Wisata
  • Traveling
  • Uncategorized
  • Wanita
  • Beranda » Aksi » Setengah Jalan

    Setengah Jalan

    BY 25 Jun 2024 Dilihat: 54 kali
    Setengah jalan_alineaku

    Setelah menyelesaikan pelajarannya dengan Milena, Ilta dibawa oleh Radomir Jedlicka ke bagian hutan yang liar di Alam Nadvore. Radomir, seorang petualang yang ahli bertahan hidup di alam liar, menjelajahi setiap sudut hutan dengan langkah mantap dan tatapan tajam yang mengamati setiap detil di sekitarnya.

     

    “Salam, Ilta. Aku Radomir,” katanya dengan nada semangat

     

    Radomir Jedlicka adalah seorang pria berusia paruh baya dengan penampilan yang mencerminkan kehidupan yang keras di alam liar. Tubuhnya kekar dan berotot, hasil dari tahun-tahun panjang yang dihabiskannya menjelajahi hutan dan bertahan hidup di lingkungan yang paling keras. Wajahnya dipenuhi dengan garis-garis dan kerutan yang menunjukkan pengalaman dan kebijaksanaan, tetapi matanya masih tajam dan penuh semangat, seolah-olah tidak ada yang bisa lolos dari pengamatannya.

     

    Rambutnya yang panjang dan sedikit beruban sering kali diikat ke belakang untuk menjaga agar tidak menghalangi pandangannya. Janggutnya yang lebat menambah kesan garang pada penampilannya, namun senyumannya hangat dan menenangkan. Pakaiannya sederhana, terbuat dari bahan yang kuat dan tahan lama, dirancang untuk kenyamanan dan fungsi di alam liar. Ia selalu membawa pisau tajam di pinggangnya, serta beberapa peralatan bertahan hidup yang tersembunyi di berbagai kantong di pakaiannya.

     

    Radomir bukan hanya seorang petualang; ia adalah seorang ahli bertahan hidup yang memahami alam dengan dalam. Dia bisa membaca tanda-tanda alam dengan ketepatan yang menakjubkan, menemukan air bersih, makanan, dan perlindungan bahkan di lingkungan yang paling tidak bersahabat. Dia memiliki pengetahuan luas tentang flora dan fauna, serta cara-cara untuk menggunakan sumber daya alam untuk keperluan sehari-hari maupun darurat.

     

    “Senang bertemu denganmu, leluhur Radomir,” jawab Ilta dengan sopan, meskipun ada sedikit getar dalam suaranya karena antusiasme dan kekaguman.

     

    Mereka berjalan melintasi sungai yang mengalir tenang, airnya jernih hingga dasar sungai yang berbatu terlihat. Radomir berhenti sejenak dan menunjuk ke aliran air.

     

    “Air sungai ini aman untuk diminum, Ilta,” katanya. “Lihat bagaimana airnya mengalir dengan cepat dan jernih? Itu tanda bahwa tidak ada kontaminasi di hulu. Tapi kita tetap harus berhati-hati.”

     

    Ilta mengambil napas dalam-dalam sebelum bertanya, “Bagaimana caranya kita menemukan air bersih jika tidak ada sungai terdekat?”

     

    Radomir mengangguk, menyadari betapa pentingnya pertanyaan itu. “Air adalah salah satu hal paling penting untuk bertahan hidup. Jika tidak ada sungai terdekat, kamu bisa mencari tanda-tanda air di sekitar. Perhatikan vegetasi yang lebih hijau dan subur, biasanya itu menunjukkan adanya sumber air bawah tanah. Kamu juga bisa mencari jejak binatang, karena mereka biasanya menuju sumber air.”

     

    Ilta mencatat setiap detail, menyadari pentingnya informasi tersebut. Mereka melanjutkan perjalanan melewati rerimbunan pohon besar dan semak belukar yang lebat. Radomir dengan cekatan membuka jalan, sesekali berhenti untuk menunjukkan tanaman atau jejak binatang kepada Ilta.

     

    Mereka berhenti di tepi hutan yang lebih terbuka, di mana Radomir menunjukkan cara mengenali jejak-jejak hewan di sekitar mereka.

     

    “Kamu lihat itu, Ilta,” kata Radomir sambil menunjuk jejak kaki kecil di tanah. “Ini jejak dari seekor rusa kecil. Kita bisa menggunakan jejak-jejak ini untuk mengikuti dan mempelajari kebiasaan mereka.”

     

    Ilta mengamati dengan seksama, mencoba meniru langkah-langkah Radomir dalam mengikuti jejak hewan. Dia belajar bagaimana membedakan jejak binatang berdasarkan ukuran dan kedalaman, serta bagaimana menafsirkan jejak-jejak tersebut untuk mencari makanan.

     

    Ilta kembali bertanya kepada Radomir, “Bagaimana dengan makanan? Bagaimana cara kita mengetahui tanaman mana yang bisa dimakan dan mana yang beracun?”

     

    Radomir meraih sebatang ranting dan mulai menggambar di tanah. “Pertama, kamu harus belajar mengenali tanaman yang umum ditemukan. Ada beberapa aturan dasar yang bisa kamu ikuti, seperti menghindari tanaman dengan daun berwarna mencolok atau bau yang sangat kuat, karena itu sering kali menjadi tanda-tanda racun. Juga, hindari buah-buahan atau biji-bijian yang terlihat dimakan oleh burung atau hewan lain, karena beberapa racun tidak mempengaruhi mereka tapi bisa mematikan bagi manusia.”

     

    Ilta menggaguk, mencatatnya dalam buku kecil yang dia bawa. Setelah beberapa jam berlatih, mereka duduk di atas batang pohon tumbang untuk beristirahat. Radomir membuka tas kulitnya dan mengeluarkan sepotong daging kering dan beberapa buah liar.

     

    Radomir memberikan sepotong daging kering kepada Ilta. “Kamu harus tahu apa yang aman untuk dimakan dan bagaimana mendapatkannya.”

     

    Ilta menggigit daging kering itu, merasakan rasa gurih yang kuat. “Terima kasih, leluhur Radomir. Aku akan mengingat semua yang kau ajarkan,” katanya dengan semangat.

     

    Radomir menepuk bahu Ilta. “Ilta. Ingatlah, alam adalah teman kita. Pelajari cara menghormati dan bekerja dengannya, dan kamu akan selalu selamat.”

     

    “Mencari makanan di alam liar bukan hanya soal keberuntungan, tetapi juga soal pengetahuan dan keterampilan yang tepat,” kata Radomir sambil mengambil beberapa buah liar yang matang. “Kamu harus selalu waspada dan mengamati, Ilta. Itu bisa membuat perbedaan antara hidup dan mati.”

     

    Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke bagian hutan yang lebih lebat, di mana Radomir mengajarkan Ilta cara mengenali tanaman yang bisa dimakan dan tanaman yang beracun. Dia menjelaskan karakteristik dan manfaat dari setiap tanaman yang mereka temui, mulai dari yang bisa digunakan sebagai obat-obatan hingga yang bisa dimakan langsung.

     

    “Selanjutnya, kita akan belajar cara membangun tempat berlindung,” kata Radomir sambil melangkah menuju tempat yang telah dipilihnya untuk berlatih. Dia memilih lokasi yang terlindungi dari angin dan hujan, di antara pohon-pohon besar yang rimbun.

     

    Mereka mengumpulkan ranting-ranting besar, daun-daun kering, dan semak-semak untuk membangun kerangka sederhana. Radomir menunjukkan bagaimana menyusun bahan-bahan itu dengan cara yang efektif, menciptakan tempat berlindung yang kokoh dan aman.

     

    “Tempat ini akan melindungi kita dari cuaca buruk dan menjaga kita tetap hangat di malam hari,” jelas Radomir sambil menyusun beberapa daun sebagai atap sementara. “Ini penting untuk belajar mengadaptasi diri dengan kondisi alam di sekitar kita.”

     

    Setelah seharian penuh pelatihan di hutan, Ilta dan Radomir duduk di sekitar api unggun kecil yang mereka buat untuk memasak dan menghangatkan diri. Api berkobar lembut, mengusir kegelapan malam yang mulai menyelimuti hutan. Ilta, dengan rasa ingin tahu yang membara, memutuskan untuk memanfaatkan momen tenang ini untuk bertanya lebih lanjut kepada Radomir tentang banyak hal yang memenuhi pikirannya.

     

    “Leluhur Radomir,” Ilta memulai dengan nada hati-hati, “aku punya beberapa pertanyaan lagi yang ingin kutanyakan. Bolehkah?”

     

    Radomir menatapnya dengan senyuman lembut. “Tentu saja, Ilta. Bertanya adalah cara terbaik untuk belajar. Apa yang ingin kamu ketahui?”

     

    Ilta mendekatkan diri ke api unggun, menatap nyala api dengan mata penuh pertimbangan. “Bagaimana kita bisa menandai jalan agar tidak tersesat saat menjelajahi hutan?”

     

    Radomir tersenyum, mengingatkan dirinya pada hari-hari awalnya sebagai petualang muda. “Ada banyak cara untuk menandai jalan. Salah satunya adalah dengan membuat tanda pada pepohonan menggunakan pisau atau menumpuk batu-batu kecil di sepanjang jalur. Kamu juga bisa menggunakan pita atau tali berwarna terang yang diikatkan pada cabang-cabang pohon. Namun, yang paling penting adalah selalu memperhatikan lingkungan sekitar dan mengingat tanda-tanda alami, seperti bentuk pohon atau aliran sungai.”

     

    Ilta terdiam sejenak, memikirkan pertanyaan berikutnya. “Bagaimana dengan membuat peta, leluhur Radomir? Bisakah kita membuat peta sederhana dari hutan ini?”

     

    Radomir mengangguk sambil mengeluarkan selembar kulit binatang dan arang dari tasnya. “Tentu, Ilta. Membuat peta sederhana adalah keterampilan penting. Kamu bisa mulai dengan menggambar orientasi umum dari hutan, menandai lokasi sungai, bukit, dan tempat-tempat penting lainnya. Gunakan arang untuk menandai area yang sudah kau jelajahi dan tambahkan detail seiring perjalananmu. Ini akan membantumu mengingat jalur dan menemukan jalan kembali.”

     

    Ilta menatap peta sederhana yang mulai digambar oleh Radomir, merasa kagum dengan kesederhanaan dan keefektifan metode tersebut. “Terima kasih, leluhur Radomir. Aku benar-benar menghargai semua yang kau ajarkan.”

     

    Radomir menepuk bahu Ilta dengan lembut. “Kau belajar dengan cepat, Ilta. Ingatlah, bertahan hidup di alam liar adalah tentang adaptasi dan pemahaman. Teruslah bertanya dan belajar. Itu akan membuatmu lebih kuat.”

     

    Mereka duduk dalam keheningan sejenak, menikmati kehangatan api unggun. Ilta merasa sedikit lebih percaya diri, mengetahui bahwa dengan bimbingan Radomir, dia akan siap menghadapi tantangan yang ada di depannya.

     

    “Leluhur Radomir,” Ilta berkata perlahan, “apa yang paling penting untuk diingat saat berada di alam liar?”

     

    Radomir menatap api unggun sejenak sebelum menjawab, “Yang paling penting adalah tetap tenang dan berpikir jernih. Ketika kau panik, kau membuat kesalahan. Tetapi jika kau bisa menjaga ketenangan dan fokus, kau akan menemukan solusi untuk setiap masalah yang kau hadapi. Alam adalah guru yang keras, tapi juga adil. Belajarlah darinya, dan kau akan bertahan.”

     

    Ilta mengangguk dengan mantap, menyadari bahwa pelajaran paling berharga tidak selalu datang dari keterampilan fisik, tetapi dari kekuatan pikiran dan hati.

     

    Hari-hari berikutnya adalah pembelajaran berharga lainnya yang diberikan Radomir kepada Ilta. Mereka saling bercerita masa lalunya masing-masing, dan Ilta sering bertanya banyak hal kepada Radomir untuk memastikan dia sudah benar melakukan sesuatu.

     

    Kemampuan Indigo

    Suatu sore di tepi danau yang tenang, Ilta dan Vadim duduk berdampingan di antara rerumputan yang lembut. Cahaya senja memancar di langit, menciptakan bayangan yang panjang di atas permukaan air yang diam.

     

    “Ilta, kau sudah menguasai dasar-dasar kemampuan Indigo dengan baik,” kata Vadim sambil menunjuk ke arah cakrawala yang berwarna biru cerah. “Sekarang, saatnya kau memahami lebih dalam potensi yang tersembunyi di dalamnya.”

     

    Ilta mengangguk, matanya dipenuhi dengan antusiasme dan ketertarikan. “Apa lagi yang bisa aku pelajari dari kekuatan ini, kek?” tanyanya, suaranya penuh dengan harapan untuk menggali rahasia yang lebih mendalam.

     

    Vadim tersenyum lembut, lalu menutup matanya dalam meditasi. “Kemampuan Indigo lebih dari sekadar aliran kekuatan yang memudahkan kita untuk melakukan teknik energi alam. Ini adalah cerminan dari keharmonisan alam dan manusia,” katanya perlahan. “Saat kau menguasai kemampuan ini, kau tidak hanya mengendalikannya, tetapi juga memahami dan merasakan alam semesta.”

     

    Ilta mengikuti instruksi Vadim dengan penuh konsentrasi. Dia sudah merasakan getaran halus dari aliran energi yang ada di dalam dirinya, tetapi sekarang dia ingin memahami lebih dalam. “Aku bisa merasakan kekuatan ini mengalir lebih kuat,” katanya, suaranya dipenuhi dengan kebingungan dan kekaguman.

     

    Vadim membuka matanya, senyumnya memancarkan kepuasan. “Itu adalah langkah pertama,” katanya, memandang Ilta dengan penuh harapan. “Kemampuan Indigo memungkinkanmu untuk melakukan banyak hal: mempengaruhi cuaca, berkomunikasi dengan makhluk lain, dan bahkan merasakan emosi orang lain. Tetapi semua itu memerlukan ketenangan pikiran dan pemahaman mendalam tentang dirimu sendiri.”

     

    Ilta menyimak dengan seksama, menyadari betapa luas dan kompleksnya kekuatan yang dimilikinya. “Bagaimana aku bisa menggunakan kemampuan ini untuk membantu orang lain?” tanyanya.

     

    Vadim mengangguk dengan pengertian. “Kau bisa menggunakan kekuatanmu untuk menyembuhkan luka, baik fisik maupun emosional,” jelasnya. “Dengan memahami getaran energi alam disekitar, kau bisa mempengaruhi lingkungan untuk menciptakan harmoni. Namun, kau harus berhati-hati. Kekuatan besar ini bisa berbahaya jika digunakan tanpa kebijaksanaan.”

     

    Mereka melanjutkan latihan mereka hingga malam tiba, langit di atas mereka dipenuhi dengan bintang-bintang yang berkilauan. Ilta, yang semakin percaya diri dengan setiap momen yang berlalu, merasa bahwa dia sedang menemukan bagian yang hilang dari dirinya sendiri. 

     

    “Terima kasih, Kakek Vadim,” ucap Ilta, tatapan terfokus pada gurunya yang bijaksana. “Aku tidak akan pernah melupakan apa yang telah kau ajarkan padaku hari ini.”

     

    Vadim tersenyum lembut, tanda penghargaan terhadap dedikasi Ilta untuk belajar. “Kamu adalah anak yang luar biasa kuat, Ilta. Orang tuamu pasti sangat bangga. Tenanglah, walaupun mereka menghilang bukan berarti mereka disini.”

     

    Ilta menatap Vadim, rasa syukur dan bingung menyatu di dalam dirinya. “Ayah dan Bunda masih hidup! Dimana mereka kek?” katanya, mulai meneteskan air mata, teringat surat yang mengatakan kedua orang tuanya telah menghilang.

     

    Vadim menatap langit, merenung sejenak sebelum menjawab, “Kakek tidak bisa memberitahumu, Ilta. Maafkan kakek, tapi kamu hanya perlu tahu bahwa mereka aman di suatu tempat. Bersabarlah, Ilta. Saat waktunya tepat, kamu akan menemukan mereka.”

     

    Ilta mengangguk, menyadari bahwa perjalanan panjang baru saja dimulai. “Baik kek. Terima kasih atas bimbinganmu, Kakek Vadim.”

     

    Mereka berdiri berdampingan, menatap langit malam yang penuh dengan harapan dan kemungkinan. Di dalam hati mereka, tekad untuk menghadapi masa depan dengan keberanian dan kebijaksanaan terus berkobar. Vadim, dengan rasa bangga dan keyakinan, tahu bahwa Ilta akan menjadi pelindung yang luar biasa di dunia Svetu Razvitie yang penuh dengan tantangan ini.

     

    Peran Utusan Sang Ilahi

    Di momen terakhir pelatihannya, Ilta mendapat kesempatan untuk belajar tentang kepemimpinan dan pengambilan keputusan bijaksana dari Zora Jedlicka. Zora, seorang guru spiritual dengan wajah yang tenang namun penuh dengan pengetahuan, membimbing Ilta di sebuah ruang meditasi yang tenang di dalam kompleks pertapaan.

     

    Ruang meditasi tersebut dipenuhi dengan cahaya lembut dari lilin-lilin yang ditempatkan di sudut-sudut ruangan. Aroma kayu cendana dan bunga melati mengisi udara, memberikan suasana yang menenangkan dan mendalam.

     

    Zora duduk bersila di atas bantal meditasi, matanya tertutup, dan nafasnya begitu tenang sehingga hampir tidak terdengar. Rambutnya yang panjang dan keperakan diikat rapi di belakang, memperlihatkan wajahnya yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan. Dia mengenakan jubah sederhana berwarna putih, simbol dari kesucian dan kebijaksanaan.

     

    Ilta memasuki ruangan dengan langkah hati-hati, berusaha tidak mengganggu ketenangan yang ada.

     

    Zora membuka matanya perlahan dan tersenyum hangat kepada Ilta. “Selamat datang, Ilta,” katanya dengan suara lembut namun tegas. “Saya Zora Jedlicka. Kamu bisa memanggil saya Zora atau Leluhur Zora, panggilan yang membuatmu nyaman.”

     

    Ilta mengangguk hormat. “Terima kasih, Leluhur Zora. Aku merasa terhormat bisa belajar dari Anda.”

     

    Zora mengamati Ilta dengan penuh perhatian, seperti sedang membaca lebih dalam dari sekadar penampilan luar. “Ilta, perjalananmu sejauh ini telah menunjukkan keberanian dan kekuatan yang luar biasa. Namun, sebagai kandidat Utusan Sang Ilahi, ada hal-hal lain yang perlu kamu pelajari dan kuasai.”

     

    Ilta mengangguk, matanya menunjukkan ketertarikan yang mendalam. “Aku siap belajar, Leluhur Zora. Apa yang harus aku pelajari untuk menjadi Utusan Sang Ilahi?”

     

    Zora tersenyum dan mengangguk. “Peranmu sebagai Utusan Sang Ilahi adalah tanggung jawab besar. Di awal kehidupan seorang kandidat, kamu akan menghadapi banyak derita dan musibah. Ini adalah ujian yang harus kamu lalui untuk membuktikan bahwa kau layak.”

     

    Ilta mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami kedalaman kata-kata Zora.

     

    Zora melanjutkan, “Pada awalnya, ketika saya dan Sergei, membangun keluarga Jedlicka, kami menghadapi berbagai ancaman dan hinaan. Namun, kami tidak pernah menyerah. Kami percaya pada tujuan kami dan berjuang tanpa henti.”

     

    Ilta menatap Zora dengan kagum. “Bagaimana Anda bisa bertahan melalui semua itu, Leluhur Zora?”

     

    Zora menghela napas dalam-dalam, matanya menerawang ke masa lalu. “Ketabahan dan keyakinan pada ajaran sang Ilahi adalah kuncinya. Saya dan Sergei saling mendukung, dan kami percaya bahwa Sang Ilahi bisa mengubah nasib kami. Melalui kerja keras dan dedikasi, akhirnya kami diakui, dan saya dianugerahi gelar Sang Vladyka ke-5. Itu menjadi awal mula Keluarga Jedlicka memimpin Kerajaan Zima.”

     

    Ilta merasakan beban tanggung jawab yang ada di pundaknya semakin berat. “Tapi, Leluhur Zora, bagaimana jika aku tidak bisa memenuhi harapan ini? Bagaimana jika aku gagal?”

     

    Zora menatap Ilta dengan lembut namun tegas. “Ketakutan adalah bagian dari perjalananmu, Ilta. Setiap pemimpin merasakannya. Yang penting adalah bagaimana kamu menghadapinya. Jangan biarkan ketakutan menghentikanmu. Gunakan itu untuk mendukungmu maju.”

     

    Ilta mengangguk, merasa sedikit lebih tenang dengan kata-kata bijak Zora. “Terima kasih, Leluhur Zora. Aku akan berusaha sebaik mungkin.”

     

    Zora tersenyum lembut, matanya penuh dengan kebijaksanaan dan pengalaman hidup yang panjang. “Ingatlah, Ilta, bahwa keluarga Jedlicka tidak memiliki umur panjang. Kamu bisa melihat para leluhur di sini, yang paling tua mungkin adalah kakekmu, Vadim Jedlicka. Ini adalah misteri yang menyelubungi garis keturunan kita, sebuah anugerah sekaligus kutukan.”

     

    Ilta menatap Zora dengan penuh perhatian, menyadari beratnya beban yang dibawa oleh setiap anggota keluarga Jedlicka. 

     

    “Setiap anggota keluarga Jedlicka memiliki anugerah yang besar,” lanjut Zora, “Namun, anugerah itu datang dengan harga yang mahal. Mereka yang menikahi seorang Jedlicka akan terikat melalui ikatan batin dan darah. Saat salah satu pasangan meninggal dunia, yang lainnya akan ikut serta tidak lama kemudian. Ini adalah takdir suci juga cinta abadi yang diberikan oleh Sang Ilahi kepada saya dan Keluarga Jedlicka.”

     

    Ilta merasakan hawa dingin merayapi tulang punggungnya. “Jadi, ini adalah bagian dari warisan kita?” tanyanya perlahan, matanya berkaca-kaca.

     

    Zora mengangguk pelan. “Ini adalah takdir kita. Tetapi yang terpenting adalah apa yang kita lakukan dengan waktu yang kita miliki. Jadilah pemimpin yang bijaksana dan adil. Itulah warisan terbesar yang bisa kita tinggalkan.”

     

    Ilta mengangguk, mencoba meresapi kata-kata Zora. “Aku telah mengalami banyak kesulitan dalam hidupku,” katanya dengan suara gemetar. “Saat aku mulai belajar teknik energi alam dan kemampuanku sebagai Indigo diketahui oleh keluarga utama, mereka semua takut padaku. Mereka takut aku akan mengambil gelar Sang Vladyka berikutnya. Hanya keluarga Videnbe yang setia mendukungku.”

     

    Zora mendengarkan dengan seksama, wajahnya menunjukkan pemahaman yang mendalam. “Ketakutan adalah musuh terbesar kita, Ilta. Tetapi ketahuilah, bahwa keberanian dan kebijaksanaan akan menjadi kunci untuk mengatasi semua rintangan. Kamu memiliki potensi besar, dan dengan bimbingan serta dukungan dari orang-orang yang percaya padamu, kamu akan mampu mencapai banyak hal.”

     

    Air mata mulai mengalir di pipi Ilta, tetapi dia tidak menyekanya. “Bagaimana aku bisa menjadi pemimpin yang bijaksana seperti yang kau katakan, Leluhur Zora?” tanyanya dengan suara penuh harapan.

     

    Zora meraih tangan Ilta, menggenggamnya dengan erat. “Mulailah dengan memahami dirimu sendiri. Dengarkan dengan penuh perhatian, berpikir dengan hati dan pikiran yang jernih, dan bertindak dengan tegas tetapi adil. Ingatlah bahwa setiap keputusan yang kau buat haruslah demi kebaikan bersama, bukan hanya untuk dirimu sendiri.”

     

    Ilta mengangguk, merasakan kekuatan dan kebijaksanaan yang mengalir dari Zora. “Aku akan melakukan yang terbaik, Leluhur Zora. Aku berjanji.”

     

    Zora tersenyum lembut, tanda penghargaan terhadap dedikasi Ilta. “Kamu memiliki potensi yang luar biasa, Ilta. Bila waktunya tiba, kamu harus mengubah Kerajaan Zima menjadi tempat yang lebih baik dengan kekuatanmu.”

     

    Dengan bimbingan leluhurnya, Ilta merasa siap untuk menghadapi masa depan. Meskipun perjalanan di depannya penuh dengan tantangan, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Bersama kebijaksanaan dan cinta yang telah diwariskan oleh keluarganya, dia siap untuk mengemban peran sebagai Utusan Sang Ilahi dan pemimpin yang bijaksana.

     

    Kreator : Ry Intco

    Bagikan ke

    Comment Closed: Setengah Jalan

    Sorry, comment are closed for this post.

    Popular News

    • Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Kecuali? a. To Live b. To Love c. To Listen d. To Leave the Legacy Jawaban: c. To Listen Menurut Stephen Covey Manusia Memiliki Kebutuhan Dasar, Berikut Pembahasannya: Stephen Covey, seorang penulis dan konsultan manajemen terkenal, dalam karya-karyanya sering membahas tentang kebutuhan dasar manusia. Dalam bukunya yang terkenal, […]

      Jun 25, 2024
    • Hari sudah menunjukkan pukul 14.30. Suasana di sekolah tempat Ustadz Hamdi mengabdikan diri sudah mulai sepi. Anak-anak sudah banyak yang pulang. Ustadz Hamdi masih duduk di meja kerjanya sambil memeriksa satu persatu tugas murid-muridnya. Saat itu tiba-tiba HP Ustadz Hamdi berdering “Kriiing, kriiing, kriiing…”  “Halo…., Assalamu alaikum !”  “Wa alaikum salam. Ini Lisa, pak Ustadz.” […]

      Jun 06, 2024
    • Aku adalah teman sekelas Sky di SMP, kami berada dikelas yang sama selama 3 tahun. Sekarang setelah masuk SMA kami berada di sekolah dan kelas yang sama. Sky selalu menjadi orang terpopuler di sekolah, Sky tinggi,  tampan, dan sangat ramah. Namun sayangnya aku merasa dia selalu dingin hanya padaku, aku bahkan tidak tau alasan dibalik […]

      Jun 10, 2024
    • Mahaga Belom Bahadat adalah bahasa Dayak Ngaju yang mempunyai makna yaitu menjaga kehidupan yang saling menghargai, menghormati serta menjunjung tinggi kehidupan Adat Istiadat maupun tradisi kearifan lokal di wilayah yang kita tempati. Era zaman sekarang ini sudah banyak sekali para generasi yang melupakan prinsif-prinsif hidup yang telah dulu ditinggalkan para leluhur(nenek moyang) kita, padahal banyak […]

      Jun 02, 2024
    • Part 13 : Candi Borobudur Keesokan harinya Rama sibuk mencari handphone yang biasa membangunkannya untuk berolahraga disaat Rama berada di Jogja. Rama tersenyum dan semangat untuk bangun, membersihkan diri dan segera membereskan kamarnya. Tidak lupa Rama juga menggunakan pakaian yang Rapih untuk menemui Rani hari ini. Sementara Rani seperti biasa masih bermalas-malasan di dalam kamarnya […]

      Sep 07, 2024

    Latest News

    Buy Pin Up Calendar E-book On-line At Low Prices In India After the installation is complete, you’ll have the flexibility […]

    Jun 21, 2021

    Karya Nurlaili Alumni KMO Alineaku Hampir 10 bulan, Pandemi Covid -19 telah melanda dunia dengan cepat dan secara tiba-tiba. Hal […]

    Des 07, 2021

    Karya Lailatul Muniroh, S.Pd Alumni KMO Alineaku Rania akhirnya menikah juga kamu,,,  begitu kata teman2nya menggoda, Yaa,,,Rania bukan anak.yang cantik […]

    Des 07, 2021

    Karya Marsella. Mangangantung Alumni KMO Alineaku Banyak anak perempuan mengatakan bahwa sosok pria yang menjadi cinta pertama mereka adalah Ayah. […]

    Des 07, 2021

    Karya Any Mewa Alumni KMO Alineaku Bukankah sepasang sejoli memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan demi menciptakan damai bersama? Tetapi bagaimana […]

    Des 07, 2021